Sejumlah LSM Kecam Penangkapan Aktivis Pusaka Sudarto
TANJAKNEWS.com, Padang -- Aktivis kebebasan beragama dan berkeyakinan yang juga bergiat di Pusat Studi Antar Komunitas (Pusaka), Sudarto ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Sumatra Barat.
BACA JUGA:
Dalam suratnya Polda menyebutkan penangkapan direktur Pusaka (Pusat Studi Antar Komunitas) tersebut terkait advokasi larangan melaksanakan Natal kepada komuinitas Katolik di Sikabau, Dharmasraya.
Jurnalis senior Sumbar, Syofiardi Bachyul JB melalui laman Favebooknya, Selasa lalu mengungkapkan, tindakan Polda Sumbar yang sangat responsif terhadap Sudarto justru memperburuk kondisi kebebasan beragama di Indonesia.
"Saat ini Sudarto didampingi LBH Padang. Silakan baca empat siaran pers ini untuk informasi lebih lanjut," kata Syofiardi sembari melampirkan empat siaran pers berbagai lembaga advokasi.
SIARAN PERS KOALISI PEMBELA HAM SUMBAR
Tahun 2020 ini, iklim demokrasi di Sumatera Barat dihadiahi kado dari Polda Sumatera Barat berupa penangkapan Sudarto yang merupakan Direktur Pusaka yang memperjuangkan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan di Sumatera Barat.
Sudarto ditangkap lantaran diduga sebagai penyebar informasi yang menimbulkan kebencian. Penangkapan terhadap Sudarto dilakukan oleh Polda Sumatera Barat berdasarkan Laporan Polisi Nomor : LP/77/K/XII/2019/Polsek pada tanggal 29 Desember 2019 atas nama Harry Permana.
Dalam laporan polisi tersebut pelapor merasa terkejut melihat postingan Sudarto yang bilang ada pelarangan ibadah natal, namun pelapor mengecek surat Walinagari mengatakan tidak ada pelarangan ibadah yang ada dilarang membawa jemaah dari luar Sikabu untuk beribadah.
Sudarto ditangkap pada 7 Januari 2020 pada pukul 13.15 WIB di Kantor Pusat Studi Antar Komunitas (Pusaka). Sebelum ditangkap oleh Polda Sumatera Barat, Sudarto sempat di telpon oleh salah satu orang yang tidak diketahui dan mengajak untuk bertemu di kantor Pusaka. Setelah ditunggu di kantor Pusaka, 8 anggota Polisi Daerah Sumatera Barat mendatangi Kantor Pusaka dan langsung menangkap Sudarto dengan memperlihatkan Surat Perintah Penangkapan: SP.Kap/4/I/RES2.5/2020/Ditreskrimsus.
Dalam penangkapan tersebut, polisi yang melakukan penangkapan tersebut sempat akan menyita komputer yang ada di Pusaka akan tetapi penyitaan tersebut ditolak oleh Sudarto karena tidak ada perintah dari pengadilan.
Penangkapan ini ditengarai akibat kritikan terkait dugaan pelarangan ibadah natal di Nagari Sikabau Kabupaten Dharmasraya.
Kasus pelarangan perayaan Natal di Nagari Sikabau atas balasan surat Pemberitahuan dari Pemerintahan Nagari Sikabau, Kecamatan Pulau Punjung, Kabupaten Dharmasraya yang berisi bahwa pemerintahan nagari merasa keberatan/tidak memberikan izin pelaksanaan kegiatan Ibadah Natal Tahun 2020 dan Tahun Baru 2020 untuk melakukan ibadah yang bersifat terbuka dan berskala Jama’ah yang banyak agar melaksanakan dan merayakan di luar wilayah hukum Pemerintahan Nagari dan adat-istiadat wilayah Sikabau.
Dalam surat balasan tersebut, jika umat kristiani di Nagari Sikabau yang ingin melaksanakan ibadah Natal agar dilaksanakan secara individual di rumah masing-masing.
Menurut Direktur LBH Padang, Wendra Rona Putra, penangkapan terhadap Sudarto merupakan salah satu bentuk pembungkaman demokrasi di Indonesia.
