Indra J Piliang: Seriuskan Konvensi Nasional Partai Politik di Indonesia!
DARIPADA bersibuk ria dengan pemilihan langsung kepala daerah (pilkada), jauh lebih baik partai-partai politik di Indonesia membangun efektivitas dan efisiensi politik dengan menghelat Konvensi Nasional Partai Politik. Konvensi nasional yang terukur bakal memberikan arah kepada publik pemilih, ketimbang tanpa ada konvensi. Publik juga tak bakal diterjang isu-isu politik bulanan yang terkait dengan peta calon presiden yang masih jauh di depan, misalnya.
Lihat saja, belum setahun perjalanan pemerintahan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin, publik sudah sibuk dengan keberadaan calon-calon presiden yang muncul lewat jajak pendapat lembaga survei. Skor naik-turun yang diperoleh masing-masing nama calon presiden yang muncul bahkan memicu pertarungan riil dalam pengembilan kebijakan. Padahal, jadwal pemilihan presiden dan wakil presiden masih lama. Janji-janji yang disampaikan oleh calon presiden dan wakil presiden, berikut calon legislatif masing-masing partai politik, belum satu persatu diwujudkan.
Belum lagi pilkada yang juga menjadi corong bagi janji-janji kepala-kepala daerah, baik perseorangan atau diusung partai politik. Sehingga udara politik begitu dipenuhi oleh tumpukan janji-jani yang belum dijalankan. Pemilihan hingga ke tingkat kepala desa ini menjadikan Indonesia sebagai area yang dipenuhi banyak sekali janji, kurang sekali implementasi atas janji itu ketika pemerintahan pusat, daerah, dan desa berjalan.
Kalau benar-benar serius mengurangi kepekakan telinga akibat janji politik yang bertubi itu, Konvensi Nasional Partai Politik layak dijalankan. Salah satu agenda Konvensi Nasional itu adalah Pemilihan Presiden oleh Delegasi Nasional Partai Politik.
Langkah utama sebelum konvensi dijalankan adalah melakukan riset yang mendalam terkait mekanisme konvensi nasional yang diadakan di negara yang menjalankannya, yakni Amerika Serikat. Para peneliti dari Indonesia bisa diberangkatkan ke Amerika Serikat, termasuk dari lembaga riset yang dimiliki oleh partai politik. Begitu juga, ahli-ahli politik dari Amerika Serikat bisa didatangkan ke Indonesia guna menjadi narasumber dalam kegiatan partai.
Riset pendahuluan, tentu lewat buku-buku yang bisa diakses. Atau, internet. Dan tentu dengan sumber itu juga tulisan ini dibuat. Setidaknya, publik bisa lebih memahami apa yang dimaksud dengan konvensi dalam artian yang sudah dipraktekkan, serta apa yang masih konvensi dalam aturan main masing-masing partai politik di Indonesia. Layak dicatat bahwa konvensi calon presiden sudah digelar oleh sejumlah partai politik di Indonesia, sejak tahun 2004. Bukan saja Partai Golkar, tetapi juga Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera.
Jika melihat sekilas, konvensi yang digelar di Amerika Serikat dilakukan 18 bulan sebelum hari pemilihan. Konvensi Nasional Partai Demokrat 2004 dihadiri oleh 4.353 delegasi dengan 611 cadangan (pengganti). Mereka disebut sebagai super delegates. Dalam konvensi 1968, Humprhey menjadi nominator Partai Demokrat tanpa memenangkan satupun pemilihan pendahuluan (kaukus) di negara bagian. Partai Demokrat memperketat aturan main setelah itu, yakni mengharuskan negara bagian melakukan pemilihan pendahuluan (kaukus) untuk memilih delegasi yang hadir dalam konvensi nasional. Lebih dari 40 negara bagian sudah melakukan pemilihan primer ini, yakni memilih delegasi yang memberikan suara secara proporsional kepada kandidat-kandidat yang mendapTatkan suara di negara bagian itu, minimal dengan batas 15% suara.
