Tricita
Oleh: All Amin
Lebih baik pulang nama, daripada gagal di medan laga. Lafaz doktrin yang terpatri dalam dada setiap para prajurit komando.
Doktrin lain yang semakna: Sekali layar terkembang, surut kita berpantang.
Ada pula petuah berbahasa minang: Patah sayok batungkek paruah, usah suruik dari galanggang. Cilako ayam di sabuangan.
Tiga ungkapan pembakar semangat dengan roh yang sama. Mesti berjibaku dalam memperjuangkan apa yang dicita. Sampai bisa.
Ini tentang seorang prajurit komando yang sebentar lagi paripurna pengabdiannya berbaret merah.
Ia hendak melanjutkan pengabdian ke kampung halaman dengan seragam putih dan kopiah hitam. Maka ia beri judul konversi pengabdian itu dengan Pulang Kampung dari Cijantung.
Irwan Sutan Rajo Endah telah lama meninggalkan kampung halamannya di Nagari Alahan Panjang, Kabupaten Solok.
Menjalankan takdirnya sebagai prajurit Kopassus. Pasukan elit dalam TNI Angkatan Darat.
Dalam Kopassus itu ada satuan khusus lagi. Namanya Detasemen Anti Teror Sat-81 Gultor Kopassus.
Irwan atau di kampung lebih dikenal dengan panggilan Diduk merupakan anggota dari kesatuan bentukan Luhut Binsar Pandjaitan itu.
Di antara perjalanan karir Diduk, pada masa reformasi, pernah satu tahun menjadi pengawal pribadi Presiden terpilih Prabowo Subianto, yang kala itu menjabat sebagai Danjen Kopassus dan Panglima Kostrad.
Ada kultur khas dalam ketentaraan. Budaya yang melekat sekali. Jiwa korsa. Semangat kebersamaan. Setia kawan.
Sejatinya sikap ini sangat diperlukan di luar militer. Terutama untuk seorang pemimpin.
Para pemimpin formal yang dipilih melalui proses politik. Dalam belantara perpolitikan, populer istilah: tak ada kawan yang abadi.
Butuh aliran jiwa korsa guna mengimbangi dogma negatif itu.
Dibutuhkan ketulusan yang sungguh dalam dada para pemimpin politik, sebab perannya bersinggungan dengan hajat hidup orang banyak.
Namun, siapa yang bisa tahu akan kesungguhan itu. Hanya yang bersangkutan dan Tuhan. Doktrin pengabdian yang ada dalam jiwa tentara, bisa menjadi semacam penguatan, walaupun tak ada jaminan mutlak.
Biasa bekerja sama dalam tim. Atau dalam terminologi kekinian: kolaborasi.
Dalam langkahnya menuju ke ranah pengabdian baru, semangat loreng darah mengalir diubah menjadi kemeja putih yang melambangkan ketulusan, Irwan Sutan Rajo Endah mengusung sebuah model kolaborasi: Berjemaah Mengubah Arah.
Arah menuju asa bersama. Cita-cita luhur. Cita-cita paripurna.
Cita-cita itu dikelompokan menjadi tiga klaster. Sesuai dengan falsafah Minangkabau: tigo tunggu sajarangan, tali tigo sapilin.
Tigo ronggo badan nan wajib diisi. Ronggo paruik, ronggo kapalo, sarato ronggo dado.
Haji Irwan Sutan Rajo Endah atau akrab disapa dengan Diduk, turut serta menawarkan diri kepada masyarakat Kabupaten Solok, akan bersedia menerima amanah, apabila dipercaya oleh masyarakat untuk menjadi Kepala Daerah.
Sebagai jalan menuju ke situ, ia sedang berikhtiar turut mengikuti berbagai proses politik, sebagai tahapan awal. Mengakses beberapa kemungkinan agar dapat menjadi Calon Kepala Daerah yang nanti akan dipilih oleh masyarakat melalui pemilu.
Nak mengabdi secara totalitas kepada kampung halaman. Pulang Kampung dari Cijantung membawa semangat pengabdian untuk perbaikan.
Semangat mengabdi dan pemikiran perbaikan itu dirangkum ke dalam visi dan misi yang disingkat menjadi sebuah slogan: Tricita.
Tiga cita-cita untuk Kabupaten Solok tercinta.
Cita pertama: Ekonomi tumbuh dan berkeadilan.
Ini kebutuhan paling esensial. Pada dasarnya manusia adalah Homoecomicus. Makhluk ekonomi. Ujung semua kegiatan adalah ekonomi. Kecuali hal spiritual.
Kepala Daerah ke depan tak boleh hanya sekadar bisa menjalankan tugas reguler dalam tata kelola administrasi pemerintahan. Mengatur lalu linta APBD. Atau mengakses kucuran APBN. Mesti lebih dari itu.
Mesti mampu menciptakan kegiatan-kegiatan ekonomi, yang dapat menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Dalam skala lokal. Dan tidak sekadar tumbuh, tapi juga berkeadilan. Manfaat pertumbuhan itu tak hanya dinikmati oleh segelintir orang. Tapi, masyarakat banyak. Penyebaran manfaatnya masif.
Cita kedua: Pendidikan guna membentuk insan berkarakter.
Salah cara untuk mengubah manusia adalah melalui pendidikan. Sejarah sudah membuktikan. Awal lahirnya konsep Indonesia ini setelah Pemerintah Hindia Belanda menjalankan kebijakan politik etis. Politik balas budi.
Satu di antara tiga program yang dikenal sebagai Trias Van Deventer adalah edukasi. Mula berdirinya sekolah dan perguruan tinggi di Hindia Timur. Dibolehkannya pemuda-pemuda Bumiputera bersekolah ke Eropa. Dari kaum terdidik itu lahir pemikiran tentang Republik Indonesia.
Perhatian khusus di bidang pendidikan, terutama pendidikan dasar sebagai pondasi pembentukan karakter, pas pula itu ada dalam ranah kewenangan Bupati, merupakan hal yang sangat penting.
Cita ketiga: Masyarakat harmoni dalam bingkai adat dan tuntunan syariat.
Tatanan kehidupan masyarakat Minangkabau tak bisa lepas dari adat dan agama Islam. Adat basandi syarak dan seterusnya bukan sekadar hafalan. Tapi mesti implementatif.
Aturan positif bernegara, kepatutan menurut adat, serta kaidah syariah harus saling berkelindan mewujudkan kehidupan masyarakat yang harmonis, damai, dan sejahtera.
Singkatnya Tricita itu: Ekonomi, Pendidikan, serta Budaya dan Agama.
Jikok dibalun sabalun kuku, jikok dikambang saleba alam.
Ketika berbaret merah salam Haji Irwan adalah "Komando!" Besok berkopiah hitam, salamnya berubah menjadi "Tricita".
________