Pemakaian pasal-pasal karet dalam Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Eletronik terus dilakukan oleh negara untuk membungkam suara-suara kritis dalam menyuarakan hak-hak masyarakat yang ditindas dan dikucilkan untuk menjalankan agama yang dipercayai. Tentunya penangkapan Sudarto sangat berbahaya bagi perkembangan demokrasi kedepan terlebih dalam isu-isu kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Wendra Rona Putra selaku penasehat hukum saat ini masih mendampingi Sudarto dalam pembuatan Berita Acara Pemeriksaan di Polda Sumbar. Dalam penangkapan ini terdapat kejanggalan karena sebelumnya Sudarto sebelumnya tidak pernah dipanggil oleh Polsek, Polres Dharmasraya dan Polda Sumatera Barat tuturnya. Penangkapan terjadi tiba-tiba tanpa prosedur pemanggilan terlebih dahulu telah melanggar ketentuan Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana yang mengamanatkan sebelum penangkapan mestinya dilakukan upaya paksa pemanggilan ujarnya.
Oleh karena itu kami Koalisi Pembela HAM Sumbar mengecam tindakan Polda Sumatera Barat yang diduga melakukan kriminalisasi terhadap Sudarto pada hari ini. Kami mendesak Sudarto untuk dibebaskan sekarang juga. Sejatinya penjara diperuntukkan bagi orang -orang yang melanggar hak asasi orang lain diantaranya yang menghambat aktivitas peribadatan bagi umat beragama. Anggota koalisi Rifai Lubis menegaskan bahwa Polda jangan penjarakan orang-orang yang memperjuangkan hak atas beribadah orang lainnya karena tentunya setiap orang berhak memeluk, menyakini dan menjalankan ajaran agama yang dianutnya. Semestinya penjara itu diperuntukkan bagi orang yang membuat hak orang lain terpenjara.
Kami tahu Sudarto adalah orang memperjuangkan kebebasan beribadah orang lain bukan malah menghambatnya. Tindakan polisi ini di khawatirkan semakin memberi ruang untuk terus berkembangnya intoleransi di Sumatera Barat.
Siaran pers Pusaka dan PBHI
SUDARTO BUKAN KRIMINAL NAMUN PEJUANG KEBEBASAN BERAGAMA
Awalnya LSM Pusaka menerima dugaan pelarangan ibadah perayaan natal atau mingguan umat Kristiani yang sifatnya berjamaah, atau mendatangkan orang dari luar daerah untuk beribadah bersama, berdasarkan Surat Pernyataan Bersama Pemerintahan Nagari Sikabau, Ninik Mamak, Tokoh Masyarakat dan Pemuda Nagari Sikabau tanggal 21 Desember 2017 dan surat Wali Nagari Sikabau tertanggal 22 Desember 2017 dengan Nomor : 145/1553/Pem-2017.
Setelah mengetahui hal ini, Sudarto dan beberapa teman yang beraktivitas di Pusaka melakukan advokasi agar teman-teman kristiani di Nagari Sikabau dapat menjalankan ibadah tanpa hambatan apapun. Mereka sempat melayangkan surat ke Bupati Dharmasraya untuk menjembatani masalah ini namun tidak ada solusi yang konkrit.
Ketika kasus ini menjadi bahan perbincangan publik, Kapolda Sumbar sempat mengeluarkan pernyataan di media yang pada intinya akan melaksanakan proses hukum terhadap mereka yang menyuarakan hal-hal yang menimbulkan kekawatiran, kecemasan di masyarakat. Apalagi isu yang disampaikan bertentangan dengan fakta di lapangan.
Atas statement tersebut, pusaka mengirimkan surat untuk permohonan audiensi kepada Kapolda Prov.Sumatera Barat untuk mengklarifikasi kasus pelarangan ibadah natal di Jorong Kampung Baru Nagari Sikabau Dharmasraya dan Jorong Sungai Tambang, Nagari Kunangan Parik Rantang, Kecamatan Kamang Baru, Kabupaten Sijunjung. Surat itu diterima oleh petugas Setum Polda Sumbar.
Kemudian pada 3 Januari 2020 Sudarto mendapat telepon dari pihak Polda Sumbar dan memintanya untuk datang ke Dirjen Intel Polda terkait surat permohonan audiensi yang Pusaka kirimkan. Mengingat waktu setelah habis sholat jumat, Sudarto memutuskan akan ke Polda Sumbar hari senin tanggal 6 Januari 2020. 6 Januari 2020 Sekitar pukul 11.00, Sudarto dan stafnya datang ke Dirjen Intel Polda dan mengecek surat.
