News Breaking
Live
update

Breaking News

Peneliti INDEF: Program Jaring Pengaman Sosial (JPS) Gagal karena Pemerintah Terlambat

Peneliti INDEF: Program Jaring Pengaman Sosial (JPS) Gagal karena Pemerintah Terlambat

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati
TANJAKNEWS.COM , Jakarta-- Peneliti Senior Institute of Development and Financial (INDEF), Enny Sri Hartati menilai,   program Jaring Pengaman Sosial dalam penanggulangan COVID-19
dengan dana Rp110 triliun dialokasikan pemerintah  untuk  agar masyarakat tetap bisa memenuhi kebutuhan pokoknya, gagal.

"Program ini telah gagal memenuhi tujuannya," simpul Enny dalam Diskusi Daring bertajuk "Menakar Program Jaring Pengaman Sosial Pemerintah di Tengah  Pandemi COVID-19 yang diselenggarakam NP Center, Kamis, (7/5/2020).

"Kegagalan tersebut terjadi karena pemerintah terlambat. Terlambat  mengantisipasi,  terlambat melawan dan terlambat mitigasi pandemi Covid-19," sesal Enny.

Hal senada  disampaikan Netty Prasetiyani, Ketua Tim Covid-19 F-PKS DPR RI  yang menilai  respon lambat pemerintah ini kemudian menghasilkan banyak dampak sosial di masyarakat seperti kemiskinan, pengangguran, kejahatan, hingga kekerasan.

Selain itu, lanjut Netty,  banyak sengkarut dalam program JPS. Sengkarut  data penerima bantuan,  bermasalah dalam proses pendistribusiannya, persoalan kebijakan yang berubah-ubah hingga muncul program aneh Kartu Pra Kerja serta program listrik gratis yang ternyata tidak bisa dinikmati masyarakat kelas bawah.

Soal sengkarut data penerima bantuan disoroti oleh kedua narasumber yang menilai sebagai persoalan koordinasi dan integrasi antar instansi  yang tidak kunjung usai.

Pemerintah, kata Netty, menggunakan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial sebagai basis data pembagian bantuan, tetapi kemudian  jajaran RT dan RW  diinstruksikan melakukan pendataan  pembaharuan.  Hasilnya  ada perbedaan data yang menjadi akar permasalahan baru, yaitu data tidak sinkron dan atau data membengkak karena  pertambahan jumlah masyarakat kelas bawah sebagai imbas pandemik. 

Konflik di masyarakat pun terjadi  karena bantuan dinilai tidak tepat sasaran serta jumlah bantuan  yang ada tidak mencukupi kebutuhan.

Berdasarkan penelitian INDEF, kata Enny, dalam triwulan pertama 2020, telah terjadi penurunan konsumsi rumah tangga di kalangan masyarakat bawah hingga 43 persen. Ini artinya kemampuan daya beli mereka sudah sangat drop. 

Berbeda dengan kelompok atas yang tidak terpengaruh  dan kelas menengah yang relatif masih bisa makan tabungan. Jadi,  kondisi kelas bawah ini memprihatinkan sekali. Jika JPS gagal, maka hidup mereka berada di dua pilihan: meninggal karena COVID-19 atau meninggal karena kelaparan.

Oleh karena itu, kata Netty, jangan sampai pemerintah menjadikan tubuh orang miskin sebagai legalisasi pencairan anggaran bansos. "Namun dalam pelaksanaannya mereka justru  tidak mendapatkan bantuan tersebut," sindirnya.




Netty dan Enny sepakat bahwa anggaran 110 trilyun  gagal melindungi masyarakat  "Banyak ditemukan pelanggaran pada perencanaan dan pelaksanaannya. Sebut saja penentuan vendor kartu Pra Kerja yang cacat dan tidak tepat sasaran,  pendataan yang buruk, sampai distribusi yang menimbulkan gesekan di masyarakat,"tegas Netty.

