Investigative Reporting: Kesepakatan Rahasia Hancurkan Surga Papua
![]() |
Hutan di Boven Digoel, 2017. Foto oleh Nanang Sujana |
- Kesepakatan rahasia hancurkan surga Papua’ adalah kisah ketiga dari seri Indonesia Dijual, suatu rangkaian laporan investigasi yang memaparkan potret buram dari situasi deforestasi dan krisis agraria di Indonesia.
- Laporan ini merupakan hasil dari proses investigasi selama 23 bulan serta wawancara dengan sejumlah fixer, perantara, pengacara, pejabat perusahaan terkait, dan mereka yang terdampak dari transaksi-transaksi lahan.
- Laporan ini juga merupakan sebuah kolaborasi antara Mongabay dan The Gecko Project — suatu inisiatif reportase yang didirikan oleh lembaga nirlaba bernama Earthsight — serta Tempo dan Malaysiakini.
Prolog: Johor Bahru, 2012
Pada Desember 2012, persisnya di sebuah konferensi pers yang dilangsungkan di sela-sela forum bisnis Islam di Malaysia, seorang lelaki bernama Chairul Anhar membuat pernyataan yang berani. Ia mengungkapkan bahwa perusahaannya telah memegang izin terhadap empat ribu kilometer persegi tanah untuk perkebunan sawit di Indonesia.
Jika klaim itu benar, maka Chairul menjadi pemilik tanah terluas di negeri ini. Luasannya mencapai enam kali Provinsi DKI Jakarta dan lokasinya terletak di pulau raksasa yang membuat silau mata para investor dunia, yaitu Pulau Papua. Di sanalah terdapat tambang emas terbesar di dunia, cadangan minyak dan gas yang melimpah, serta kawasan hutan yang terluas di kawasan Asia-Pasifik.
Bagi perusahaan-perusahaan pembalakan kayu yang telah menebangi hutan di Asia Tenggara, Papua adalah sasaran terakhir yang tersisa. Tampaknya, keuntungan yang melimpah menanti bagi siapa pun yang dapat menaklukkannya.
Waktu itu, Chairul Anhar adalah pria berusia pertengahan 40-an. Ia berbadan sedikit gempal, berkumis tipis, dan dandanan yang necis. Chairul menampilkan diri selayaknya seorang investor yang sudah menggenggam Papua. Lantas, ia mengaku juga sebagai presiden, CEO, dan pemilik konglomerat bernama Menara Group. Ia berpergian dengan mengendarai mobil mewah Bentley dan jet pribadi. Sebagai pria berdarah Minang, ia berkelakar bahwa ia punya relasi dekat dengan berbagai elit politik di Indonesia dan Malaysia.

Proyek Tanah Merah menjadi dasar klaim Chairul Anhar. Proyek itu tak lain adalah suatu rencana untuk mengeruk uang miliaran dolar AS dari pembabatan hutan yang selama ini tak tersentuh. Hutan tersebut merupakan rumah bagi Suku Auyu sebagai masyarakat adat setempat sekaligus harta karun berupa keanekaragaman hayati yang tak ternilai. Penebangan hutan dimaksudkan untuk menjadikannya perkebunan sawit.
Jika kawasan itu benar-benar akan dikembangkan seluruhnya, maka di sanalah kita akan menemukan satu-satunya perkebunan sawit terbesar di Indonesia. Namun, bisnis dan hubungan Chairul dengan proyek tersebut tidak semulus yang ia menyampaikan. Alurnya bagai benang kusut yang kami coba urai.
Izin kawasan di Provinsi Papua telah diperoleh melalui perusahaan cangkang (shell company), yaitu badan usaha yang tidak memiliki operasi bisnis, aset yang signifikan, maupun rekam jejak. Para pemegang saham kebanyakan hanyalah kedok. Mereka bagai boneka yang dikendalikan dengan tali. Dan perusahaan-perusahaan itu pun layaknya tameng yang menyembunyikan aktor sebenarnya yang mendapat manfaat dari proyek itu. Entah, apakah itu betul-betul Chairul Anhar sendiri atau justru orang lain.
Pada akhir 2012, sebagian besar saham di sejumlah perusahaan cangkang tersebut telah dijual ke perusahaan-perusahaan lain yang beralamat di Timur Tengah dan Singapura. Transaksi penjualan itu telah menyalurkan sedikitnya uang senilai AS$ 80 juta ke jaringan para pemegang saham yang terhubung dengan Chairul dan menyeret berbagai aktor baru ke dalam proyek, di antaranya mantan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri), sebuah keluarga dari Yaman yang kaya raya, perusahaan pembalakan kayu asal Sarawak (Malaysia), dan konglomerat yang terjerat skandal korupsi besar di Malaysia.
Pada saat berlangsungnya konferensi pers itu, Chairul sebetulnya hanya memiliki klaim kecil atas tanah terkait Proyek Tanah Merah. Tetapi, ialah yang menyertakan berbagai kepentingan dan menggandeng banyak pihak untuk bersama-sama mendulang harta sekaligus menyalakan sumbu yang dapat berujung pada bencana lingkungan yang kemudian berangsur-angsur terungkap.
Ancaman terhadap pemusnahan hutan melalui Proyek Tanah Merah amatlah nyata. Sejak tahun 2000, hanya Brasil yang mampu mengalahkan Indonesia dalam hal luasan hutan hujan yang telah sirnah. Salah satu penyebab utama dari deforestasi tersebut adalah pertumbuhan perkebunan berskala industri yang kian brutal membabat hutan sejak awal tahun 2000-an. Keberadaan perkebunan itulah yang membuat Indonesia menyandang gelar sebagai produsen utama di dunia untuk minyak sawit, yakni minyak nabati edibel yang banyak digunakan dalam berbagai jenis produk sehari-hari. Situasi itu pun ikut memicu krisis lingkungan karena cadangan karbon dari pohon-pohon yang hilang akibat deforestasi akhirnya terlepas ke atmosfer.
Besarnya volume emisi gas rumah kaca yang bersumber dari hutan di Indonesia merupakan persoalan yang menjadi perhatian global. Norwegia telah menjanjikan AS$ 1 miliar sebagai upaya untuk menghentikan laju emisi tersebut. Sejak 2015, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mencoba untuk memperbaiki tata kelola industri perkebunan sawit, termasuk belakangan ini dengan mengeluarkan kebijakan larangan sementara terhadap izin baru untuk perkebunan sawit (moratorium sawit) melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) No. 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit. Meski hanya baru sebagian kecil dari Proyek Tanah Merah yang telah dikembangkan, namun izin konsesi dikeluarkan sebelum pelarangan mulai berlaku. Penghancuran hutan pun terus berlanjut.
Saat ini, kawasan yang mencakup wilayah seluas kurang lebih 65 kilometer persegi atau sekitar satu setengah kali Kota Jogjakarta tersebut sudah dibabat untuk Proyek Tanah Merah. Itu hanya sebagian kecil dari total wilayah proyek.
Jika buldoser terus bergerak dan menjangkau sisa lahan lain sesuai rencana, maka jumlah emisi karbon yang dikeluarkan akan lebih besar ketimbang pembakaran bahan bakar fosil yang diproduksi setiap tahunnya oleh sebuah negara kecil, namun maju, seperti Belgia. Dan jika pembangunan kilang gergaji dalam skala besar di sana kelak rampung, akan ada lebih banyak lagi pohon yang segera tumbang di tahun-tahun mendatang. Bukan tidak mungkin, keberadaan hutan di bagian selatan Provinsi Papua hanya akan tinggal cerita.

Dalam satu dekade sejak ide tertang proyek tersebut digulirkan, proses perolehan dan pemindahtanganan izin-izin itu telah diselimuti berbagai kerahasiaan. Perusahaan-perusahaan yang terlibat mengerahkan berbagai trik dan tipu daya untuk menghindari segala kecurigaan. Aspek-aspek penting dari proses perizinan yang mendukung keseluruhan proyek tersebut disembunyikan dari pengawasan publik. Pemilik sebenarnya dari perusahan-perusahaan yang sedang membabat hutan pun masih tersembunyi.
Investigasi lintas batas ini melibatkan sejumlah media dari empat negara berbeda — The Gecko Project, Mongabay, Tempo, dan Malaysiakini — dalam upaya menyibak “selimut” korporasi. Kami berupaya untuk mencari tahu siapa dan bagaimana sesungguhnya izin untuk proyek sebesar itu bisa diperoleh. Investigasi kami mengungkap metode seperti apa yang digunakan oleh para investor untuk mengendalikan nasib hutan di Indonesia dan menyamarkan jejak mereka. Ada permainan uang, kekuasaan, dan manipulasi keputusan-keputusan politik.
Bagian 1: ‘Saya tidak sembarangan mengeluarkan izin’

Ketika Yusak Yaluwo terpilih sebagai Bupati Boven Digoel tahun 2005 lalu, usianya baru 35 tahun. Ialah yang memegang kendali atas wilayah dengan cakupan berupa hamparan hutan yang amat luas. Kabupaten Boven Digoel terletak di sudut timur Indonesia di Provinsi Papua. Dr. Bruce Beehler, seorang ahli biologi di Smithsonian Institution, yang pernah menghabiskan empat dekade hidupnya untuk mempelajari pohon dan burung di Papua, memberikan gambaran tentang kondisi alam dan tutupan hutan di sana. “Ketika Anda melihat pulau itu dari atas, bahkan sampai hari ini pun, sebagian besar yang Anda lihat adalah hamparan luas hutan hujan.”
Di seluruh kawasan Asia Tenggara, lansekap seperti yang diungkapkan Bruce itu telah mengalami kehancuran secara terus menerus selama separuh abad terakhir ini. Aktivitas manusia yang mendorong deforestasi hutan terjadi secara bertahap. Pertama-tama adalah penebangan kayu yang memecah kawasan hutan dan merusak ketangguhan hutan. Hal itulah yang menciptakan akses atau jalan yang menjadi celah untuk beragam tindakan yang semakin menghancurkan hutan. Hutan yang telah rusak pun menjadi kian rentan terhadap kebakaran hingga akhirnya memunculkan perkebunan-perkebunan.
Hutan primer menyimpan cadangan karbon yang sangat besar sekaligus menjadi rumah bagi beragam flora dan fauna. Tetapi kini, hutan primer telah semakin langka akibat penebangan dan pengrusakan hutan. Sehingga, konsekuensinya bukan hanya pada pelepasan karbon ke atmosfer, melainkan juga ancaman terhadap kelangsungan hidup satwa liar menuju kepunahan. Papua merupakan provinsi yang memiliki luasan hutan paling besar di Indonesia. Dan Boven Digoel adalah salah satu kabupaten terluas di Papua. Luas kabupaten itu mencapai 27 ribu kilometer persegi dan sebagian besarnya adalah hutan yang masih utuh dan asli.

