Tambang (Mengapa) Ilegal
Oleh: All Amin
Kali ini beda. Biasanya saya mencari tahu dulu tentang apa yang akan ditulis. Kini, saya menulis untuk mencari tahu.
Mau bertanya ke mana. Pada siapa. Tidak kah ini kedaruratan situasi, atau dianggap biasa-biasa saja. Nyawa-nyawa yang telah melayang itu mau dibaca sebagai statistik saja.
Mengapa tambang-tambang emas itu ilegal?
Mengapa (terus) dibiarkan ilegal?
Bagaimana bila korban meninggal, jasad yang tertimbun tanah, atau yang kecelakaan kerja tambang itu saudara kita. Adik atau kakak kita. Kawan kita. Sanggupkah kita tetap diam?
Pedihnya lagi, tersebar cerita kematiannya saat ia bekerja di tambang ilegal. Kawan, ilegal itu artinya melanggar hukum.
Padahal, ia mau bekerja di sana, karena ingin menjadi pahlawan. Sedang berikhtiar untuk menafkahi keluarga. Ia rugi dua kali. Nyawa melayang, kehormatannya pun hilang. Siapa yang peduli?
Lalu siapa yang bertanggung jawab?
Kita mulai dulu dari konstitusi, dasar kita bernegara.
Pasal 33, ayat 3, UUD 1945 menyebutkan bahwa: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Penafsiran tentang pasal di atas, boleh saja kita tak bersepakat. Tapi, saya berpendapat bila ada kekayaan alam yang tak dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, berarti ada kelalaian yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Penguasa belum bisa menjalankan amanat Undang-undang.
Tarik nafas sejenak. Bagi yang tak sependapat, silakan berhenti di sini. Sebab, bila dilanjut, boleh jadi tulisan ini dapat membuat Anda berkeringat dingin.
Bagi nan bersepakat bahwa penguraian sengkarut ini mesti dimulai dari pemerintah. Dilakukan oleh pemerintah. Negara wajib turun, untuk menjalankan amanat konstitusi. Silakan lanjut membaca.
Namun, saya tidak tahu. Siapa yang akan jadi penggeraknya. Leading sektor penyelesaian. Inisiator perubahan. Motor starter.
Domain siapa ini?
Eksekutif, atau legislatif dulu. Pusat atau pemda. Pemprov atau pemkab? Entahlah.
Kini, tampak semua memilih pasif. Saling tunjuk. Saling tuding. Semuanya saling berdalih. Eh, berdalil. Ya, siapa itulah yang salah.
Berujar si Poltak melihat ini;, "Pening Aku Tante"
Aktivitas tambang-tambang emas itu serupa sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta. Pilihan menyikapinya hanya tiga. Saya kira tak lebih. Stop, biarkan, legalkan. Itu saja.
Menyetop tambang emas itu bak menghambat gairah Romeo kepada Juliet. Hil yang mustahal.
Sejibun rujukan sejarahnya. Usahlah sampai ke zaman silam amat. Masa pascarenaisans saja. Periodesasi imperialisme. Slogannya sangat populer: Gold, glory, gospel. Emas melahirkan penjajahan. Di mana-mana. Emas bersaudara kandung dengan imperialisme.
Ada yang lebih dekat jarak dan masanya. Ketika ekspedisi geologi menemukan cadangan emas di ketinggian 4000 mdpl di puncak gunung bersalju di Papua tada tahun 1936. Pemerintah Kolonial Belanda berusaha menutupi penemuan itu. Sampai pada tahun 1959 penemuan itu diketahui oleh Forbes Wilson, Direktur Freeport Sulphur. Wilson menanggapinya dengan menyebut: Gold Mountain.
Lalu sejarah mencatat beragam teori konspirasi, demi gunung emas itu, dua presiden terguling. Presiden Soekarno dan tertembaknya Jhon F. Kennedy, Presiden Amerika. Sampai akhirnya Freeport dapat mengekplorasi gunung emas itu. Sampai kini.
Bila emas telah nyata dapat melahirkan kolonialisme, jua bisa meruntuhkan kekuasaan selevel presiden, bagaimana cara menalar buaian janji para politisi lokal, yang berteriak "Akan menghentikan tambang ilegal."
Sepertinya kita butuh adendum pada pasal turunan rukun iman untuk dapat mempercayai janji-janji itu.
Ditarah indak tatarah
Bak manarah batang sampie
Ditabeh makonyo jadi
Ditagah indak tatagah
Bak managah aia ilia
Dilapeh makonyo jadi
Pantun itu pas untuk menggambarkan kesukaran menyetop aktivitas tambang emas. Bak menyetop air yang mengalir ke hilir.
Namun, melepas blas begitu saja tentu bukanlah jalan terbaik. Itu namanya solusi putus asa.
Bila alirannya bisa dikanalisasi, pastilah pemanfaatannya menjadi lebih maksimal.
Realita saat ini, pembiaran begitu saja. Bagaimana runyamnya, rabab sajalah nan menyampaikan.
Mudah menelusuri cerita centang perenangnya. Alam dirusak. Para beking saling tembak, sebab berebut lapak. Kuasa diatur urang bagak. Adab tak lebih serupa kucing ber*k. Tanah digali, lepas hajat, ditinggal pergi. Bau asam busuknya biarkan ditanggung orang banyak. Habis manis sepah dibuang.
Kita dapat melihat wujud piramida sistem kapitalis di situ. Pengambil keuntungan paling besar: para pemodal atau penguasa. Diamankan oleh oknum aparat. Masyarakat proletar sebagai pekerja kasar. Kelompok yang dapat upah paling kecil, dengan risiko mati paling tinggi. Tanpa dilindungi oleh sistem bernegara. Sebab aktivitasnya ilegal.
Rumit menghubungkan realitas itu dengan panduan pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Serumit menghubungkan timur dan barat. Jauh panggang dari api.
Distop; tak mungkin. Dilepas; tak karuan. Tak ada jalan lain; legalkan.
Tapi, mulai dari mana?
Siapa yang akan menggerakkan?
Entahlah. Mungkin rumput bergoyang bisa menjawab.
Bila ada yang tahu. Mohon saya diberi tahu. Saya nak mengajak merenung.
Bukankah, Tuhan menakdirkan kita lahir, di mana dalam tanah tempat kita berpijak tersimpan emas. Artinya Tuhan telah menganugerahkan itu untuk kebaikan hidup kita. Namun, kita mengalpakannya. Kita abai. Kita kekurangan di atas keberlimpahan. Bak ayam kelaparan di lumbung padi.
Bisakah, anugerah yang terabaikan, atau salah urus itu pergi. Atau malah berubah menjadi petaka.
Mungkinkah, serupa sejarah Freeport, tetiba ada saja pihak nun jauh dari luar sana, mengetahui bahwa dalam tanah kita banyak emas. Dengan kecanggihan teknologi mereka teropong dari atas langit. Maka tampaklah oleh mereka ada emas di bawah rumah kita.
Maka dengan kekuatan mereka, hanya bermodalkan selembar kertas kita diusir dari tanah sendiri. Sebab mereka mau ambil emas-emas itu.
Semuanya mungkin.
Mungkin lingkungan akan makin rusak sebab aktivitas tambang tak beraturan terus berjalan.
Mungkin juga akan muncul pemimpin-pemimpin yang mampu mengurai sengkarut ini. Menjadikan tambang-tambang itu legal. Untuk rakyat Sumatra Barat. Sesuai amanat konstitusi. Pasal 33 ayat 3 UUD 1945.
Tapi, mungkin itu keajaiban.
