Ekonomi Mie Bakso – Canda Bisnis ala Kafi Kurnia
Oleh Kafi Kurnia
KALAU anda keliling Indonesia, ada satu makanan yang bakal anda temukan hampir diseluruh pelosok desa dan kampung, yaitu tak bukan mie-bakso. Inilah makanan paling populer di Indonesia. Ini fenomena yang sangat luar biasa sekali. Karena Indonesia baru merdeka 75 tahun tapi kebiasaan makan kita telah berubah drastis.
Pada tahun 2018, Tiongkok mengkonsumsi 40,3 milyar bungkus Mie-Instant dan Indonesia tampil diurutan kedua dengan 12,5 milyar bungkus Mie-Instant. Tiongkok dengan jumlah penduduk kira-kira 4 kali Indonesia, dalam perhitungan angka ini kemungkinan konsumsi perorang Mie-Instant di Indonesia hampir mirip dengan di Tiongkok. Sebuah fakta yang sangat luar biasa bukan ??
Itu baru angka hanya untuk Mie-Instant saja. Padahal pasar mie basah, yang digunakan di mie ayam, soto mie, mie-tek-tek dan mie-bakso yang mungkin sama besarnya atau lebih besar dari Mie - Instant. Saya pikir ini sebuah kekayaan budaya kuliner Indonesia yang super unik. Terutama di Jakarta, anda bisa menemukan warung mie dengan aneka variasi sesuai selera dan imjainasi anda. Malah mestinya Jakarta kita beri julukan, “Republik Mie”. Beberapa teman saya terutama dari Singapura dan Malaysia, kalau berkunjung ke Jakarta, selalu minta diajak wisata kuliner mie.
Nah, angka statistik untuk mie yang bukan instant ini tidak saya temukan. Saya mencoba mencari angka untuk mie basah yang digunakan para UMKM di warung mie mereka, tetapi sayangnya tidak ketemu. Nihil alias tidak ada yang menghitung! Tapi asumsi dan perkiraan saya sangatlah besar. Dari semua variasi dan menu yang menggunakan mie, yang paling besar kemungkinan adalah mie bakso.
Bakso secara harafiah adalah daging yang di cincang kemudian dibentuk bola yang kemudian di kukus atau direbus untuk dijadikan sajian kuliner. Kata bakso sendiri berasal dari suku Hokkien di Tiongkok, dan memiliki sejaran lebih dari 2,500 tahun. Masuk ke Indonesia kemungkinan besar lewat jalur perdagangan rempah-rempah. Kuliner daging cincang kemudian dibentuk bola dan dijadikan sajian kuliner, sebenarnya cukup beragam dan hampir ada disetiap kebudayaan dari Eropa, Asia dan Afrika. Tapi evolusi yang terjadi di Indonesia sebenarnya sangat fenomenal dan bisa jadi sebuah potensi ekonomi yang luar biasa.
Pertama, – sajian kuliner ini sangat populer. Tak heran apabila sampai ada diseluruh Indonesia, menyebar ke setiap pelosok desa dan kampung. Betapa sering kita mendengar teman atau sanak saudara kita kangen dan ngidam mau makan bakso. Mulai dari sambel yang super pedas hingga kuah yang super gurih (kemungkinan diberikan terlalu banyak MSG). Inilah sajian yang benar-benar disukai oleh rakyat Indonesia. Bukan saja disukai tapi benar-benar dicintai secara fanatik.
Kedua, - berdagang mie bakso sangatlah mudah. Semua orang bisa melakukan. Bakso, mie-basah, sayur, hingga sambal, semuanya bisa dibeli. Yang harus disiapkan cuma kuah kaldu. Yang membuatnya sangatlah mudah. Bahayanya kalau kurang gurih tinggal pakai MSG.
Ketiga, - bakso sebagai produk itu sendiri, juga menjadi bahan penting untuk sajian kuliner yang lain, mulai dari bahan campuran untuk cap cay, nasi goreng, mie goreng, dan banyak lagi. Bakso tahan berhari-hari bila disimpan di lemari es, sehingga tidak mudah rusak. Ideal dijadikan bahan baku pendamping untuk sajian-sajian kuliner yang lain.