Ada beragam satwa endemik yang hanya hidup di Papua. Sebagian hewan yang berevolusi di sana sangatlah ikonik, salah satunya burung cenderawasih. Bruce berpendapat bahwa ada banyak spesies lain yang belum diidentifikasi secara ilmiah atau belum pernah dilihat oleh orang-orang luar.
“Saya dapat meyakinkan Anda bahwa hutan di (sepanjang aliran sungai) Digul sangat kaya dan kemungkinan memiliki jutaan spesies invertebrata, mikro-organisme, dan tumbuhan lain,” katanya.
“Mereka mungkin menyimpan bermacam hal yang belum diketahui dan kelak bisa sangat berguna bagi umat manusia di masa depan jika kita dapat mengenali dan memahami mereka.”
Masyarakat adat di Pulau Papua terdiri dari ratusan suku yang memiliki ragam bahasa masing-masing. Mereka mempunyai hubungan yang erat dengan hutan sebagai bagian dari kehidupan mereka selama ribuan tahun. Identitas dan kebudayaan mereka terhubung pada wilayah adat yang terikat dengan alam. Ketika Yusak mulai berkuasa pada 2005, terdapat banyak komunitas adat yang menggantungkan sumber penghidupan mereka dari aktivitas berburu, mengumpulkan buah, dan mengolah sagu sebagai makanan pokok. Apa yang mereka lakukan itu memiliki dampak yang sangat kecil terhadap perubahan kondisi hutan.

Mungkin,
kekuatan yang paling berpengaruh dan saat ini dimiliki oleh seorang
bupati, adalah kewenangan untuk mengeluarkan izin-izin untuk perkebunan
besar. Perkebunan semacam itu dapat menarik investasi bagi kabupaten
dengan kondisi ekonomi yang rendah dan pendapatan asli daerah (PAD) yang
terbatas. Tapi, jika tidak dikelola dengan hati-hati, kehadiran
berbagai perusahaan tersebut dapat menyebabkan munculnya
kepentingan-kepentingan yang saling tumpang tindih antara urusan
masyarakat adat atau lingkungan dan ideologi pembangunan yang cenderung
eksploitatif dan destruktif.
Pada
2005, tanda-tanda bahaya sudah muncul. Boven Digoel adalah lokasi di
mana terdapat perkebunan berskala besar pertama di bagian selatan Papua.
Itu telah dimulai sebelum Yusak menjadi bupati. Perkebunan itu
dikembangkan oleh konglomerat asal Korea Selatan. Hal itulah yang
kemudian memicu konflik berkepanjangan dengan masyarakat adat setempat.
Mereka memprotes tanah adat yang dirampas tanpa kompensasi yang memadai
dan juga penghancuran terhadap sumber pangan dan tanaman obat mereka.

Tetapi,
Yusak tidak memperhatikan tanda-tanda peringatan. Dokumen-dokumen
pemerintah menunjukkan bahwa pada Desember 2007, ia telah mempraktikkan
kekuasaannya terkait pengeluaran izin-izin konsesi secara bebas. Saat
itu, Yusak mengeluarkan izin-izin yang mencakup tujuh blok hutan yang
berdekatan. Salah satu yang paling luas terbentang sepanjang lebih dari
60 kilometer dari sisi timur ke barat. Terlihat pada peta,
kawasan-kawasan konsesi bertumpuk bersama untuk membentuk satu blok
tunggal yang berukuran hingga 2.800 kilometer persegi, sekitar 10 persen
dari luasan kabupaten atau hampir setara dengan luas separuh Pulau
Bali. Keberadaannya dapat menciptakan sebuah lubang raksasa di antara
hutan yang tersisa.
Ada
tujuh izin yang dikeluarkan untuk tujuh perusahaan yang berbeda. Yusak
memberi tahu kami bahwa izin-izin itu terkait dengan konglomerat
Malaysia yang disebut dengan Genting Group. Tetapi, dua pejabat
eksekutif Genting Group bersikeras kalau Genting Group tidak pernah
membentuk atau memiliki tujuh perusahaan itu. Siapa yang sesungguhnya
mendirikan perusahaan-perusahaan tersebut, masih diliputi banyak
pertanyaan.
Dari
catatan perusahaan yang kami peroleh dari Sistem Administrasi Badan
Hukum (Sisminbakum), Kementerian Hukum dan HAM, terungkap bahwa ketujuh
perusahaan itu didirikan hanya dalam waktu delapan hari pada bulan
Februari 2007.
Berdasarkan
penyelidikan kami, perusahaan-perusahaan itu berlokasi di alamat palsu,
bahkan terdapat alamat yang sesungguhnya tidak pernah ada. Ada pula
alamat yang kami telusuri dan ternyata merupakan bangunan toko-toko
kecil di mana tak seorang pun tahu menahu tentang perusahaan yang
beralamat di situ.
Masing-masing
dari ketujuh perusahaan itu mempunyai dua pemegang saham yang berbeda.
Kami melacak salah seorang dari mereka sampai ke rumahnya. Di sanalah
kami menemukan perempuan berusia 58 tahun yang tinggal di kamar kos yang
terletak di gang sempit di Jakarta Selatan. Ia memberi tahu dengan
tegas bahwa ia tidak pernah terlibat dalam perusahaan itu atau pun punya
peran penting di perusahaan lain. Ketika perusahaan itu didirikan —
menggunakan namanya sebagai pendiri — ia bekerja sebagai petugas
kebersihan di sebuah bank. Nomor Induk Kependudukan (NIK) pada KTP-nya
membuktikan kalau dia adalah benar orang yang sama dan terdaftar dalam
catatan perusahaan.
“Saya hanya petugas cleaning service,” kata perempuan paruh baya itu. “Saya tak mungkin membuat perusahaan.”

Penelusuran
kami pada alamat pemegang saham lainnya membawa kami ke perkampungan
kumuh di Jakarta Barat. Namun, sosok yang kami cari itu tidak sedang
berada di rumah. Kami menjumpai ayahnya yang bekerja sebagai pedagang
buah di pinggir jalan. Pria tersebut mengatakan kalau ia tidak tahu
putrinya punya sangkut paut dengan perusahaan semacam itu. Anak
perempuannya hanya bekerja sebagai petugas kebersihan di bank saat
perusahaan didirikan.
Bukti
tersebut menunjukkan bahwa siapa pun yang telah mendirikan
perusahaan-perusahaan itu, bukanlah orang-orang yang disebutkan di dalam
catatan perusahaan. Perkebunan di Kabupaten Boven Digoel bisa saja
menjadi yang terbesar di Indonesia. Namun, asal usulnya masih diselimuti
teka-teki.
Selama
bertahun-tahun, keberadaan perusahaan-perusahaan cangkang itu tampaknya
dibiarkan tertidur bersamaan dengan meredupnya prospek hadirnya
perkebunan raksasa. Hingga suatu hari, Chairul Anhar muncul. Yusak
Yaluwo memberi tahu kami bahwa dia dan Chairul pertama kali bertemu pada
tahun 2009 lalu di sebuah restoran di Jayapura. Yusak mengatakan,
Chairul tiba di ibukota Provinsi Papua dengan pesawat pribadi bersama
seorang pria bernama Dessy Mulvidas yang kelak memainkan peran sentral
dalam skema itu. Chairul memberitahu Yusak bahwa Menara Group telah
membeli tujuh perusahaan. Tetapi, masa berlaku izin-izinnya akan segera
habis. Chairul membutuhkan bantuan Yusak untuk memperbaharuinya.
Yusak
mengutarakan pada kami bahwa dia menerima berbagai tawaran dari banyak
investor yang mencari tanah di wilayah yang dipimpinnya. Hampir semuanya
ia tolak. “Saya tidak sembarangan mengeluarkan izin,” katanya dalam
wawancara baru-baru ini di sebuah mal di Jakarta. Sementara itu, Chairul
datang membawa tawaran yang menggiurkan dengan peluang untuk
menghidupkan kembali investasi raksasa yang pernah ada di Boven Digoel.
Yaitu, agar Sang Bupati bisa menghidupkan lagi izin-izin yang telah
terbengkalai. Tapi, pengusaha yang mendekati Yusak itu tak dikenal asal
usulnya. Siapakah Chairul Anhar?
Kemunculan
Chairul di media hingga pertemuannya dengan Yusak, menegaskan sosoknya
yang bukan pemain baru dalam menyajikan ide untuk investasi berskala
besar. Pada Januari 2007, sebuah berita di surat kabar
mendeskripsikannya sebagai presiden dari perusahaan yang bernama PT
Indomal Usahasama. Perusahaan itu pernah memiliki rencana untuk
membangun “Palm Oil Centre” (Pusat Minyak Sawit) senilai AS$ 1 miliar di
Pulau Mangole, Kabupaten Sula, Maluku Utara.
Empat bulan kemudian,
sebuah publikasi lain menyebutnya sebagai presiden dari PT Destini
Marine, perusahaan yang diklaim Chairul pernah memesan pembuatan kapal
tanker dan kapal kargo senilai AS$ 200 juta untuk klien di Eropa.

Benang
merah pada kedua investasi itu, selain sekadar klaim yang berani,
adalah laporan dari para bekingan asal Malaysia yang tidak disebutkan
namanya dan fakta bahwa mereka menghilang tanpa jejak. Kini, dua tahun
kemudian, Chairul Anhar menampilkan sosoknya sebagai pemilik dari Menara
Group — sebuah nama yang seolah menegaskan gagasan terhadap
konglomerasi yang menjulang tinggi ke langit. Tapi, tampaknya amat sulit
untuk membuktikan bahwa Menara Group benar-benar adalah badan usaha
yang besar. Meski berkantor di salah satu gedung pencakar langit di
Jakarta, namun tidak ada catatan sejarah yang menunjukkan pengalamannya
dalam membangun perkebunan.
Menara Group juga tidak memiliki situs
resmi. Tidak ada jejak online (daring) yang bisa ditelusuri.
Di
banyak kabupaten yang kekurangan anggaran, seperti halnya Boven Digoel,
Pemerintah Daerah seringkali melihat para investor besar selayaknya
sapi perah yang akan memberikan kucuran modal. Mereka diharapkan untuk
melakukan hal-hal di luar bisnis mereka. Di bawah payung “tanggung jawab
sosial perusahaan” atau CSR (Corporate Social Responsibility),
Pemerintah Daerah seringkali meminta perusahaan perkebunan maupun
pertambangan untuk membangun jalan dan memberikan dukungan untuk sektor
kesehatan dan pendidikan.
Terkait dengan pertukaran terhadap keuntungan
yang didapat dari sawit, perusahaan secara hukum diwajibkan untuk
menanam dan menyerahkan sebidang tanah — yaitu, sebesar seperlima dari
wilayah konsesi perusahaan — kepada penduduk lokal. Yusak memberi tahu
kami bahwa ia melihat Menara Group sebagai investor yang dapat memenuhi
kewajiban itu. Begitu pula dengan Chairul Anhar yang berjanji pada Yusak
kalau ia akan melakukannya.
Selama
beberapa bulan setelah Chairul mengambil alih Proyek Tanah Merah,
sesuatu terjadi dan itu mengganjal jalannya proyek. Pada suatu malam di
bulan April 2010, Yusak ditangkap KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
KPK telah mencium adanya gelagat yang tidak beres dari serangkaian
pembayaran yang mencurigakan terkait transaksi pada anggaran daerah di
Kabupaten Boven Digoel. Penangkapan Yusak terjadi sesaat ketika ia baru
mendarat di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Banten. Padahal,
setahun sebelumnya, Yusak sukses memimpin kampanye di Provinsi Papua
untuk pemenangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai calon presiden
pada Pemilu tahun 2009. Lantas, kader Partai Demokrat itu dijebloskan ke
penjara di Jakarta untuk menunggu persidangan.
Ketika
pelanggaran Yusak dibeberkan di muka pengadilan, kecerobohannya
sangatlah blak-blakan. Menjelang tiga bulan setelah masa jabatan
pertamanya, ia mengatur agar Pemerintah Kabupaten mengambil pinjaman
bank sebesar Rp 6 miliar untuk membeli tanker minyak
senilai Rp 3,5 miliar. Ada juga aliran dana yang ditransfer ke dirinya
sendiri. Selama dua tahun berikutnya, ia berulang kali menginstruksikan
anak buahnya untuk menarik uang dari anggaran daerah untuk ia gunakan.
Menurut KPK, secara keseluruhan Yusak telah menyedot uang sekitar Rp 64
miliar.