Ternyata surat belum didisposisi kemudian petugas meminta Pak Sudarto untuk menunggu kabar dari Polda. Sekitar pukul 13.30 WIB, Sudarto mendapatkan telepon dari Polda Sumbar dan meminta beliau untuk ke Polda saat itu juga dan bertemu dengan Dirjen Intel Polda.
Namun pada tanggal 7 Januari 2020, sekitar 8 orang polisi datang ke kantor PUSAKA Padang dan membawa Surat Perintah Penangkapan Nomor : SP.Kap/4/I/RES.2.5./2020/Ditreskrimsus dan melakukan penangkapan terhadap Sudarto.
Sudarto ditangkap dengan alasan untuk proses penyelidikan atas peristiwa yang diduga mengandung ujaran kebencian dan berita bohong dari akun facebook Sudarto Toto tanggal 14 Desember 2019.
Pasal yang disangkakan ke Sudarto yakni Pasal 45A ayat 2 jo Pasal 28 ayat 2 UU19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau Pasal 14 ayat 1 dan 2 UU 1/1946 tentang Hukum Pidana. Sedangkan dasar penangkapan yakni adanya laporan Polisi Nomor LP/77/K/XII/2019/Polsek pada 29 Desember 2019 atas nama Harry Permana, Ketua Pemuda Jorong Kampung Baru, Nagari Sikabau.
Atas kejadian ini, kami dari Pusaka yang bergerak di isu kebebasan beragama dan keyakinan menyayangkan penangkapan ini. Kami tahu pasti Sudarto bukan kriminal namun pejuang kebebasan beragama. Oleh sebab itu, Pusaka memandang negara gagal melindungi pejuang kebebasan beragama sehingga pastinya berdampak pada peningkatan intoleransi di Sumatera Barat ke depannya apalagi Sudarto ditangkap tanpa dipanggil terlebih dahulu.
Kegelisahan atas kasus juga direspons oleh Ketua PBHI Sumbar. M. Fauzan Azim yang menuturkan tindakan polisi yang langsung melakukan penangkapan tanpa mengindahkan prosedur administrasi penegakan hukum yang diatur oleh peraturan perundang-undangan memperlihatkan kasus yang disangkakan kepada Sudarto terkesan dipaksakan.
Ini adalah bentuk pelanggaran hak tersangka yang harus terus dilawan tegasnya. Kami mendesak Polda Sumbar untuk bebaskan Sudarto sekarang juga.
Angelike Maria Cuaca (Pusaka) dan Fauzan Azim (PBHI Sumbar)
Pernyataan Sikap Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP)
Surat keterangan dalam Surat Penangkapan Sudarto Toto merujuk pada status facebook Sudarto Toto pada tanggal 14-15 Desember 2019. Anehnya, pihak kepolisian yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat justru tunduk dengan ancaman-ancaman anarkisme dari sekelompok massa yang tidak bertanggung jawab yang sejak awal sangat tidak suka dengan apa yang dilakukan Sudarto Toto.
ICRP sepenuhnya akan terus melakukan pendampingan sekaligus memonitor setiap perkembangan dari kejadian penangkapan Sudarto Toto.
Sebagai aktivis keberagaman yang memiliki keberanian mengungkapkan kebenaran atas perlakuan diskriminasi dari kelompok masyarakat yang melarang kegiatan ibadat mingguan maupun ibadah perayaan Natal di Jorong Kampung Baru Dharmasraya dan di Sungai Tambang Kabupaten Sijunjung.
Menanggapi berbagai kejadian tersebut, Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Mengutuk keras tindakan penangkapan Kepolisian Daerah Sumatera Barat atas Sudarto Toto dalam memperjuangkan hak konstitusi sekaligus penegakan hukum bagi kelompok agama yang dilarang untuk beribadat Natal dan ibadat mingguan. Karena tindakan kepolisian tersebut telah menciderai demokrasi dengan memasung hak kebebasan intelektual dan berfikir setiap warga negara.
2. Mengutuk keras tindakan aparat kepolisian yang melakukan pembiaran dan tunduk terhadap kelompok intoleran yang melakukan ancaman-ancaman. Polisi telah turut serta menebar ancaman dengan mengatakan bahwa ibadah Natal yang dilaksanakan telah melanggar kesepakatan, justru kepolisian mengakomodir tuntutan massa intoleran.