Kerawanan bantuan sosial ini  terjadi karena adanya conflict of interest karena  alasan politis. Kepentingan politik dapat saja membuat sesuatu dikemas media menjadi baik dan lancar. Tapi persoalan ekonomi tidak bisa dibaca dari data-data distribusi bantuan. 

"Selama secara riil rakyat kesulitan, rakyat menjerit, rakyat kelaparan, betapa pun bagus data statistiknya, tetap saja program dinilai gagal," ucap Enny.

Oleh karena itu, sebagai kesimpulan diskusi, Netty dan Enny menyepakati untuk dilakukan beberapa upaya perbaikan program JPS. Tujuannya, agar  anggaran JPS sebagai  hasil realokasi dan refocusing APBN  ini sesuai dengan namanya: melindungi dan menyelamatkan hidup rakyat Indonesia dari imbas pandemi COVID-19.

Pertama, kata Enny, pastikan pengawasan dilakukan dengan benar. "Tidak cukup lagi pengawasan dari DPR RI, DPRD, atau Aparat Penegak Hukum. Harus pengawasan melekat. Misalnya, penggunaan label penanda penerima bansos, dalam kondisi tidak normal saat ini adalah sebuah alternatif terobosan yang bisa dilanjutkan. Jadi kalau ada orang mampu menerima bantuan, dia mesti malu saat rumahnya ditempeli label bansos," kata Enny.  Libatkan juga masyarakat sipil yang selama ini tanpa komando pemerintah sudah turun bergotong royong membantu warga terdampak, katanya.

Netty mengingatkan perlunya koordinasi dan integrasi antar instansi juga pusat dan daerah sebagai langkah kedua

"Harus satu kata dan wacana. Jangan saling silang pernyataan yang membuat rakyat bingung, bahkan marah," tandas Netty.

Ketiga, Enny menyarankan  agar dilakukan refocusing skema JPS. "Kalau bicara siap tidak siap, tidak ada negara yang siap dengan serangan COVID-19. Bicara cukup atau tidak cukup, kita tidak akan tahu apakah mencukupi  atau  tidak. Sebab kita juga tidak tahu, ini sampai kapan. Pasti berat,"katanya.

Oleh karena itu, lanjut Enny,  dari alokasi yang tersedia, fokus saja pada program penyelesaian akar persoalan, yaitu masalah penanganan  kesehatan. "Setelah itu, pastikan rakyat bisa survival dengan jaminan kebutuhan pokok. Ini tugas utama negara. Skema program ekonomi akan percuma saja jika dua hal utama tadi masih belum diselesaikan," tandasnya.

Sebagai langkah keempat, Enny meminta agar stuktur Gugus Tugas COVID-19 ditinjau ulang. "Beban Ketua BNPB terlalu berat. Harus ada pemilahan dan pembagian tugas sesuai bidang penanganan." ujarnya.

Menariknya dalam diskusi ini mencuat keinginan  narasumber dan peserta agar semua pihak mengesampingkan ego sektoral, meniadakan dikotomi pusat daerah serta dikotomi koalisi oposisi. 

"Saatnya kita bersatu, bangun gotong royong dan kebersamaan dan gerakkan seluruh masyarakat untuk terlibat dalam penanganan COVID-19. Ini adalah tanggung jawab negara, tanggung jawab Presiden sebagai pemegang otoritas eksekutif tertinggi. Saatnya Presiden memimpin  orkestra simponi JPS ini dengan baik. Terintegrasi setiap sektor dan jenjangnya serta memastikan bebas dari moral hazard," tandas Netty.(Oce/Ali Hasibuan)

KONTAK REDAKSI Media Riau Magazine menerima undangan Press Conference, permintaan wawancara eksklusif (atau liputan khusus), dan pengiriman Press Release, melalui WhatsApp : 0821 1303 0454 (Oce)

Tags