Tindakan
korupsi semacam itu bukanlah hal yang mengejutkan. Sejak era Reformasi,
para kepala daerah (bupati/walikota di tingkat kabupaten/kota dan
gubernur di tingkat provinsi) memegang kendali atas anggaran dan
pemerintahan di daerah. Kepala daerah juga punya banyak wewenang
terhadap urusan daerah. Godaan korupsi kerap kali menjadi hal yang sulit
untuk ditangkis.
Penggelapan uang dari anggaran daerah, keterlibatan
dalam penipuan pengadaan barang atau jasa, dan suap merupakan
kasus-kasus yang umum dan rutin ditemukan KPK. Para investor terlibat
dengan mendanai kampanye Pilkada yang korup dengan imbalan berupa
izin-izin jika kelak calon kepala daerah yang didukungnya menang dan
berkuasa di daerah tersebut. Politik uang menjadi hal yang lumrah
dilakukan untuk pembelian maupun penggelembungan suara dalam pertarungan
politik pemilihan di daerah.
KPK
telah menangkap banyak politisi yang menerima suap sebagai imbalan atas
konsesi tambang dan perkebunan. Menurut hasil investigasi dan
penelitian, termasuk yang dilakukan KPK, kasus-kasus korupsi seperti itu
kemungkinan jumlahnya jauh lebih besar dan luas dari apa yang bisa
diduga maupun dituntut. Yusak sendiri mengatakan pembayaran terhadap
izin di semua tingkat pemerintahan sudah menjadi hal yang dianggap
biasa. “Itu budaya Indonesia,” katanya kepada kami, meskipun ia
bersikeras kalau ia tidak memperkaya diri. Saat penangkapan Yusak
terjadi tahun 2010 silam, sebuah LSM bernama Indonesia Corruption Watch
(ICW) mengungkapkan bahwa terdapat lebih dari 500 permohonan yang
diajukan ke KPK untuk menyelidiki kasus-kasus korupsi di kalangan kepala
daerah.

Saat
itu, Proyek Tanah Merah masih berada di tahap awal dari proses
perizinan yang panjang. Chairul membutuhkan sejumlah izin untuk ketujuh
perusahaan yang masing-masing berasal dari Bupati Boven Digoel, Gubernur
Provinsi Papua, dan Menteri Kehutanan. Setiap tahap dalam proses
perizinan hanya dapat diperoleh setelah yang sebelumnya disetujui.
Penangkapan Yusak Yaluwo pun mengancam kemandekan proses perizinan. Dan
ancaman itu kian menghambat kemajuan proyek ketika masa jabatannya
sebagai kepala daerah hanya tersisa empat bulan lagi. Sementara itu,
kemungkinan hadirnya pejabat baru yang menggantikan kursi
kepemimpinannya di Boven Digoel akan mempersulit skema proyek.
Selama
berada dalam tahanan, Yusak terus melanjutkan tugas politiknya seolah
tak terjadi apa-apa. Biarpun KPK tidak pernah kalah dalam kasus yang
menyeret seseorang dalam tuduhan tindak korupsi, namun Komisi Pemilihan
Umum (KPU) Daerah masih memperbolehkannya mencalonkan diri untuk
mempertahankan kursi sebagai bupati. Tentu saja, Yusak tidak dapat
berkampanye secara langsung karena ia tengah ditahan di Jakarta. Tim
kampanye dan istrinya, Ester Lambey, bergerilya untuk memenangkan Yusak
dalam Pilkada. Pada 31 Agustus 2010, Sang Petahana memperoleh suara
terbanyak dan kemudian dinyatakan sebagai pemenang.
Setelah dua bulan pengumuman hasil Pilkada di Boven Digoel, seorang jurnalis mewawancarainya
di balik jeruji. Yusak mengatakan bahwa dengan terpilihnya ia sebagai
bupati untuk yang kedua kalinya, merupakan bukti dari prestasinya selama
menjabat pada periode sebelumnya.
“Masyarakat tetap pilih saya karena
saya bisa penuhi kebutuhan mereka, jawab keinginan mereka,” katanya.
Seminggu setelah wawancara diterbitkan, Yusak dinyatakan bersalah karena
melakukan korupsi. Ia dijatuhi hukuman empat setengah tahun penjara.

Penangkapan
Yusak seharusnya menghentikan proses perizinan atau setidaknya
membekukan perannya dalam Proyek Tanah Merah. Ia diskors selama tiga
minggu sebelum Pilkada. Selama berbulan-bulan, pemerintah daerah tidak
tahu apa yang harus dilakukan dengannya. Biar bagaimana pun Yusak telah
memenangkan jabatan sebagai bupati, meski ia dipenjara. DPRD Boven
Digoel menginginkannya kembali duduk di kursi bupati, sementara itu
terdapat pula pihak lain yang menolaknya untuk menjabat, termasuk KPK.
Bagaimana mungkin suatu daerah bisa dipimpin oleh bupati dari penjara?
Maka, pada Maret 2011, Yusak Yaluwo dilantik di Jakarta. Namun, ia
langsung di-non-aktif-kan di hari yang sama. Wakilnya, Yesaya Merasi,
ditunjuk sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Bupati Boven Digoel untuk
menggantikan posisinya.
Tetapi,
selama dalam kurungan di penjara yang berjarak sekitar 3.600 kilometer
dari ibukota Kabupaten Boven Digoel, Yusak masih berperan aktif dalam
mendorong realisasi Proyek Tanah Merah. Hal itu dibuktikan dari jejak
dokumen-dokumen pemerintah yang kami telusuri. Selama berada di sel
tahanan di Jakarta, Yusak telah menandatangani keputusan yang menegaskan
bahwa ketujuh perusahaan yang diakuisisi oleh Chairul tersebut telah
menyelesaikan analisis dampak lingkungan (AMDAL) dengan penilaian yang
memuaskan. Meski Yusak menyangkal kalau ia sudah menerbitkan izin-izin
khusus, namun ia mengaku kepada kami bahwa dirinya memang telah
menandatangani sejumlah dokumen dari balik jeruji.
“Waktu itu status saya masih menjabat,” katanya. “Jadi ketika ada surat memperpanjang, saya tanda tangan.”
Bagian 2: Sang dalang

Sementara
Yusak mengeluarkan izin-izin dari penjara, Chairul mencari bekingan
konglomerat di tempat-tempat di mana orang-orang kaya berkumpul. Seorang
pengusaha Malaysia memberi tahu kami bahwa ia didekati oleh Chairul
dengan tawaran untuk ambil bagian dalam kesepakatan ambisius di Papua.
Dia menceritakan bagaimana Chairul muncul pada pertemuan mereka di
sebuah hotel bintang lima di Kuala Lumpur. Chairul menjelaskan tentang
Proyek Tanah Merah sambil membuka peta. Pengusaha yang telah diberikan
kesempatan untuk terlibat itu menggambarkan sosok Chairul sebagai
pendongeng. “Orang-orang macam Chairul itu kami sebut Ali Baba,” katanya
mengacu pada ungkapan orang Malaysia ketika terdapat perusahaan yang
mendapat akses terhadap suatu kontrak dan seseorang melakukan sisa
pekerjaan selanjutnya. “Mereka tidak mau tangan mereka kotor.”
Mengacu
pada waktu dilakukannya kesepakatan-kesepakatan, ternyata Chairul telah
menjajaki penjualan perusahaan-perusahaan perkebunan itu segera setelah
mereka baru saja memperoleh izin-izin. “Saya pikir niat mereka bukan
untuk mendirikan bisnis sawit,” kata seorang narasumber yang tahu secara
langsung tentang transaksi berikutnya dengan Menara Group. “Itu untuk
mendirikan perusahaan, mendapatkan izin-izin terkait, dan menjualnya
kepada investor. Pada dasarnya, mereka menjual izin di atas kertas.”
Sampai
akhir tahun 2012, sebagian besar saham di enam perusahaan (dari tujuh
perusahaan di Proyek Tanah Merah), telah laku dijual. Dokumen-dokumen
yang diserahkan pada Bursa Malaysia menunjukkan bahwa 90 persen saham
dari dua perusahaan terjual dengan total nilai sebesar AS$ 80 juta. Pada
saat transaksi itu terjadi, Proyek Tanah Merah belum membuka lahan atau
melakukan kegiatan apa pun di lapangan. Nilai itu hanya mengacu pada
izin-izin konsesi-nya saja. Sedangkan jumlah nilai terhadap transaksi
empat perusahaan lainnya tidak pernah dipublikasikan. Tetapi, jika
mereka dijual dengan harga yang sama, maka izin-izin terhadap ketujuh
perusahaan tersebut dapat ditaksir dengan nilai lebih dari AS$ 311 juta.

Tidak
ada biaya resmi di Indonesia untuk memperoleh izin-izin semacam itu.
Para kepala daerah, seperti halnya Yusak Yaluwo, mempunyai kewenangan
untuk mengeluarkan izin konsesi. Kepala daerah dapat mengeluarkan izin
kepada siapa pun yang mereka anggap cocok atau mampu mengembangkan suatu
kawasan. Kenyataannya, izin memang tidak dapat diperdagangkan secara
legal. Tetapi, secara hukum, seseorang dapat membeli atau menjual
perusahaan pemegang izin. Maraknya praktik jual-beli terhadap
perusahaan-perusahaan cangkang maupun izin-izin perkebunan yang telah
mereka peroleh telah terjadi di Indonesia selama 15 tahun terakhir.
Tampaknya,
ada alasan yang wajar untuk menjawab pertanyaan mengapa praktik itu
masih dilakukan. Para konglomerat yang mendominasi industri sawit
mengendalikan kepemilikan mereka (holding) melalui
jaringan anak perusahaan yang masing-masing mengoperasikan satu bidang
perkebunan. Jika mereka memutuskan untuk menjual salah satu dari
perkebunan tersebut, mereka dapat melakukannya dengan cara
memperdagangkan anak perusahaan mereka.
Tetapi,
sistem itu membuka ruang untuk praktik-praktik yang kurang pantas
secara hukum. Hal itu memberikan kesempatan bagi bupati-bupati korup
untuk mengumpulkan aset-aset bernilai besar hanya dengan goresan pena.
Pada investigasi sebelumnya yang dilakukan oleh The Gecko Project dan
Mongabay, terungkap bagaimana dua bupati di Kalimantan (Darwan Ali di Seruyan dan Hambit Bintih di Gunung Mas)
menyalahgunakan wewenang mereka terkait izin-izin lahan dengan
menggunakan sejumlah perusahaan cangkang yang dimiliki oleh anggota
keluarga dan kroni-kroninya. Merekalah yang kemudian menjual
perusahaan-perusahaan (pemegang izin) ke konglomerat sawit. Berbagai
perusahaan besar bersedia membayar uang jutaan dolar kepada anggota
keluarga maupun kroni-kroni bupati tersebut.