3. Kapolri Jenderal (Pol) Idham Azis harus mengambil langkah hukum yang tegas terhadap para kelompok intoleran yang melakukan aksi ancaman dan teror terhadap kelompok agama Kristen dan Katolik di Kabupaten Dharmasraya dan Kabupaten Sijunjung supaya tidak terjadi lagi pemasungan hak kebebasan beragama. Serta membuat SOP yang jelas untuk aparat kepolisian agar tidak tunduk terhadap aksi teror dan ancaman pelarangan ibadah.
4. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian untuk menindak tegas aparat Kepolisian Pamong Praja (Pol PP) Kabupaten Sijunjung yang turut serta melakukan upaya pelarangan kegiatan ibadah Natal 2019 dengan memaksakan umat Katolik menggunakan bus yang mereka siapkan untuk digunakan beribadat di Sawahlunto yang berjawak 97,9 Km.
5. Sikap penolakan peribadatan adalah sikap intoleran dan tidak sesuai dengan prinsip kebebasan beragama yang dijamin dalam konstitusi kita. Karena itu Polisi harus segera membebaskan Sudarto Toto dan melakukan pembatalan seluruh tuntutan hukum yang dikenakan kepada Sudarto Toto.
Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan agar mendapatkan perhatian dan respon yang baik dari pihak terkait demi terwuudnya kehidupan yang harmonis dalam konteks masyarakat majemuk.
(Johannes Hariyanto, SJ
Sekretaris Umum Yayasan)
(4)
Siaran Pers
SETARA Institute for Democracy and Peace
Kriminalisasi Sudarto, Serangan Terhadap Pembela Minoritas
Terhadap situasi mutakhir penangkapan dan penahanan terhadap Sudarto tersebut, SETARA Institute menyampaikan beberapa pernyataan berikut:
Pertama, SETARA Institute mengutuk kriminalisasi yang dilakukan oleh Polda Sumatera Barat atas Sudarto. Tindakan kriminalisasi tersebut, apalagi penahanan terhadap yang bersangkutan, nyata-nyata menunjukkan arogansi kepolisian dalam menggunakan kewenangan polisionalnya untuk membungkam kritik dan pembelaan atas kelompok minoritas. Polisi mestinya lebih objektif melihat fakta restriksi terhadap hak-hak minoritas di Sumatera Barat seperti yang selama ini disuarakan oleh Sudarto.
Kedua, dalam pandangan SETARA Institute, kriminalisasi atas Sudarto merupakan serangan secara terbuka terhadap pembela hak-hak konstitusional kelompok minoritas untuk beragama dan beribadah secara merdeka, sebagaimana dijamin oleh Pasal 29 Ayat (2) dan Pasal 28E Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ketiga, SETARA Institute menilai bahwa advokasi dan pembelaan yang dilakukan oleh Sudarto selama ini merupakan tindakan yang semestinya mendapat dukungan dari aparatur pemerintah, sebab pembelaan demikian merupakan bagian dari upaya masyarakat sipil untuk memajukan jaminan konstitusional KBB di tengah kondisi lemahnya kapasitas aparat untuk melayani dan melindungi minoritas untuk menikmati hak-hak konstitusionalnya.
Keempat, tindakan Polda Sumatera Barat, dalam pandangan SETARA Institute, merupakan paradoks atas spirit dan citra yang berusaha dibangun oleh Pemerintahan Joko Widodo dengan Kabinet Indonesia Maju-nya bahwa Pemerintah berkomitmen untuk memajukan toleransi, menangani radikalisme, dan memperkuat kebinekaan. Tindakan kepolisian memberikan enabling environment bagi intoleransi terhadap kelompok minoritas dan konservatisme keagamaan di tengah menguatnya mayoritarianisme.
Kelima, SETARA Institute mendesak Kapolri Jenderal Idham Aziz, untuk mengambil langkah yang memadai untuk melindungi pembela hak-hak konstitusional kelompok minoritas seperti Sudarto. Pembebasan Sudarto merupakan langkah strategis untuk menunjukkan keberpihakan kepolisian terhadap pemajuan toleransi dan kebebasan beragama dan beribadah sebagaimana dijamin oleh UUD NRI 1945 (Bonar Tigor Naipospos, Wakil Ketua SETARA Institute) (*)
Editor: Oce Satria