Tiga hal inilah yang membuat potensi ekonomi Bakso dan Mie-Bakso menjadi sangat besar, dan harus dimanfaatkan dan dikembangkan menjadi peluang kekuatan ekonomi kerakyatan. Beberapa pengusaha bakso, juga mulai melakukan inovasi, mulai dari ukurannya dari yang kecil hingga yang raksasa sebesar bola tennis, sehingga muncul sebutan bakso bola tennis. Lalu campurannya, ada yang menggunakan urat sehingga dikenal sebagai bakso urat. Dan sekarang yang terbaru adalah bakso lobster.
Namun sebenarnya bakso yang berbasis daging sapi ini, agak kurang cocok dengan Indonesia. Karena Indonesia tidak memiliki bahan baku daging sapi yang berkualitas. Indonesia sendiri masih mengimpor sapi cukup banyak. Indonesia mengimpor hampir 2 juta ekor sapi tiap tahun. Dan kita mengimpor lebih dari $ 600 juta daging sapi dari berbagai negara. Secara matematis, semakin berkembang industri mie-bakso, maka semakin terkuras devisa kita.
Akibatnya timbul berbagai bakso sapi dipasar dengan variasi kualitas yang berbeda-beda. Banyak bakso sapi berkualitas rendah dengan campuran daging sapi tidak lagi 100% tapi dicampur dengan tepung atau aci. Malah sekarang banyak sekali warung yang menjual bakso aci, yang tidak ada daging sapi sama sekali. Semata untuk mengejar harga yang terjangkau konsumen kebanyakan.
Solusinya adalah keluar dari jalur budaya bakso sapi, dan mempopulerkan bakso ikan. Jepang misalnya negara kepulauan dengan 6,852 pulau memiliki budaya makan ikan yang luar biasa. Mereka berhasil memberdayakan sumber daya alam mereka dan menjadikannya potensi ekonomi yang strategis. Mereka juga punya kearifan lokal untuk membuat industri pasta daging ikan seperti “kamaboko” dan “surimi”. Kamaboko dan surimi kemudian dijadikan bahan baku untuk membuat sajian kuliner dan juga produk lain.
Di Indonesia, ada sikap enggan untuk mengkonsumsi produk dari ikan , dengan alasan rasa amis. Akibatnya ikan di Indonesia kebanyakan di goreng atau dibuat gulai untuk menghilangkan rasa amis tersebut. Padahal di Sumatera Selatan, sajian kuliner seperti pempek, terbukti sangat populer dan merakyat. Demikian juga dengan otak-otak yang juga sangat populer.
Indonesia dengan 17,491 pulau dan sejumlah kearifan lokal, mestinya juga bisa bisa memberdayakan budaya kuliner bahari kita, dan mempopulerkan bakso ikan atau bakso bahari. Bila ini berhasil maka bisa kita bayangkan sumbangannya secara ekonomi terhadap nelayan, dan industri kuliner UMKM. Saya jamin akan sangat luar biasa sekali.
Pemberdayaan ini memiliki 2 langkah strategis. Pertama infrastruktur mengolah ikan menjadi bahan bakso ikan atau bakso bahari harus kita bentuk. Sama seperti di Jepang, kita butuh pabrik yang bisa membuat bahan baku pasta ikan. Ikan yang ditangkap nelayan harus diproses menjadi pasta bahan baku bakso. Pembuat bakso tinggal membeli bahan baku pasta ini dan dengan mudah bisa membuat bakso ikan atau bakso bahari.
Kedua, tentunya harus ada sebuah gerakan promosi besar-besaran untuk memotivasi konsumen dan pengusaha bakmi-bakso untuk mulai menggunakan bakso ikan atau bakso bahari ini dalam sajian kuliner mereka. Bila ini berhasil maka akan ada sebuah gerakan ekonomi yang bisa memberdayakan dan memakmurkan nelayan secara umum. Dan tentunya kita akan bisa mengurangi ketergantuangan impor sapi dan impor daging sapi.
Budaya kuliner memberdayakan kekayaan bahari kita akan menguat dan menjadi lebih kokoh. Penyedian protein bagi rakyat Indonesia akan tercukupi dengan lebih ekonomis.
Dan ini merupakan sebuah potensi ekonomi yang patut kita pertimbangkan dengan arif dan bijak.