Ada
pilihan yang tersedia bagi mereka yang ingin menyamarkan transaksi,
memindahtangankan aset, serta mengirimkan uang secara diam-diam. Yaitu,
dengan memanfaatkan apa yang disebut dengan “secrecy jurisdiction”
(negara atau wilayah hukum lainnya yang menjadi suaka pajak) di tempat
lain, seperti Panama atau Kepulauan Virgin Inggris. Di sanalah mereka
merasa aman karena informasi tentang perusahaan yang terdaftar di
wilayah hukum tersebut sangat sulit untuk bisa diakses oleh publik. Cara
lain yang juga sering dipakai adalah dengan meminjam nama untuk
direktur dan para pemegang saham (nominee) yang sesungguhnya tidak punya kendali atas perusahaan. Orang yang berdiri di garda depan itu (front man)
secara efektif dapat menyewa nama-nama mereka untuk menyembunyikan
sosok yang sebetulnya mendulang untung dari seluruh transaksi.
Pada laporan Bank Dunia tahun 2011 dengan judul “The Puppet Masters”
(Para Dalang), diungkapkan secara rinci bagaimana struktur perusahaan
semacam itu telah digunakan dalam sekitar 150 kasus korupsi untuk
mengelabui publik pada siapa yang sesungguhnya menjadi beneficial owner
(penerima manfaat). Nilai keseluruhan untuk rangkaian kasus tersebut
mencapai AS$ 50 miliar di seluruh dunia. Ada alasan yang lumrah untuk
melakukan peminjaman nama untuk perusahaan. Di banyak yurisdiksi, hal
itu sah untuk dilakukan. Tetapi, hukum praktik saham pinjam nama
tersebut telah dilarang di Indonesia sejak diberlakukannya UU No. 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Kami
memeriksa kepemilikan dari tujuh perusahaan yang memegang izin Proyek
Tanah Merah setelah Menara Group mengambil alih perusahaan-perusahaan
tersebut. Catatan perusahaan menunjukkan bahwa pada Januari 2010, saham
di ketujuh perusahaan telah dipindahkan kepada 14 orang yang berbeda,
yaitu dua individu untuk setiap perusahaan. Masing-masing menjabat
sebagai direktur atau komisaris.
Kami
mendatangi alamat yang tercantum untuk 11 pemegang saham yang disebut.
Salah satu alamat itu membawa kami ke sebuah rumah kos murah di mana tak
ada seorang pun yang pernah mendengar nama pemegang saham yang tertera.
Di alamat lain, terdapat istri seorang pemegang saham yang membantah
keterlibatannya.
Alamat
pemegang saham ketiga, Sarbani, ternyata adalah rumah mantan ibu
mertuanya. Dia bilang Sarbani sudah lama pindah rumah. Di atas kertas,
Sarbani memegang lima persen dana ekuitas di sebuah perusahaan senilai
lebih dari AS$ 40 juta. Tapi, mantan ibu mertuanya itu mengatakan kalau
Sarbani adalah orang miskin dengan pekerjaan bergaji rendah sebagai
penagih utang di Sumatera. Perempuan itu menganggap konyol ketika diberi
tahu kalau menantunya itu telah jadi pemilik perusahaan perkebunan
besar.

Seorang
narasumber kami di Menara Group — yang tak ingin disebutkan namanya —
mengonfirmasikan bahwa memang ada banyak pemegang saham yang sebetulnya
bukan pemilik sebenarnya dari perusahaan-perusahaan. Nama-nama mereka
sengaja digunakan. Ia menyebutkan ada satu nama yang tak lain adalah
supirnya Chairul. Kami pula menemukan bahwa nama istri supirnya pun
dipakai sebagai salah seorang pemegang saham.
Namun,
sebagian pemegang saham adalah orang-orang yang namanya telah dikenal
publik. Nama Chairul sendiri muncul di salah satu perusahaan. Pemegang
saham lainnya adalah Mohamad Hekal seorang anggota DPR yang terpilih
tahun 2014 silam. (Hekal tidak menanggapi permohonan kami untuk
memberikan komentar.) Ada pula Dessy Mulvidas. Ia pernah muncul bersama
Chairul ketika pertama kali bertemu Yusak tahun 2009.
Yusak
menggambarkan figur Dessy selayaknya komandan Chairul untuk proyek di
Papua. Dessy kemudian muncul di seluruh skema di tahun-tahun berikutnya,
baik itu di kantor-kantor di Jakarta ketika perusahaan-perusahaan
dijual, maupun di desa-desa di Boven Digoel dalam rangka memuluskan
jalan bagi Proyek Tanah Merah.
Narasumber lain kami di dalam Menara
Group mengungkapkan sosok Dessy yang tak lain adalah “perintis” di balik
skema yang ada. “Nah, itu dia kuncinya,” kata narasumber kami itu. “Dia
yang ngurus dari awal sampai selesai.” Sementara
itu, menurut narasumber kami yang lain dan memiliki hubungan langsung
dengan Menara Group, memaparkan bahwa Dessy adalah pihak yang telah
mengumpulkan para pemegang saham lainnya.
Maka,
gambaran yang muncul bisa diibaratkan bagai jaring laba-laba yang
menghubungkan sekelompok individu. Sebagian di antara mereka mungkin
telah memiliki ekuitas di perusahaan, sementara lainnya, jelas-jelas
tidak. Seperti halnya sandiwara panggung, tampaknya Chairul tidak
menutup-nutupi bahwa dialah yang mengendalikan semuanya. Tapi,
pertanyaan yang jauh lebih penting, adalah untuk siapa sesungguhnya ia
melakukan lakon tersebut. Hal itulah yang masih terlampau sulit untuk
dijawab.
“Tentu
saja, permainan semacam itu sengaja dibuat pada banyak skema serupa
dengan tujuan untuk mengaburkan sosok yang sebenarnya secara
terkendali,” ungkap Profesor Jason Sharman melalui surat elektronik
kepada kami. Jason adalah penulis “The Puppet Masters” sekaligus seorang
ahli dalam urusan korupsi tingkat tinggi. “Perusahaan yang menggunakan
pemegang saham dan/atau direktur nominee, adalah cara yang umum untuk melakukan hal itu.”
“Tentu saja, permainan semacam itu sengaja dibuat pada banyak skema serupa dengan tujuan untuk mengaburkan sosok yang sebenarnya secara terkendali”
Tantangan yang disoroti dalam laporan bertajuk “The Puppet Masters” itu dan juga berdasarkan temuan baru-baru ini terkait investigasi kasus Panama Papers,
adalah bahwa struktur perusahaan yang buram memang dapat menyamarkan
orang yang sesungguhnya mendapat keuntungan dari serangkaian aktivitas
perusahaan. Fakta bahwa keuntungan itu diperoleh dari izin-izin atau
kontrak-kontrak yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintah (dalam hal ini
kepala daerah) tampaknya memberikan momok bahwa pejabat tersebut mungkin
ikut memperoleh ekuitas dari perusahaan secara diam-diam. Kami tidak
menemukan bukti adanya korupsi dalam proses perolehan perizinan atau
dalam salah satu kesepakatan terhadap Proyek Tanah Merah. Meski begitu,
Chairul Anhar tampaknya telah berhasil meraup aset senilai lebih dari
AS$ 300 juta dengan bermodalkan izin-izin yang dikeluarkan pemerintah.
Struktur perusahaan yang rumit (dan buram) itulah yang menyembunyikan
sosok yang diuntungkan ketika aset-aset itu dijual.
Saat
ini, semakin banyak hukum internasional melihat adanya peran
perusahaan-perusahaan anonim yang bermain untuk memfasilitasi tindakan
korupsi transnasional dan pencucian uang. Di AS misalnya, terdapat
undang-undang yang khusus mengatur praktik-praktik korupsi luar negeri,
yaitu Foreign Corrupt Practices Act (FCPA).
Kebijakan itu mengharuskan perusahaan AS untuk memastikan bahwa mereka
tidak menyalurkan uang kepada pejabat pemerintah asing secara sengaja
maupun tidak sengaja. Tom Fox, seorang pengacara di Texas dan ahli
kepatuhan FCPA, mengatakan kepada kami bahwa penggunaan perusahaan
cangkang dan pemegang saham nominee, tentunya akan
semakin memperlihatkan tanda bahaya bagi investor. Sebab, mereka bisa
saja dikenai sanksi hukum terkait pemberlakuan FCPA.
“Entitas semacam itu (perusahaan cangkang dan pemegang saham nominee)
akan membuat perusahaan AS berada pada tingkat kewaspadaan yang sangat
tinggi terhadap adanya sejumlah kegiatan ilegal yang sedang
berlangsung,” papar Tom. Dia mengatakan bahwa struktur perusahaan di
balik Proyek Tanah Merah yang tampaknya dikendalikan oleh Menara Group
itu, punya bau yang sangat mencurigakan.
Bagian 3: ‘Saya ngga ingat semua nama pemilik saham’

Pada
Oktober 2011, sebuah perusahaan konstruksi dan penebangan kayu asal
Malaysia bernama Wijaya Baru Global menjadi yang pertama masuk ke dalam
kesepakatan dengan Menara Group untuk Proyek Tanah Merah. Saat itu,
pemegang saham utama perusahaan tersebut adalah seorang anggota parlemen
Malaysia. Bisnisnya di Negeri Jiran tak luput dari masalah karena
keterlibatannya dalam salah satu kasus korupsi terbesar di Malaysia
terkait pengembangan zona perdagangan bebas.
Tahun 2009, chief operating officer
(COO) dari anak perusahaan Wijaya Baru didakwa melakukan penipuan
terhadap lembaga pemerintah sehubungan dengan skandal tersebut. (Pejabat
perusahaan itu dibebaskan tahun 2017 karena dinyatakan tak bersalah.)
Belakangan, bisnis kayu di Malaysia semakin lesu setelah berakhirnya
izin-izin penebangan di Sarawak. Sementara itu, tawaran mengenai proyek
di Papua memberikan angin segar yang bernilai miliaran dolar.
Menurut pengumuman
di bursa saham Malaysia, Wijaya Baru — yang kemudian berganti nama
menjadi Tadmax Resources — setuju untuk membeli 90 persen saham di dua
dari tujuh perusahaan Boven Digoel dengan harga AS$ 80 juta. Keempat
pemegang saham di perusahaan-perusahaan tersebut ialah adik laki-laki
Chairul dan Dessy Mulvidas sebagai tangan kanannya. Dua pemegang saham
lainnya adalah supirnya Chairul dan Sarbani si penagih utang. Menurut
sumber yang bisa dipercaya, para pemegang saham nominee
bertindak di bawah instruksi Dessy. (Dessy tidak menanggapi permohonan
kami untuk memberikan komentar terkait dengan hal itu dan ia juga tidak
dapat ditemui di dua rumahnya di Jakarta.)
Dana
sebesar AS$ 80 juta yang dibayarkan Tadmax tidak mengalir ke para
pemegang saham. Melainkan disalurkan ke dua perusahaan cangkang lainnya
yang berada di Singapura di mana masing-masing perusahaan mempunyai
seorang pemegang saham tunggal. Sumber kami di dalam Menara Group,
mengonfimasi bahwa mereka juga adalah pemegang saham nominee dan tidak menerima uang apa pun. Kami berhasil menghubungi salah satu dari mereka melalui WhatsApp,
yaitu Adwir Boy.
Ia mengatakan kalau dirinya tidak memiliki
keterlibatan dalam perusahaan dan namanya telah digunakan oleh Dessy
Mulvidas. Saat ditanya mengenai penjualan saham, Adwir mengungkapkan
bahwa ia tidak paham tentang hal itu. Namun, ia berkata, “Ada Pak Vidas
yang urus.” Pada pengumuman di bursa saham, uang itu dibayarkan kepada
pengacara-pengacara para pemegang saham nominee. Selepas itu, penelusuran kami tidak menemui titik terang.

