News Breaking
Live
update

Breaking News

Putusan "Golden Ticket" untuk Gibran?

Putusan "Golden Ticket" untuk Gibran?



Oleh Agustinus Edy Kristianto

tanjakNews.com -- Orang boleh berpendapat segala macam tapi, bagi saya, yang paling menyakitkan adalah menyaksikan fakta bahwa Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) Mahkamah Konstitusi (MK) yang seharusnya suci itu ternyata diselimuti oleh "kosmologi negatif dan keganjilan," meminjam istilah hakim konstitusi Arief Hidayat (dalam dissenting opinion Perkara No. 90/PUU-XXI/2023).

Mengapa RPH seharusnya suci, sebab di dalam RPH-lah diselenggarakan “pembahasan surat-surat terkait dengan perkara, pembahasan perkara, PENGAMBILAN KEPUTUSAN, dan finalisasi putusan.” (Pasal 16 Ayat 1 Peraturan MK 1/2020 tentang Persidangan MK)

RPH adalah jantung keadilan!

Tapi apa yang terjadi?

***

Kita cuplik dari salinan putusan Perkara No. 90 (pemohon Almas Tsaqibbirru, yang dalam permohonan mengakui bahwa ia adalah pengagum Gibran).

Kita tutup mata dulu terhadap fakta bahwa Ketua MK adalah adik ipar Presiden Jokowi dan pemohon adalah anak seorang advokat/aktivis yang merupakan kawan Jokowi. 

Kita lihat saja PROSES dan 'CARA MAINNYA'.

RPH pada Selasa, 19 September 2023 (untuk Perkara No. 29-51-55 yang kemudian putusannya ditolak oleh MK), Ketua (Anwar Usman) tidak hadir dan RPH dipimpin oleh Wakil Ketua yang menerangkan alasan ketidakhadiran Ketua “dikarenakan untuk menghindari adanya potensi konflik kepentingan,” kata Arief Hidayat.

Namun, pada RPH untuk Perkara No. 90-91 (dengan objek permohonan yang sama), Ketua “malahan ikut membahas dan memutus” sehingga Arief berpendapat hal itu “sungguh tindakan yang menurut saya di luar nalar yang bisa diterima oleh penalaran yang wajar.”

Ketika dilakukan konfirmasi kepada Ketua pada RPH Kamis, 21 September 2023, alasan ketidakhadiran menurut sang Ketua “lebih dikarenakan karena alasan kesehatan dan bukan untuk menghindari konflik kepentingan,” kata Arief.

Hakim konstitusi Saldi Isra juga mengangkat soal perubahan komposisi hakim, yakni, tanpa kehadiran Ketua (artinya hanya 8 hakim yang memutus) untuk Perkara No. 29-51-55 yang hasilnya menolak permohonan dan yang dengan kehadiran Ketua MK (artinya lengkap 9 hakim yang memutus) untuk Perkara No. 90-91 yang hasilnya mengabulkan sebagian.

Perubahan komposisi hakim “tidak hanya sekadar membelokkan pertimbangan dan amar putusan, tetapi membalikkan 180 derajat amar putusan dari menolak menjadi mengabulkan, meski ditambah dengan embel-embel ‘sebagian’ sehingga menjadi ‘mengabulkan sebagian’.”

Beberapa hakim konstitusi “tiba-tiba menunjukkan ‘ketertarikan’ dengan model alternatif yang dimohonkan di dalam petitum Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023,” ungkap Saldi.

Model alternatif yang dimaksud adalah “berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.”

Yang mana hal itu juga ‘menafsirkan lebih’ dari yang diminta oleh pemohon yaitu “berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di Tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.”
 
MK sedang “menjebak dirinya sendiri dalam pusatan politik dalam memutus berbagai political questions yang pada akhirnya akan meruntuhkan kepercayaan dan legitimasi publik terhadap Mahkamah,” kata Saldi.

***

Pertanyaannya: siapa yang berbohong?

Sebelum ke situ, kita lihat dulu rangkaian peristiwa sebelumnya supaya jelas gambaran kita tentang "kosmologi negatif dan keganjilan" barang ini.

Ada yang menembakkan banyak peluru dan tampaknya memahami betul jika satu peluru saja sebagiannya mengenai sasaran sudah cukup untuk mencapai satu anak tangga. 

Apa yang saat ini disebut orang sebagai putusan 'golden ticket' buat Gibran sesungguhnya diduga merupakan kesimpulan dari suatu proses yang panjang (dan bau?).

Misal:

Jangka waktu antara sidang perbaikan permohonan menuju sidang mendengarkan keterangan DPR dan pemerintah mencapai hingga 1-2 bulan.

Pemohon perkara No. 90 dan No. 91 berbeda tapi KUASA pemohonnya sama.

Perkara No. 90 dan No. 91 sempat dicabut tetapi kemudian dibatalkan. Pencabutan dilakukan sepihak oleh kuasa pemohon tanpa sepengetahuan pemohon prinsipal. Alasan pencabutan perkara karena miskomunikasi, malu, khilaf. Maka pencabutan dan pembatalan pencabutan itu dinilai "dilakukan secara sadar dan by design," kata Arief.

Sampai kemudian pada RPH yang menguarkan misteri ketidakhadiran Ketua.

Alasan kesehatan dan alasan menghindari konflik kepentingan adalah dua hal yang berbeda secara substansi.  

Tidak masuk akal dan cenderung mengada-ada jika keduanya terjadi secara bersamaan.

Jadi siapa yang berucap tidak benar? 

Ketua yang beralasan kesehatan? 

Atau.

Wakil Ketua yang bilang soal konflik kepentingan?

Salah satu pasti ehem-ehem-ehem dan mana mungkin keadilan dicapai melalui proses dan forum yang ternoda oleh ehem-ehem-ehem---yang entah dilakukan oleh siapa persisnya dan ditukar imbalan apa.

Semua peristiwa itu, saya pinjam kalimat Arief Hidayat, "turut menguji pula sisi integritas dan kenegarawanan seorang hakim konstitusi." 

Jadi ini bukan cuma soal debat terminologi dinasti politik atau tetek-bengek intrik politik. 

Ini soal PENCARIAN KEADILAN yang diduga kuat dirusak oleh segelintir orang.

Nanti kita lihat siapa saja para politisi yang bakal memanfaatkan 'golden ticket' dari MK itu sebagai alat untuk memenuhi ambisi dan keserakahan akan uang dan jabatan.

Tugas kita untuk tidak memilih para politisi sampah semacam itu.

Salam Martabak Keluarga.


*judul oleh redaksi

Tags