News Breaking
Live
update

Breaking News

Menyobek Kepompong

Menyobek Kepompong

Foto: Google image


Oleh: All Amin

Mata bocah itu terpaku. Menatap kepompong yang menggantung di daun. Ia tertarik melihat ulat yang bergerak-gerak. Hendak keluar dari kepompong itu.

Merasa iba. Ia menyobek kulit kepompong itu. Lalu mengeluarkan ulatnya.

Bocah itu tak paham perkepompongan. Ia kira membantu. Justru itu mengakibatkan si ulat mati. Karena dikeluarkan sebelum waktunya.

Menggeliat. Bergerak sendiri dari dalam. Bagian tahapan vital, guna menumbuhkan sayap, dan menguatkan tulang-tulang sayapnya. Agar ulat itu bisa bermetamorfosis menjadi kupu-kupu.

Berproses alamiah. Berubah pelan-pelan.

Pun demikian kecebong. Jangan dikira, dengan memotong ekornnya. Lalu tetiba lansung bisa menjadi kodok. Sekali-kali tidak. Lama masa menumbuhkan kaki dan mengubah kulitnya. Agar ia kuat hidup di darat.

Kini, proses alamiah itu banyak dipangkas. Direkayasa. Dengan kecanggihan teknologi. Dan kemajuan pengetahuan. Memungkinan memang.

Tapi, berharap semua bisa dipercepat. Serba instan. Selalu mau lalu jalan pintas. Dan mengira itu lebih efisien. Jangan!

Ada baiknya cara-cara seperti itu ditelaah. Dipilah-pilah. Bisa jadi berakibat seperti bocah yang menyobek kepompong itu.



Terkait konsep instan atau melalui proses. Saya cenderung yang kedua. Komposisinya 75:25. Atau turun dikitlah, jadi 68:32. Agar tidak terlalu jomplang. Kadang beradaptasi juga dengan situasi.

Saya masih suka mi instan, apalagi kalau dimasakin di rumah. Pun kopi instan, di saat tertentu. Dan, sstt... ketika dipluit di jalan, pilihan kelar instan sering lebih menggiurkan.

Tapi, untuk hal-hal besar, fundamental, saya memilih jalan menikmati proses. Lebih panjang. Berliku. Kadang melelahkan; itulah konsekuensinya. 

Bualan tentang; Cara cepat kaya. Mendadak sukses. Tiba-tiba bisa hebat. Sembuh sekejap. Lansing dalam semalam. Perubahan cepat. Dan banyak lagi redaksinya.

Atau pada siapa pun yang mengatakan bisa mengubah sesuatu, semudah menjentikan jari. Seperti sulap; Saya tak percaya. 

Dan turut menyarankan kepada Anda; jangan mudah percaya. Tak masuk akal. Hil yang mustahal.

Tentang bualan-bualan yang membuai itu. Saya ada cerita. Kisah bodohnya anak kecil. Saat seumuran bocah yang menyobek kepompong tadi.

Di kampung saya. Dulu, hari pasarnya sekali sepekan. Tiap pulang sekolah di hari pekan itu. Saya selalu nongkrong di tempat orang jualan obat.

Mau menonton atraksi yang sebentar lagi akan ditampilkan. Atau menunggu dibukanya kotak yang mereka bawa itu. Konon katanya berisi ular besar. Itu yang mereka janjikan. 

Lama menunggu. Sampai tiga kali pedagangnya berganti. Harapannya sama. Sebentar lagi atraksi dimulai. Namun, sampai lapak itu ditutup. Sampai pasar sepi. Atraksi batal. Ular tak kunjung keluar. 

Kini, saat melihat orang tampil gagah. Bicara meyakinkan. Di depan orang banyak. Topiknya manis didengar. Suka menjanjikan macam-macam. Pakai pengeras suara. Saya terbayang para pedagang obat itu. (*)


*) All Amin, entrepreneaur


Tags