Kesepakatan
pada Oktober 2011 itu bersifat kondisional. Penyelesaiannya tergantung
pada Menteri Kehutanan yang menjabat kala itu, Zulkifli Hasan, untuk
mengeluarkan Surat Keputusan tentang Pelepasan Kawasan Hutan yang akan
menata kembali lahan untuk pembangunan. Surat-surat itu — bersamaan Izin
Pemanfaatan Kayu — merupakan hambatan terakhir dari sisi kebijakan
untuk memajukan proyek agar dapat terus berjalan. Pada awal Desember
2011, enam minggu setelah kesepakatan diumumkan, muncul berita bahwa
Anuar bin Adam, pensiunan tentara dan pebisnis Malaysia, tengah bersaing
untuk menguasai Tadmax dengan membeli pemegang saham utamanya.
Laporan New Straits Times
mengungkapkan bahwa pengambilalihan oleh Anuar didukung oleh sekelompok
pengusaha Indonesia yang kuat dan berpengaruh. Laporan itu juga
mengutip seorang narasumber yang dekat dengan Anuar. Katanya, Anuar bisa
membuka banyak pintu di Indonesia. Seandainya ia mengambil kendali atas
perusahaan tersebut, maka hal itu akan menjadi jelas dalam beberapa
minggu mendatang. Sehari setelah laporan diterbitkan, pengambilalihan
perusahaan pun terkonfirmasi. Kurang dari satu minggu kemudian, tepatnya
14 Desember 2011, Zulkifli Hasan menandatangani surat-surat pelepasan
kawasan hutan untuk kedua perusahaan. Hal itu sekaligus menuntaskan
kesepakatan. (Anuar bin Adam tidak menanggapi permohonan untuk
memberikan berkomentar.)
Pada
bulan selanjutnya, yakni Januari 2012, Tadmax menambah sosok baru dalam
daftar kepemimpinan perusahaan. Da’i Bachtiar, mantan Kapolri (periode
2001–2005) yang baru saja menyelesaikan tugasnya selama tiga tahun
sebagai Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, ditunjuk sebagai independent non-executive director
(direktur non-eksekutif independen). Dalam sebuah surat elektronik,
Da’i memberi tahu kami bahwa Chairul telah memintanya untuk membantu
Tadmax terkait dengan investasi Menara Group di Indonesia. Namun, ia
jarang dilibatkan dalam bisnis itu dan ia mengundurkan diri dari jajaran
direksi pada tahun 2014. Ia bilang bahwa ia tidak dapat mengomentari
struktur Menara Group dan mengungkapkan dirinya bukanlah pemegang saham.

Transaksi
yang dilakukan Tadmax bersifat publik karena perusahaan itu terdaftar
di Bursa Malaysia yang memberlakukan prinsip transparansi bisnis. Namun,
sebagian besar Proyek Tanah Merah telah dijual secara rahasia. Menurut
data profil perusahaan yang diperoleh dari Sistem Administrasi Badan
Hukum (Sisminbakum), Kementerian Hukum dan HAM, menunjukkan bahwa pada
paruh kedua tahun 2012, sebanyak 80 persen saham di empat perusahaan
Boven Digoel lainnya dipindahkan ke pemegang saham baru di Timur Tengah.
Pemegang
saham baru itu adalah empat perusahaan dengan nama-nama yang generik di
Timur Tengah dan tidak dapat ditelusuri keberadaannya secara online.
Mereka terdaftar di Uni Emirat Arab (UEA), yaitu dua perusahaan di
Dubai dan dua lainnya di Zona Perdagangan Bebas Ras Al Khaimah. Itulah
yang disebut dengan secrecy jurisdiction, tempat di
mana peraturan sengaja dibuat untuk membantu para pemegang saham
menyembunyikan identitasnya.
Kepemilikan keempat perusahaan itu pun
belum jelas sampai hari ini.
Greenpeace telah menerbitkan banyak bukti
yang mengaitkan keempat perusahaan Boven Digoel itu ke Hayel Saeed Anam
Group, suatu konglomerat yang bernilai miliaran dolar dan dimiliki oleh
salah satu keluarga Yaman yang kaya raya. Grup itu tak lain adalah
pedagang utama minyak sawit melalui anak perusahaannya yang berbasis di
Malaysia, yakni Pacific Inter-Link. Setelah saham mengalir ke perusahaan
UEA yang anonim tersebut, catatan perusahaan menunjukkan bahwa anggota
keluarga Hayel Saeed Anam bergabung dalam jajaran direksi di empat
perusahaan Boven Digoel. Tetapi, Pacific Inter-Link berulang kali
membantah hal itu maupun informasi bahwa Hayel Saeed Anam Group pernah
memiliki perusahaan-perusahaan tersebut. Dalam suatu pernyataan, kami
tahu anggota keluarga Yaman itu bergabung sebagai direksi dalam
kapasitas mereka secara pribadi.

Pada
seluruh transaksi, Menara Group menyimpan sebagian kecil dari ekuitas
di perusahaan-perusahaan Boven Digoel.
Sedangkan Tadmax dan perusahaan
anonim di UEA mengambil antara 80 dan 90 persennya. Sisa saham lain
ditransfer ke perusahaan baru yang dimiliki Chairul, termasuk sejumlah nominee yang terhubung dengannya dan seorang perempuan bernama Desi Noferita.
Dokumen pengadilan
menunjukkan bahwa Desi merupakan adik perempuan dari Edi Yosfi, seorang
pengusaha sukses yang tak banyak disoroti publik. Edi juga pernah
mengantongi izin perkebunan di Boven Digoel. Ia dikenal sebagai
perantara yang memiliki pengaruh politik yang kuat di dalam Partai
Amanat Nasional (PAN). PAN adalah partai politik yang menjadi kendaraan
Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan, yang telah menandatangani surat-surat
pelepasan kawasan hutan untuk empat perusahaan dalam waktu tujuh bulan
sebelum Desi Noferita mengakuisisi saham di dalam perusahaan-perusahaan
itu.
Menanggapi
pertanyaan yang kami kirimkan melalui pesan teks, Zulkifli mengutarakan
bahwa dirinya tidak terlibat dalam keputusan teknis ketika ia menduduki
posisi sebagai Menteri Kehutanan. Saat ini, Zulkifli menjabat sebagai
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI).
Menurutnya, surat-surat pelepasan kawasan hutan telah diberikan kepada
perusahaan-perusahaan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Sementara itu, Chairul membantah keterlibatan Edi Yosfi di dalam Proyek Tanah Merah. “Beliau ‘kan pengusaha besar, ngga
mungkin bantu-bantu seperti ini,” katanya. Ketika ditanya tentang peran
adiknya Edi — yang ikut memiliki perusahaan bersama Chairul — ia tak
menjawab. “Saya ngga ingat nama pemilik saham
semua,” katanya. Edi tidak menanggapi permohonan kami untuk memberikan
komentar, sedangkan adiknya pun tidak bisa dihubungi.
Chairul
tidak mengomentari rincian temuan yang kami sampaikan kepadanya melalui
surat. Tapi, dalam serangkaian wawancara melalui telepon, ia memberikan
penjelasan yang samar dan kadang-kadang pula saling bertentangan
terkait struktur Menara Group dan kesepakatan dengan sejumlah investor
lain.
Menanggapi tuduhan adanya para pemegang saham nominee
sebelum penjualan dilakukan, ia berdalih dengan mengutarakan bahwa
Menara Group merupakan perusahaan konsorsium yang mewakili kepentingan
para investor dan pemilik. Chairul menolak menyebutkan siapa saja
investor yang terlibat dengan alasan bahwa hal itu tidak pantas untuk
dibeberkan. “Karena ini private company,” katanya. “Kalau kita beritahu, kita melanggar hak asasi orang.”

Meski
akta perusahaan dan bursa saham menunjukkan sebagian besar ekuitas
dalam Proyek Tanah Merah telah dijual, namun Chairul bersikeras dan
mengatakan proyek itu masih dimiliki oleh “konsorsium” Menara. Ia
mengungkapkan kalau transaksi-transaksi yang dilakukan itu hanyalah “corporate exercise”
(tindakan perusahaan) yang memberikannya peluang untuk akses pendanaan
internasional.
Pembiayaan yang dibutuhkan untuk mengembangkan proyek
itu, menurutnya, mencapai besaran hingga AS$ 1,4 miliar.
Padahal,
keuangan Tadmax tidak sedang dalam kondisi baik. Tetapi,
dokumen-dokumen yang dipajang pada Bursa Malaysia menunjukkan bagaimana
perusahaan tersebut berencana untuk membiayai proyek itu. Menurut
analisis yang dilakukan Tadmax, perkiraan nilai kayu terhadap dua
wilayah konsesi saja sudah menembus angka hingga AS$ 1,7 miliar atau
sekitar Rp 23,8 triliun (dengan asumsi kurs Rp 14 ribu per dolar AS).
Atas dasar itulah, penebangan hutan yang masih primer di seluruh kawasan
Proyek Tanah Merah dapat mengeruk keuntungan senilai hampir AS$ 6
miliar atau sekitar Rp 84 triliun. Tadmax tentu menyadari hal tersebut
dalam pengumuman bursa sahamnya. Bahwa kayu pada izin-izin konsesi di
Papua akan memberikan aliran keuntungan yang cepat dan stabil.
Untuk
meraup keuntungan dari kayu, Tadmax menyatakan niatnya untuk membangun
kilang gergaji raksasa di tepian Sungai Digul. Kilang gergaji itu
merupakan usaha patungan antara Pacific Inter-Link dan Shin Yang,
perusahaan pembalakan kayu multinasional dari Sarawak, dengan reputasi
yang buruk atas tindakan kerusakan lingkungan, korupsi, dan pelanggaran
hak. (Pacific Inter-Link membantah bahwa mereka terlibat dalam urusan
pembangunan kilang gergaji.) Dari sudut pandang lingkungan, kehadiran
kilang gergaji adalah mimpi buruk karena akan menjadi ancaman yang
memicu laju deforestasi terhadap hutan-hutan di kawasan lain di Papua.
Bagian 4: ‘Dia dipukul sampai setengah mati di dalam ruangan’