Konvensi Nasional Partai Republik 2004 mencatat 2.509 delegasi dengan 2.344 cadangan (pengganti). Berbeda dengan Partai Demokrat, suara delegasi negara bagian dari Partai Republik diberikan kepada kandidat yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan pendahuluan di negara bagian itu. Sehingga, pertarungan suara delegasi lebih ketat dan lama dalam tubuh Partai Demokrat, ketimbang Partai Republik.
Di luar memilih calon presiden, konvensi nasional digunakan untuk memilih anggota Komite Nasional yang bertugas melaksanakan konvensi nasional berikutnya dan mengatur partai hingga konvensi nasional berikutnya. Komite Nasional Demokrat, misalnya, terdiri dari 400 orang pimpinan partai yang mewakili seluruh negara bagian dan teritori Amerika Serikat. Democrat National Committee ini bahkan tidak memiliki kewenangan langsung terhadap anggota partai di kongres ataupun negara bagian. Anggota Partai Demokrat yang terpilih di Kongres atau Senat mengatur diri mereka sendiri lewat konferensi pemilihan pemimpin partai di dalam setiap kamar. Pengumpulan dan pencairan dana partai juga diatur sedemikian rupa, sesuai dengan asas desentralisasi dalam tubuh partai.
Bagaimana dengan Indonesia?
Perdebatan tentang delegasi yang dikirimkan ke dalam acara Konvensi Nasional masing-masing partai politik barangkali menjadi pembuka jalan. Atau, sebelum itu, bagaimana wujud dari konvensi lokal di masing-masing tingkatan?
Jika kabupaten dan kota dijadikan sebagai basis dari super delegasi yang dikirimkan ke dalam konvensi nasional, proporsi suara yang diberikan kepada masing-masing kabupaten dan kota itu tentulah penting. Semacam electoral college di tingkat partai politik. Jika jumlah pemilih dalam pemilu nasional tahun 2019 sebanyak 192.866.254 dijadikan ukuran, jumlah super delegasi adalah sebanyak 1920 orang. Satu orang delegasi diasumsikan sebagai pembawa suara 100.000 pemilih di daerah pemilihannya.
Tentu 1920 orang itu masih ditambahkan dengan jumlah seluruh anggota Dewan Pimpinan Pusat partai politik, anggota legislatif pusat dan daerah, dan anggota eksekutif daerah (yaitu pimpinan daerah yang berafiliasi ke partai politik yang mengadakan konvensi). Tambahan lain adalah mereka yang dikenal sebagai senior citizen, yakni anggota kehormatan yang terdiri dari mantan anggota partai yang pernah menjadi ketua umum partai, presiden, wakil presiden, menteri, duta besar, gubernur, walikota, dan bupati. Dengan super delegasi dan senior citizen seperti ini, konvensi nasional partai bakal menjadi siaran yang sangat masif hingga ke jantung pemilih.
Sudah lama saya menyatakan dalam sejumlah tulisan betapa struktur partai politik di Indonesia sangat lemah dalam hal mengejar kepemipinan nasional yang kuat. Kuat dari sisi partai dan kuat dari sisi kepentingan publik. Sistem berjenjang mengikuti struktur kecamatan, kabupaten/kota, dan provinsi di Indonesia masih terasa seperti perwalian politik, bukan perwakilan politik.
Bagaimana provinsi yang pemilihnya kecil, bisa sejajar dengan Jawa Barat yang memiliki jumlah pemilih besar? Jika diurai ke tingkat kabupaten/kota, bakal makin tak proporsional lagi dengan basis suara nasional yang diperebutkan.
Kalau mau memulai, sebelum Indonesia mengadopsi model dwipartai seperti di Amerika Serikat yang efektif sejak tahun 1856, atau 80 tahun setelah Amerika Serikat merdeka, konvensi nasional ini juga bisa menjadi jalan keluar. Patut dicatat bahwa dwipartai di Amerika Serikat bukan berarti melarang keberadaan partai-partai politik lain. Masih terdapat partai politik lain di Amerika Serikat, bahkan Partai Komunis. Hanya saja, sistem yang dibuat menyebabkan hanya dua partai politik yang berkompetisi secara nasional.
Jakarta, 13 Februari 2021
*) Indra J Piliang (Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara)