Menunjukkan Wajah dan Identitas Perempuan tanpa Ngeblur
SAYA ingin melanjutkan obrolan soal memuliakan perempuan secara ngeblur. Sedikit lagi, agar diskursus kengebluran itu segera bisa dibahas tuntas.
Perempuan seringkali mengalami diskriminasi karena pembacaan teks keagamaan yang tidak dibaca dengan menimbang pengalaman perempuan. Teksnya memang ada, tapi pembacaan terhadap teks, lalu tindak lanjut terhadap tafsir tersebut yang bermasalah.
Contoh, hadis yang mengatakan bahwa wanita kurang akal dan agamanya. Konsekuensi dari hadis tersebut, sebagian laki-laki menolak perempuan jadi pemimpin karena dianggap kurang akal. Perempuan dijatuhi stigma sebagai manusia emosional belaka yang tidak akan bisa bijaksana dalam berkeputusan. Perempuan, karena dianggap kurang agama lalu juga dijatuhi stigma sebagai sumber penggoda dan sumber fitnah, sehingga benar kalau ia mesti diblur.
Khadijah, bergelar ummul mukminin(ibu kaum beriman) dan khair al nisa(sebaik-baiknya perempuan) adalah orang pertama yang memberi keyakinan kepada Nabi Muhammad bahwa wahyu yang diterima Nabi dalam khalwat-nya di Gua Hira adalah benar dari Allah dan bukan bisikan setan.
Diceritakan dalam banyak riwayat bahwa Nabi pulang ke rumah dalam kondisi ketakutan dan demam tinggi. Annemarie Schimel dalam My Soul is a Woman mendeskripsikan Nabi seperti orang kerasukan karena tak percaya dengan apa yang ia alami, lalu ia pun diberi ketenangan oleh Khadijah.
Mengimani wahyu pertama adalah peristiwa yang luar biasa. Jika seorang muslim yakin proses keberimanan kepada Allah merupakan proses yang melibatkan kesadaran penuh, bukan semata-mata halusinasi atau emosi, maka tidak ada alasan bagi siapa pun untuk menuduh perempuan kurang akal atau mengedepankan emosi saja.
Istilah "kurang akal" dalam hadis di atas sebetulnya terjadi dalam konteks nilai persaksian perempuan yang dalam literatur fikih klasik hanya berbobot separuh laki-laki. Berdasarkan klaim ini, kebudayaan laki-laki kemudian memperkuat anggapan bahwa perempuan itu pelupa atau tidak lebih cerdas dari laki-laki. Sehingga, bobot kesaksiannya pun hanya separuh.
Hebatnya, di Indonesia sejak tahun 1950 ketika ayah Gus Dur (KH Wahid Hasyim) menjadi menteri agama, perempuan boleh belajar di Sekolah Guru Hakim Agama Negeri (SGHAN). Ini merupakan langkah yang terlampau berani karena artinya Kiai Wahid Hasyim berjalan melawan arus. Perempuan yang diklaim pelupa itu, di Indonesia sudah boleh menjadi hakim sejak tahun 1950. Sehingga, di Pengadilan Agama, hakim perempuan adalah pemandangan yang teramat biasa. Bahkan, banyak kantor Pengadilan Agama yang memiliki kepala hakim perempuan.
Bagaimana kesaksian perempuan bernilai separuh saja kalau bahkan muslimah di Indonesia dapat menjadi penentu keputusan hukum dan pemegang kebijakan?
Soal ijtihad ulama Indonesia yang membaca literatur Islam klasik dengan perspektif adil gender bukan hanya satu perkara. Contoh lain, batas usia perkawinan. UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 menetapkan batas usia perkawinan yakni usia 19 tahun untuk laki-laki dan usia 16 tahun untuk perempuan. Belakangan, Pemerintah mengesahkan UU Nomor 16 tahun 2019 yang menaikkan batas usia perkawinan anak perempuan pada usia 19 tahun, sama dengan laki-laki.
Jika mengacu kepada literatur Islam klasik, hal ini jelas terlalu berlebihan. Dalam masalah perkawinan, Islam tidak mengatur batas usia. Islam hanya mensyaratkan akil balig. Masyarakat biasa mempermudah syarat itu dengan hanya menimbang balig, yang ditandai mimpi basah untuk laki-laki dan keluarnya menstruasi pertama untuk perempuan. Padahal, akil berarti berakal. Definisi berakal tentu mencakup mampu menimbang baik dan buruk juga mampu memenuhi kebutuhan ekonomi.
Lagi-lagi, di Indonesia, para ulama berijtihad dengan menimbang aspek sosiologis. Ada data angka kematian ibu yang tinggi. Ada data bayi meninggal pasca melahirkan karena kurang gizi. Ada data stunting. Ada data kekerasan kepada perempuan. Ada data feminisasi kemiskinan, alias kemiskinan dengan wajah perempuan. Sejumlah fakta menyedihkan dengan akar masalah yang sama, yakni budaya perkawinan anak.
Islam sebagai pengetahuan bersifat lentur. Kitab tentang pernikahan yang banyak dikaji di pondok pesantren tradisional adalah Uqudullujain karya Syaikh Nawawi Al Bantani. Dalam kitab itu, Syaikh Nawawi menggambarkan hubungan antara istri kepada suami adalah bagaikan budak kepada tuannya.
Dalam perkembangannya, Kiai Faqihuddin Abdul Kodir menulis Kitab Manbaus Saadah, berarti Telaga Kebahagiaan untuk Relasi Pernikahan. Kitab ini ditulis berdasarkan prinsip kerja sama dan kesalingan suami-istri. Suami dan istri memiliki kedudukan yang setara dalam relasi pernikahan yang dilandasi dengan kasih sayang. Kepala keluarga tidak hanya laki-laki, sebab ar rijalu, juga bermakna sifat kelaki-lakian atau kemampuan, artinya siapa saja dalam struktur yang lebih mampu untuk mengambil kuasa dan kontrol terbaik dalam rumah tangga, maka ia boleh menjadi kepala keluarga.
Di Indonesia, tidak semua keluarga memiliki kepala keluarga laki-laki. Ada lebih dari 25% lebih perempuan kepala keluarga. Struktur keluarga ini berbentuk ibu dengan anaknya, nenek dengan cucunya, perempuan dengan adiknya, juga perempuan yang hidup sendiri. Ada juga struktur rumah tangga lain, di mana perempuan menjadi kepala keluarga karena suaminya telah pensiun, di-PHK, disabilitas atau sakit menahun.
Fakta-fakta sosiologis tersebut tentu menjelaskan betapa tidak tepat jika Islam hanya dipahami lewat satu pintu. Dialog antara Islam dan realitas masyarakat juga fakta pengetahuan akan menghadirkan pengetahuan Islam yang lebih relevan dan mampu menjawab persoalan masyarakat muslim hari ini.
Pada akhirnya, perempuan tak perlu risau untuk menampakkan wajah dan menunjukkan identitasnya. Masa blur sudah lama berlalu. Kita sudah berada pada masa 1500 tahun setelah Nabi Muhammad wafat dan telah melewati banyak sekali dialog zaman. Perempuan budak sudah tidak ada. Kita telah bersepakat untuk menciptakan ruang aman, bagi laki-laki maupun perempuan. Kita sedang terus berusaha untuk menciptakan UU yang menghukum pelaku pelecehan dan kekerasan seksual.
Tidak perlu kagetan jika masyarakat mendorong konsensus baru yang dianggap lebih adil dan sesuai pengalaman perempuan. Sebab ternyata, reformasi produk hukum adalah tradisi yang sangat biasa dikerjakan oleh ulama Indonesia. Tujuannya adalah kemaslahatan. Tidak perlu sedikit-sedikit menjatuhkan stigma liberal, sesat, atau "Barat", padahal sebetulnya hanya tidak belajar sejarah dan tidak berani mengajukan nalar kritis.
Perubahan adalah keniscayaan, dan hanya dengan cara itu Islam sebagai sumber nilai dapat tetap relevan.
Kalis Mardiasih penulis konten dan fasilitator Gusdurian National Networks of Indonesia
Detikcom