Pada
suatu minggu pagi di bulan April 2013, masyarakat adat Auyu di Desa
Meto tengah berdoa di gereja ketika tiba-tiba terdengar deru mesin
perahu cepat yang berangsur-angsur mendekat. Warga pun berjalan
menghampiri sumber suara itu untuk melihat siapa yang bertamu ke desa.
Ternyata, mereka adalah sepasukan tentara dan polisi. Sekumpulan pria
berbadan tegap itu buru-buru memerintahkan warga di desa lain untuk
segera ikut berkumpul di dermaga. Tujuan dari kunjungan mereka kali itu
adalah untuk membagi-bagikan amplop berisi uang tunai.
Meto
merupakan salah satu desa yang tanahnya berada di bawah bayang-bayang
Proyek Tanah Merah. Sejak tahun 2012, tentara dan polisi sudah
mondar-mandir di desa-desa sekitar proyek. Kadang-kadang, mereka
menghilang di balik rimbun hutan untuk melakukan survey yang misterius.
Samar-samar, berita yang menyinggung bahwa wilayah adat Auyu menjadi
bagian dari sasaran proyek perkebunan akhirnya terkuak. Tetapi,
kebanyakan masyarakat belum memahami seberapa besar proyek itu akan
menelan lahan.
Mereka tidak tahu di mana persisnya batas-batas proyek.
Dan lama kelamaan, alarm tanda bahaya berbunyi juga! Meski begitu, warga
desa seakan tak berdaya. “Karena di dalam speed-speed (perahu cepat) itu ada
polisi dan tentara, jadi mereka (penduduk desa) diam saja sudah,” kata
seorang warga kepada kami. “Waktu itu, pemilik-pemilik dusun bertanya,
‘Ini ada kaitan dengan kita punya dusun, tapi dari pihak pemerintah kok mereka menggunakan aparat, terutama polisi?’”
Di Papua, penggunaan pasukan keamanan untuk mengawal perwakilan perusahaan perkebunan dan kayu adalah hal yang biasa. “Aparat keamanan menjadi tameng yang bisa membantu mereka untuk memperlancar bisnis,” kata Franky Samperante, Direktur Yayasan Pusaka, sebuah LSM yang bekerja sama dengan masyarakat adat di Indonesia. Sejak Papua menjadi bagian dari negara Indonesia pada tahun 1960-an, masyarakat Papua memiliki hubungan yang kelam dengan aparat bersenjata. Bahkan hingga kini, penindasan dan pembunuhan tanpa proses hukum pun masih terjadi. Di tengah situasi itulah, keberadaan tentara dan polisi memberikan efek yang menghadirkan rasa takut. “Itu membuat masyarakat merasa tidak aman,” tambah Franky. “Karena mereka punya memori atas kekerasan yang terjadi di masa lalu.”
Warga
Desa Meto dan desa-desa lain di sekitarnya mengatakan bahwa upaya
mereka telah dihalangi untuk mencari tahu dan menyampaikan aspirasi
terkait Proyek Tanah Merah. Menurut warga yang kami wawancarai serta
informasi yang dikumpulkan oleh Franky serta pastor dan pendeta
setempat, penduduk desa diiming-imingi berbagai janji agar mau mendukung
proyek. Janji-janji itu meliputi gaji bulanan, penyediaan listrik,
fasilitas pendidikan, dan akses kesehatan. “Perusahaan (berbicara)
dengan bahasa ‘gula-gula’ yang dulu kita dengar,” kata seorang pria.
“Jadi, kita ‘kan orang bodoh. Kita hidup di bawah kolong hutan, jadi kita tahu saja memang benar. Jadi, perusahaan tipu kita.”

Pertemuan-pertemuan
yang intens kian memuncak ketika perahu cepat itu tiba di Meto di suatu
akhir pekan pada April 2013. Perwakilan Menara Group, termasuk Dessy
Mulvidas, bersama polisi berkeliling ke desa-desa untuk membagikan uang
tunai.
Menurut perhitungan Pastor Felix Amias, mereka telah mengeluarkan
uang sebesar Rp 11,75 miliar di empat desa selama empat hari. Uang itu
terbilang sedikit jika dibandingkan dengan nilai sebenarnya dari wilayah
adat mereka, namun bagi masyarakat adat yang hidup sederhana di sekitar
hutan, jumlah uang yang dibagikan sangatlah besar. Namun, banyak warga
yang memandang hal itu sebagai sikap yang tidak menyenangkan. Perwakilan
Menara Group dan polisi datang seperti tamu yang tak bersahabat. Warga
tidak diberitahu maksud dari pemberian uang.
Apakah itu uang yang
diistilahkan Dessy sekadar uang “ketuk pintu”? Atau, apakah itu berarti
warga tanpa sadar telah menjual tanah-tanah mereka?
Satu
minggu kemudian, warga desa diminta untuk berkumpul di gedung sekolah
di Desa Getentiri yang terletak di sebelah tenggara Proyek Tanah Merah.
Awalnya, warga pikir mereka akan diberikan kesempatan untuk memetakan
tanah mereka, menemukan kawasan mana yang kira-kira tumpang tindih
dengan proyek, dan menyampaikan pandangan atau pendapat. Tetapi, situasi
seketika berubah mencekam setelah warga telah berdatangan. Gedung
sekolah dikerumuni oleh tentara. Polisi dan komandan militer pun
bersiaga di dalam ruang pertemuan.
Ketika
warga berkumpul di dalam gedung sekolah dan menunggu rapat dimulai,
seorang penduduk desa melempar gurau dengan mengatakan bahwa mereka
perlu makan dan rokok jika ingin mengadakan diskusi penting.
“Kebetulan
di depan itu ada anggota polisi yang berdiri,” ungkap seorang lelaki
dari Meto kepada kami. “Langsung dia (anggota polisi itu) pukul.
Akhirnya, dia (penduduk desa) dipukul sampai setengah mati di dalam
ruangan itu.”

Warga
desa pun diterlantarkan dengan janji-janji palsu serta dihantui oleh
ancaman dan kekerasan. Mereka memang sudah diberikan uang, tapi tak
pernah tahu sebetulnya uang itu untuk apa. “Mereka hanya datang bayar
uang permisi, kasih tinggal. Terus, kita sudah tidak tahu mereka pergi
ke mana, dan (perkebunan) ini kira-kira ada di mana,” komentar seorang
warga. “Jadi masyarakat di kampung ini macam hidup dalam
tekanan-tekanan. Ini kita pu (punya) tanah ini, (tetapi) orang dari perusahaan sudah beli.”
Bagian 5: ‘Pasti ada tindakan yang melanggar hukum’

Boven
Digoel bukanlah satu-satunya kabupaten di Indonesia Timur di mana
Chairul Anhar memegang kendali terhadap wilayah yang begitu luas. Sejak
tahun 2010 dan seterusnya, ketika Menara Group sedang membangun landasan
untuk Proyek Tanah Merah, mereka diam-diam telah merambah ke rencana
serupa terhadap pengembangan perkebunan tebu di Aru. Secara
administratif, Kabupaten Kepulauan Aru berada di Provinsi Maluku.
Gugusan pulau itu terdiri dari hutan lebat dan berlokasi 500 kilometer
di sebelah barat Boven Digoel. Izin-izin yang terdapat di Aru mencapai
luasan hingga 4.800 kilometer persegi. Artinya, lebih dari separuh
kabupaten itu telah dijadikan wilayah konsesi perkebunan.
Kesamaan
modus proyek di Boven Digoel dan Aru sangat mencolok. Menara Group juga
menggunakan kerumitan struktur perusahaan dengan adanya front company untuk
mendapatkan izin konsesi di Aru. Izin-izin tersebut dikeluarkan oleh
Bupati Kabupaten Kepulauan Aru, Theddy Tengko. Seperti halnya Yusak
Yaluwo, Theddy berujung pada nasib serupa. Ia berusaha mempertahankan
jabatannya sebagai kepala daerah, namun berakhir di dalam bui atas kasus
korupsi APBD. Izin-izin di Aru pun terus didorong di tengah memanasnya
situasi kampanye Pilkada.
Tetapi,
ada hal lain yang terjadi di Aru yang membedakannya dengan Boven
Digoel. Terciumnya bau busuk yang mencurigakan dari rencana perkebunan
di Aru lantas menciptakan gelombang protes yang massif dan seketika
berubah menjadi gerakan akar rumput yang kuat. Aksi protes yang kian
meluas itu tidak hanya melibatkan masyarakat adat dan penduduk setempat,
tetapi juga gerombolan aktivis yang berbasis di Kota Ambon, ibukota
Provinsi Maluku. Kelompok masyarakat dan aktivis bersama-sama menggalang
dukungan dan memperkuat gerakan dalam skala nasional dan internasional.
Pada April 2014, kampanye “#SaveAru” mencapai puncaknya. Menteri
Kehutanan Zulkifli Hasan memutuskan untuk tidak melanjutkan rencana
perkebunan tebu berskala industri besar di Aru.

Pembelajaran
penting dari kisah sukses kampanye Aru adalah kemampuan para aktivis
untuk mengekspos proses perizinan yang tak berlandaskan pada asas
legalitas. Mereka menemukan bahwa izin-izin telah dikeluarkan tanpa
dirampungkannya dokumen AMDAL. Lalu, ketika AMDAL muncul kemudian,
menjadi kian jelas bahwa pihak perusahaan telah menyusunnya tanpa
berkonsultasi dengan masyarakat yang terdampak dari proyek. Penyertaan
dokumen AMDAL maupun prinsip terhadap partisipasi masyarakat yang
terdampak merupakan persyaratan yang diatur di dalam peraturan yang
berlaku.
Semmy
Khow, seorang akademisi dari Universitas Pattimura, yang kala itu
bertugas di Komisi Penilai AMDAL di Provinsi Maluku, mengatakan bahwa
pejabat perusahaan telah mencoba menyuapnya untuk meloloskan dokumen
AMDAL. “Mereka bawa duitnya,” ungkapnya kepada kami. “Saya ngga mau!”
Abraham
Tulalessy, akademisi lain yang mengepalai komisi itu di waktu yang
sama, mengutarakan kalau seluruh skema yang dilakukan itu adalah
tindakan kriminal. “Proses perizinan dan AMDAL, menyalahi aturan,” ucap
Abraham. “Ini kejahatan, jadi ini harus ditangkap!”
Lalu,
pertanyaan lain pun muncul: Apakah AMDAL yang dilakukan untuk Proyek
Tanah Merah juga memiliki kecacatan yang sama? Mengacu pada
dokumen-dokumen pemerintah yang ada, tampak bahwa AMDAL tersebut
ditinjau oleh Komisi Penilai AMDAL sehari setelah Pilkada Boven Digoel
dilangsungkan pada Agustus 2010. Seminggu setelahnya, Yusak Yaluwo
mengeluarkan izin lingkungan dari tahanan. AMDAL pun dinyatakan sah.
Chairul ngotot bahwa izinnya bersih. “Sampai saat ini kita berjalan menurut hukum,” katanya. “Bukan oportunis!”
Tetapi,
Franky Samperante, aktivis yang bekerja dengan masyarakat di Boven
Digoel, mempertanyakan soal proses penyusunan AMDAL. Apakah dalam
menyusun AMDAL tersebut, pihak perusahaan telah melakukan konsultasi
dengan warga seperti yang disyaratkan oleh peraturan yang berlaku?
Franky menemukan bahwa beberapa tahun setelah AMDAL disetujui, penduduk
desa bahkan tidak pernah melihat peta proyek. Ketika mereka melihat
lokasi di mana proyek akan dibangun, penduduk desa menyadari bahwa
wilayah mereka berburu, situs-situs keramat, dan area perladangan mereka
telah menjadi bagian dari kawasan proyek. Pembangunan perkebunan itu
mencakup tempat-tempat penting terkait keberlangsungan hidup masyarakat
adat dan wilayah adatnya.
“Itu
yang sering terjadi di Papua. Mereka tidak pernah diberikan informasi,
kemudian disuruh membuat keputusan,” ucap Franky kepada kami. “Kalau
tidak ada informasi, mereka pasti tidak paham. Kalau tidak paham dan
dipaksa untuk membuat keputusan, ya pasti keputusannya karena terpaksa.”

Franky
mencoba menelusuri keberadaan dokumen hasil penilaian AMDAL agar ia
dapat memperlihatkannya kepada warga desa. Ia pergi ke Dinas Kehutanan
dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Boven
Digoel. Hasilnya nihil. Di kantor Badan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan
Lingkungan Hidup (BPSDA dan LH) Provinsi Papua, ia dikasih tahu kalau
AMDAL tersebut belum rampung. Kantor tersebut seharusnya mempunyai
salinan hasil penilaian AMDAL, tetapi mereka bahkan tidak tahu
keberadaan dokumen tersebut.
Di
Merauke, sebuah kota pesisir di sebelah selatan Boven Digoel, kami
menemui Ronny Tethool yang bekerja untuk World Wide Fund for Nature
(WWF) setempat. Ronny biasanya dilibatkan dalam Komisi Penilai AMDAL
jika terdapat proyek di Boven Digoel. “Waktu itu ‘kan kita Komisi
Penilai di Merauke,” ungkapnya. Ia memberi tahu kami bahwa ia diundang
pada pertemuan awal sebelum dilakukannya penilaian terhadap Proyek Tanah
Merah. Tetapi, ia kemudian dilarang untuk terlibat dalam proses itu.
“Hasilnya ngga
dibagi,” kata Ronny. “Aneh itu!” Ia menunjukkan bahwa kantornya
menyimpan semua AMDAL di Boven Digoel. Jadi, bagaimana mungkin jika
AMDAL untuk Proyek Tanah Merah malah tidak dapat diakses oleh
masyarakat. “Itu kayak ada mafia yang sembunyikan (dokumen itu),”
ujarnya.
Dari
penelusuran yang kami lakukan, kami menemukan sekumpulan halaman yang
difotokopi dari dua AMDAL di kantor auditor di Jakarta. Jadi, sebetulnya
dokumen AMDAL memang ada, meskipun kami tidak tahu seperti apa isi
dokumen tersebut. Franky pun menyimpulkan bahwa dokumen-dokumen AMDAL
tampaknya sengaja dirahasiakan. Ia menduga jika dampak dari kehadiran
proyek-proyek di Boven Digoel diketahui banyak pihak, maka hal itu akan
memantik gerakan perlawanan masyarakat, termasuk masyarakat adat. Franky
menyadari kalau masyarakat memiliki hak legal untuk bisa melihat
dokumen-dokumen terkait.
“Jadi
kalau mereka mengabaikan hak-hak itu, ya pemerintahnya harus
dipertanyakan juga,” kata Franky. “Pasti ada tindakan yang melanggar
hukum yang dilakukan oleh aparatus tertentu yang ada di pemerintah.”
Bagian 6: ‘Semuanya harus dibongkar habis-habisan’
Pada
tahun 2015, sosok Chairul Anhar kian tenar dalam deretan orang-orang
penting dan kaya di Malaysia. Anak perempuannya menikah dengan putra
Ahmad Zahid Hamidi, Wakil Perdana Menteri Malaysia. Resepsi pernikahan
mewah diselenggarakan di Hotel Ritz-Carlton di Jakarta. Lalu pada
Februari 2018, Chairul mulai bergerak lagi. Ia bermain golf dengan Duta
Besar Indonesia untuk Malaysia yang telah menggantikan posisi Da’i
Bachtiar. Agenda utamanya adalah untuk melobi investasi Malaysia di
Indonesia. Sejak itulah, Chairul Anhar tak lagi dianggap asing di dalam
pesta-pesta kelas atas di Kuala Lumpur dan wajahnya tampil pada situs Tatler, majalah gaya hidup yang seringkali memotret kehidupan para sosialita.
Meskipun
reputasinya semakin menonjol, namun cita-cita Chairul dan
rekan-rekannya untuk Proyek Tanah Merah belum sepenuhnya aman dan
terjamin. Dari tujuh perusahaan Boven Digoel, hanya dua yang memperoleh
keseluruhan izin yang diperlukan untuk bisa beroperasi. Salah satu
perusahaan yang mayoritas dimiliki oleh perusahaan anonim di UEA — di
mana Chairul dan Desi Noferita punya andil sebagai mitra minoritas —
akhirnya mulai membabat hutan. Mengacu pada penelusuran surat-surat yang
diperoleh dari kantor Pemerintah Kabupaten, menunjukkan bahwa ketujuh
perusahaan Boven Digoel itu telah menjadi sasaran lobi agar izin-izinnya
dapat dicabut. Sehingga, investor baru bisa menggantikan mereka.
Terhitung
mulai Desember 2014, Fabianus Senfahagi, sosok yang memiliki pengaruh
kuat sebagai Ketua Lembaga Masyarakat Adat Kabupaten Boven Digoel (LMA
Boven Digoel), mengirimkan serangkaian surat kepada Pemerintah Kabupaten
Boven Digoel yang mendesak pembatalan izin yang telah diberikan kepada
Menara Group. Ia meminta agar penetapannya diberikan kepada investor
baru. Surat-surat itu sesungguhnya merupakan pendapat pribadi Fabianus,
namun ia mengklaim kalau surat-surat itu ditulis dan dikirim atas nama
penduduk desa. Surat-surat tersebut mengungkapkan bahwa beberapa
perusahaan yang ada telah gagal beroperasi dan membiarkan penduduk desa
di Boven Digoel sekadar menunggu dan berharap tanah-tanah tersebut
dikembangkan.


Satu
bulan sebelum pemilihan bupati tahun 2015, pengganti Yusak, Yesaya
Merasi, mengeluarkan surat keputusan yang mencabut Izin Usaha Perkebunan
dua anak perusahaan Tadmax dan perusahaan ketujuh yang masih dinaungi
oleh Menara Group. Tapi, itu menjadi langkah yang terkesan aneh sebab
izin hanya bisa dicabut oleh Pemerintah Provinsi, bukan Pemerintah
Kabupaten atau bupati.
Lalu,
izin lokasi pun kembali diterbitkan kepada tiga perusahaan baru.
Catatan perusahaan menunjukkan bahwa tiga perusahaan itu dimiliki oleh
seorang pria bernama Ventje Rumangkang dan anggota keluarganya. Ventje
merupakan salah satu pendiri Partai Demokrat. Ia pula dikenal sebagai
pengusaha sukses untuk urusan yang terkait dengan perkebunan dan
pertambangan.
Lobi-lobi
yang dilakukan Fabianus terus bergulir selama dua tahun berikutnya
untuk membatalkan izin yang awalnya dimiliki oleh ketujuh perusahaan
Boven Digoel. Pada tahun 2017, ia berhasil merebut satu lagi izin
konsesi yang dimiliki oleh perusahaan anonim di UEA. Lantas, izin itu
dicabut dan izin lokasi baru diberikan kepada PT Indo Asiana Lestari,
perusahaan yang dimiliki oleh dua perusahaan Malaysia. Pemegang sebagian
minoritas sahamnya adalah Rimbunan Hijau, salah satu operator penebang
kayu terbesar di dunia yang dimiliki oleh miliarder Malaysia bernama
Tiong Hiew King. Sedangkan pemilik mayoritasnya adalah Mandala
Resources, sebuah perusahaan cangkang yang terdaftar di Kota Kinabalu di
Malaysia dan dimiliki oleh dua pria yang juga memiliki perusahaan
kontraktor dalam pengembangan sawit. Perusahaan-perusahaan itu tidak
dapat ditelusuri secara online.
Melalui
wawancara telepon singkat, Fabianus kukuh berpendapat bahwa ia
betul-betul mewakili kepentingan masyarakat yang trauma karena kegagalan
Menara Group dalam mengembangkan kawasan mereka. “Jadi sebenarnya kita
secara pribadi jadi tokoh dan orang terdepan. Kita cari investor yang
mendahulukan hak masyarakat,” katanya. Dia memberikan bukti adanya
dokumen yang ditandatangani masyarakat terkait penolakan Menara Group.
Hal itulah yang menjadi alat untuk ia melakukan lobi-lobi.

Benediktus
Tambonop yang kemudian terpilih sebagai bupati pada tahun 2015 memberi
tahu kami bahwa ia mendukung perusahaan-perusahaan baru itu karena
mereka dianggap telah didukung oleh masyarakat. Surat perizinan dari
bupati dan instansi pemerintah lainnya itu mengacu pada surat-surat yang
berulang kali dikirimkan oleh Fabianus.
Tetapi
sesungguhnya, Fabianus telah memainkan peran kunci dalam mengamankan
izin-izin Proyek Tanah Merah. Ialah yang ikut menemani Dessy Mulvidas
ketika melakukan survei yang didampingi aparat. Fabianus tetap
bersikeras mengatakan kalau niat dan apa yang sudah dilakukannya itu
semata-mata untuk kepentingan yang terbaik bagi penduduk desa. Namun,
Antonius Uweng Kandam yang menggantikan posisi Fabianus dalam lembaga
adat setelahnya mempunyai cerita yang berbeda.
“Itu
kepentingan si Fabianus saja,” kata Antonius kepada kami. “Bukan
kepentingan masyarakat sendiri!” Antonius berpendapat bahwa Fabianus
telah dibayar untuk memperoleh persetujuan masyarakat.
“Masyarakat
tidak menghendaki itu. Ini ‘kan tanah-tanah masyarakat adat, tanah
ulayat!” Ronny Tethool, Direktur WWF Merauke, juga menegaskan peran
Fabianus sebagai broker yang dibayar perusahaan.
Fabianus mengakhiri wawancara ketika kami menyinggung obrolan mengenai
perannya terkait dengan izin-izin untuk perusahaan baru.

Sementara
pada wawancara lain dengan Ventje Rumangkang, diungkapkan bahwa
masyarakat adat setempat adalah benar pemilik tanah itu. Ia juga
mengatakan proyek tidak akan dilanjutkan tanpa dukungan mereka. Namun,
dalam surat terbuka
yang diterbitkan pada tahun 2017 oleh Yayasan Pusaka, sebuah LSM yang
dipimpin oleh Franky Samperante, terkuak fakta lain. Masyarakat di desa
mengakui Fabianus telah menjebak mereka dengan meminta masyarakat
menandatangani dokumen yang tidak mereka pahami ketika mencoba
meyakinkan masyarakat untuk mendukung masuknya perusahaan milik Ventje.
Pada Oktober 2017, Yayasan Pusaka mempublikasikan
kesaksian yang membeberkan bukti masyarakat telah diancam dengan
kekerasan agar bersedia menandatangani surat dukungan untuk PT Indo
Asiana Lestari.
Kini,
perusahaan-perusahaan itu masih menanti izin-izin terakhir yang
dibutuhkan dari Pemerintah Provinsi Papua dan Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan. Jika itu sudah didapatkan, maka mereka pun akan
mulai beroperasi.
Kepada
para pemegang sahamnya, Tadmax terus mengklaim konsesi di Boven Digoel.
Dalam laporan tahunan terakhir, perusahaan itu tak menyinggung perihal
pencabutan izin atau situasi-situasi yang sebetulnya begitu rapuh dan
serba tidak pasti terkait perizinan. Chairul pun mencitrakannya sebagai
bisnis yang belum rampung. Ia mengatakan bahwa ia telah mengeluarkan
uang ratusan miliar rupiah untuk bisa mendapatkan izin awal. “Semua
urusan beres kalau ada politik dan uang,” katanya. “Sabarlah sedikit,
nanti kalau saya turun, semua itu beres.”
Menurut
Pastor Felix Amias, banyak warga di desa semakin bingung dengan
bergonta-gantinya perusahaan-perusahaan yang ada di tanah mereka.
Baru-baru ini, Pastor Felix menerima permohonan untuk membantu
menyelesaikan kebingungan itu. Ia akhirnya menemui Yusak yang telah
keluar dari penjara. Pastor Felix yakin bahwa Yusak memegang kunci dari
segala permasalahan yang kian meresahkan itu. Keduanya pun bersama-sama
menyelidiki kekacauan sengketa perusahaan yang tumpang tindih.

Kami
berjumpa dengan mereka di Mal Grand Indonesia di Jakarta Pusat pada
Oktober 2018. Belakangan, mereka telah menemui Ventje Rumangkang dan
berencana mengunjungi kantor-kantor pemerintah. Yusak memanfaatkan
jaringannya dengan para birokrat di Kabupaten Boven Digoel dan Provinsi
Papua untuk menggali informasi lebih lanjut. Namun, semuanya tetap gelap
gulita. Sulit untuk mencari tahu siapa sebetulnya sosok yang ada di
belakang segala perkara itu. “Semua serba rahasia dan cerita itu
bermacam-macam, sehingga kita jadi bingung juga, apalagi masyarakat,”
ungkap Pastor Felix. “Tapi, kalau ceritanya saja tidak jelas, lalu
bagaimana kita mau pecahkan masalahnya?”
Yusak
yang awalnya telah membuka jalan terhadap upaya untuk mengembangkan
hutan sejak lebih dari satu dekade lalu, akhirnya menyadari bahwa
keseluruhan proyek itu adalah suatu kesalahan besar. Hal itu akan
menimbulkan kehancuran yang luar biasa terhadap masyarakat di Boven
Digoel. Dan ia menyadari bahwa kehancuran itu kelak tidak mungkin bisa
diperbaiki. “Saya tidak mau memikul dosa,” ungkapnya. “(Semuanya) harus
dibongkar habis-habisan.”
Bagian 7: ‘Itu bagai awan jatuh’

Belum lama ini, tim dari Greenpeace terbang dengan helikopter melintasi hutan di Boven Digoel. Ada kabut tipis yang melayang di atas rindang pepohonan yang begitu rapat membentang sepanjang cakrawala. Burung-burung enggang yang berpasang-pasangan terbang menghinggapi pucuk-pucuk pohon. Namun, ketika tim tiba di perbatasan Proyek Tanah Merah, tampak pemandangan yang kontras. Kehancuran mulai terlihat. Pohon-pohon sirnah dan yang bisa dilihat hanyalah potret buram sisa pembabatan hutan. Semuanya kelabu dengan perlintasan jalan-jalan lumpur berwarna merah yang saling terhubung. Tunas-tunas sawit merekah dalam barisan yang teratur.
Pembukaan hutan dimulai di sepanjang Sungai Digul yang berdekatan dengan Desa Anggai dan merambat menuju ke barat. Masyarakat di desa mengabari kami bahwa sumber air minum mereka telah berubah berwarna merah tanah. Kini, mereka juga harus berjalan semakin jauh hanya untuk mencari makan. Perjalanan yang mereka lakukan itu semakin sulit karena tak ada lagi pohon-pohon yang melindungi mereka dari sengatan matahari. “Hasil alam yang Tuhan sudah berikan lewat kita hancur di tempat,” kata seorang lelaki tua dari Anggai. “(Itu bagai) awan jatuh.”
Saat ini, kawasan seluas lebih dari Kota Jogjakarta itu sedang ditebangi. Ada dua perusahaan yang sekarang beroperasi dan keduanya dimiliki oleh perusahaan anonim yang berada di UEA, sekitar 7.000 kilometer jaraknya dari Boven Digoel. Chairul masih memegang sebagian kecil sahamnya. Dan memang sudah diatur agar ia dapat memberi untung jika satu bagian itu dapat diselesaikannya. Ia kini menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Bisnis Indonesia-Malaysia. Secara rutin, wajahnya terpampang di media-media bersama dengan orang-orang penting dan berpengaruh, baik itu di Indonesia maupun Malaysia. Pada suatu wawancara, ia membanggakan bahwa ia memiliki hubungan dekat dengan para menteri dan mengakui Mahathir Mohamad, Perdana Menteri Malaysia yang baru, sebagai teman mengobrolnya.
Area hutan yang telah ditebangi hingga saat ini baru mewakili dua persen dari total wilayah proyek. Pembangunan kilang gergaji raksasa masih berlangsung. Tadmax sudah menjual sahamnya di dalam perusahaan patungan pemilik pabrik itu. Kini, perusahaan patungan itu dimiliki bersama oleh perusahaan kayu bernama Shin Yang dan Malindo Investments, sebuah perusahaan anonim yang terdaftar di kantor akuntan yang beralamat di salah satu gedung pencakar langit di Dubai. Chairul bersikeras bahwa penundaan pembangunan pabrik besar itu telah jadi penghambat yang membuat proyek berjalan lambat. Tanpa kilang gergaji, maka perusahaan yang menebang kayu akan mengalami kesulitan untuk memasarkan kayu yang dihasilkan dari pembukaan lahan tersebut. Namun, jika pembangunan pengolahan kayu itu kelak rampung, maka aktivitas penghancuran hutan di sekitarnya akan meningkat lebih cepat dari yang bisa dibayangkan.

Persekongkolan yang meliputi Proyek Tanah Merah telah membuat Pemerintah Kabupaten Boven Digoel semakin memasuki kamar yang gelap gulita. Di sela-sela Festival Pesta Ulat Sagu pada September lalu, Bupati Boven Digoel yang menjabat saat ini, Benediktus Tambonop, memberi tahu kami kalau ia sendiri tidak tahu siapa saja para pemegang konsesi di kabupatennya. Sejak menjabat pada tahun 2015, Benediktus menyadari bahwa kabupatennya telah dibebani dengan begitu banyak izin dibandingkan wilayah lain di Papua. KPK telah mengabarkan padanya bahwa terdapat lebih dari 20 perusahaan dengan izin-izin di kabupatennya. Para pemilik izin-izin itu baru mulai menampilkan batang hidungnya ketika Sang Bupati mengumumkan lewat radio kalau ia berencana hendak mencabut izin-izin.
“Langsung muncul. Satu per satu, (mereka) mulai telepon kita,” ungkap Benediktus. Ia menemukan sejumlah perusahaan yang justru tidak berada di Boven Digoel, melainkan beralamat di Singapura dan Malaysia. “Sampai hari ini, kita masih cari tahu, sebenarnya di mana kantornya dan bagaimana mereka punya izin.”
Dua perkara yang saling terjalin itu, yakni soal ketidakterbukaan dalam kepemilikan perusahaan dan perizinan terhadap perkebunan, telah menyita perhatian banyak aktivis, jurnalis, dan pejabat pemerintah di luar Kabupaten Boven Digoel. Selama satu tahun terakhir ini, beragam analisis mulai gencar mengungkap bagaimana para konglomerat sawit dan kayu di Indonesia bisa menyamarkan jangkauan operasinya melalui sederetan “perusahaan bayangan” (shadow company). Perusahaan bayangan adalah perusahaan yang dikelola oleh konglomerat-konglomerat melalui individu-individu yang bukan pemilik sebenarnya sebagai pemegang saham. Banyak dari perusahaan-perusahaan semacam itu yang kemudian menyalurkan keuntungan melalui struktur perusahaan yang sulit ditelusuri dan difasilitasi oleh secrecy jurisdiction di luar negeri.
Selama beberapa dekade terakhir, terutama dalam rentang dua puluh tahun ini, terdapat sekitar 210 ribu kilometer persegi lahan di Indonesia — atau seluas lebih dari Pulau Sulawesi — yang telah diserahkan kepada perusahaan perkebunan. Izin-izin dikeluarkan dalam keadaan yang remang-remang. Tentu saja, izin-izin itu melibatkan politisi daerah dan memposisikan mereka pada situasi yang rentan pada peluang korupsi. Pada tahun 2018, KPK menggenapkan kasusnya yang keseratus terhadap kepala daerah. Jumlah kasus yang ditangani KPK itu bisa saja merupakan sebuah fenomena gunung es. Artinya, kemungkinan ada jauh lebih banyak lagi tindakan korupsi yang telah dilakukan di lebih dari empat ratus kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Banyak politisi maupun kepala daerah terjerat hukum akibat korupsi anggaran daerah dan penipuan pengadaan barang/jasa. Mereka juga turut andil dalam kongkalikong penerbitan izin-izin konsesi. Nasib hutan pun berakhir tragis karena telah diserahkan kepada perusahaan-perusahaan.
Persoalan kerahasiaan perusahaan dan korupsi dalam proses perizinan perlu ditelusuri lebih lanjut untuk menemukan siapa yang bersembunyi di balik perusahaan-perusahaan itu dan bagaimana mereka bisa mendapatkan aset-aset mereka. Proyek Tanah Merah merupakan potret yang menarik dari keterkaitan kedua fenomena itu. Maka, upaya untuk mengungkap siapa sosok yang sedang bersembunyi di balik rumitnya jaringan perusahaan cangkang maupun para pemegang sahamnya adalah pula upaya yang dapat menguak jawaban terhadap mengapa perusahaan-perusahaan semacam itu sejak semula bisa mendapatkan izin yang begitu berharga.
Pemerintah telah merespon persoalan yang ada dengan mengeluarkan serangkaian kebijakan baru. Pada September tahun lalu, Presiden Jokowi memerintahkan untuk melakukan peninjauan terhadap seluruh izin perkebunan sawit di Indonesia sebagai bagian dari moratorium sawit melalui Inpres №8 Tahun 2018. Sementara pada Maret 2018, Peraturan Presiden (Perpres) №13 Tahun 2018 juga telah mulai berlaku. Perpres itu mengharuskan perusahaan untuk mengungkapkan identitas pemilik manfaat (beneficial owners) kepada pemerintah. Jika peraturan itu diimplementasikan dengan baik, maka hal itu akan menyibak tirai yang selama ini menyembunyikan sosok-sosok sebenarnya di balik para pemegang saham yang namanya sekadar dipakai.
Kombinasi dari kedua kebijakan itu juga diharapkan akan mampu menerangi lorong gelap dan membongkar kedok yang ada di balik Proyek Tanah Merah. Ini adalah cerita yang masih jauh menuju titik akhir yang terang benderang. Tak hanya nasib hutan yang sedang dipertaruhkan, melainkan pula keberlangsungan masyarakat adat yang tinggal dan menggantungkan hidup di dalamnya. Sampai di sini, keputusan-keputusan yang telah diambil masih menghadapi situasi yang remang-remang dan diliputi teka-teki. Pergumulan terus berlangsung untuk mengungkap persekongkolan yang penuh misteri. Dan di balik pintu yang tertutup rapat tersebut, perjuangan terhadap hak atas tanah pun berlanjut.
Empat tahun yang lalu, rencana gelap Menara Group untuk membangun serangkaian perkebunan gula berskala raksasa di Kepulauan Aru terkuak dan berhasil digagalkan. Tetapi untuk saat ini, Proyek Tanah Merah masih diliputi bayang-bayang yang kelam.
“Ini semua serba rahasia,” Pastor Felix memberitahu kami. “Orang yang bermasalahnya saja bersembunyi.”
Sumber: The Gecko Project