News Breaking
Live
update

Breaking News

Melayani Sapi

Melayani Sapi



Oleh: All Amin

SAYA tercenung. Di ujung. Menerawang, membayangkan bagaimana rasanya.

Kisah hebat para pedagang sapi itu. Saya tak yakin, akan mampu melakukan hal serupa. Pun banyak orang. Pasti hanya sedikit yang mau.

Sapi-sapi itu dibawa dari Bima. Kota di ujung timur Pulau Sumbawa. Nusa Tenggara Barat.

Keseharian sapi-sapi dibiarkan lepas bebas di alam. Mencari makan sendiri. Serupa dengan kuda liar yang susunya terkenal itu. Dari Sumbawa juga.

Saya termasuk yang tidak percaya kalau ada susu kuda liar. Sebab akan susah mengambil susunya. Pasti dijinakan dulu.

Pun begitu dengan sapi-sapi itu. Satu dua bulan menjelang dibawa ke Jakarta mereka dijinakan dulu. Mungkin ketika tahu bahwa akan jalan-jalan ke Jakarta. Sapi-sapi itu jinak dengam sendirinya.

Saya baru pernah sampai ke Kota Sumbawa Besar. Posisinya kekira di tengah Pulau Sumbawa. Dekat Taliwang. Yang ayam bakarnya terkenal itu.

Ayam ukuran kecil, dibakar utuh. Dikawinkan dengan plecing kangkung asli Lombok. Lengkap dengan bumbu kacang, dan beberuk terong. Itu makanan bisa bikin lupa. Lupa kalau besok paginya bisa mules.

Dari Sumbawa Besar ke Bima masih enam jam-an lagi. Tergantung naik mobil apa.

Kalau dari Sumbawa Besar arah ke Jakarta saya bisa membayangkan. Rute yang ditempuh oleh sapi-sapi itu.

Mereka mesti menyeberangi tiga selat. Selat Alas. Selat Lombok. Selat Bali.

Sumbawa Besar ke Pelabuhan Poto Tano kisaran tiga jam. Menyeberang ke Pelabuhan Kahayangan hampir tiga jam juga.

Lalu membelah Pulau Lombok menyerong dari timur laut ke arah barat daya. Kisaran tiga jam juga.




Menyeberang selat Lombok agak lama. Empat sampai lima jam di atas kapal. Bila gelombang sedang besar, bisa mabuk laut.

Sepertinya para Kapten Kapal di situ bisa mendapat limpahan pahala dari penumpang. Sebab, ada saat di tengah laut, sejauh mata memandang yang tampak hanya air. Lalu kapalnya diayun-ayun oleh angin dan gelombang, dapat membuat banyak penumpang mendadak mengingat Tuhan. Serupa semut di atas secarik daun di tengah kolam. Jadi ingat mati.

Setelah sandar di Pelabuhan Padang Bai, sapi-sapi itu lanjut menyisir Pulau Bali.

Tapi, saya tak yakin mereka dapat menikmati indahnya pemandangan di Pulau Dewata.

Sebab dinding bak truk, lebih tinggi dari mata mereka. Kalau pun jinjit tak akan sampai. Sapi-sapi itu dibariskan dibelakang. Posisi selang seling. Di antara mereka diberi kayu penghalang.

Agar mereka tak saling mengobrol, dan kayu-kayu itu bisa jadi pegangan bila mereka mau rebah, akibat mabuk kendaraan.

Kekira serupa anak kecil yang mau menonton pertunjukan, berdiri terjepit di belakang banyak orang dewasa. Mukanya sejajar pantat orang di depan. Tak ada yang bisa dilihat.




Paling kalau jalan siang hari sapi-sapi itu dapat merasakan panas Bali yang mendengkang. Tapi, biasanya mereka pejalan malam.

Menyeberang Gilimanuk Ketapang sebentar. Tiba di Bayuwangi, ujung timur Pulau Jawa, sapi-sapi itu sudah menggunakan Waktu Indonesia Barat.

Waktu terdiskon setengah jam. Bila mereka berangkat dari Gilimanuk jam 1.00, mereka tiba di Ketapang jam 12.30. Bisa jadi juga sapi-sapi disorientasi.

Perjalanan dari Banyuwangi ke Jakarta sapi-sapi itu melengkapi pengalaman perdana mereka dengan merasakan jalan tol. Masuknya tak jauh dari pelabuhan, keluarnya bisa langsung di dekat Bogor, tempat mereka akan diperjual belikan.

Itu kalau melalui jalan tol. Namun, bagi sopir truk biasanya selisih antara potongan waktu tempuh dan biaya tol yang mahal jadi pertimbangan penting. Sebagian truk memilih melalui jalur pantura. Enggak apa-apa lebih lama di jalan. Biaya solar nambah dikit. Uang tol bisa untuk makan dan tembakau gulung.

Lima harian baru tiba di tujuan. Di lapak yang disewa oleh pedagang sapi-sapi itu.

Sebenarnya mereka bukan pedagang murni. Mereka adalah para pemilik yang memelihara sapi-sapi itu dari kecil. Pemilik yang membawa dagangannya sendiri ke pasar.

Satu orang membawa antara lima sampai sepuluh ekor. Membawa dan menjaganya baik-baik. Sebab sapi-sapi itu tak boleh sakit sampai di tujuan. Tak boleh kurus. Apalagi sampai mati.

Sapi-sapi dilayani bak setengah raja. Makanan tak boleh kurang. Mulai dari perjalanan, sampai nanti dikirim ke pembeli. Biasanya satu dua hari menjelang Idul Adha.

Saya tanya, "Mengapa mesti dibawa sendiri. Kok enggak dijual di sana saja?"

Menurut mereka, momen lebaran haji ini, menjadi kesempatan untuk dapat menjual sapi-sapinya sedikit lebih mahal. Dengan dibawa sendiri, mereka berharap mendapat kelebihan kisaran antara dua sampai tiga jutaan per ekor. Lumayan.

Mereka patungan menyewa lapak. Menyewa truk. Satu truk membawa antara 15 sampai 20 ekor sapi. Disusun serupa ikan dalam dalam kaleng sarden.

Di lapak itu ada 170 ekor sapi. Pemiliknya 30 orang.

Prosesor dalam kepala ini berproses mendengar cerita itu. Membayangkan perjalanan jauh membawa sapi dari Bima ke Jakarta.

Jauhnya pakai amat itu. Cukup membuat pegal, walaupun naik SUV premium.

Klimaksnya, yang membuat kerongkongan ini rasa tercekat. Berbaur antara empati, dan kesalutan atas nilai-nilai kerja keras.

Cerita yang dapat membakar mental-mental cengeng.

Ketika mereka menjawab pertanyaan saya, "Orang yang 30 ini naik apa? Menyewa mobil, atau naik bis?"

Perkiraan saya salah.

Rupanya mereka satu truk dengan sapi-sapinya. Dalam bak kayu di belakang.

Wow

Sapi berbaris seperti ikan dalam kaleng sarden. Belasan ekor. Berbaur dengan beberapa orang dalam bak kayu di belakang truk. Berhari-hari. Siang malam. Hujan panas. Makan bareng. Ratusan kilo. Tiga selat. Tiga pulau. Tiga juta rupiah.

Semoga para istri mereka terus berdoa agar sapi-sapi itu terjual habis. Anak-anak mereka pun perlu mendengar cerita perjuangan ayahnya. Setelah nanti sampai di rumah. (All Amin)

Tags