News Breaking
Live
update

Breaking News

IJP: Sebelum Omnibus Bill Menjadi Omnibus Law

IJP: Sebelum Omnibus Bill Menjadi Omnibus Law



Oleh: Indra J Piliang

RIAU MAGAZINE -- Trending topik terjadi tatkala aksi massa #GejayanMemanggilLagi terjadi. Padahal, hari yang dipilih adalah Senin, 9 Maret 2020. Lokasi aksi, Simpang Tiga Gejayan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, lumayan apik.  Pilihan hari Senin tidak terlepas dari aksi #GejayanMemanggil, pada tanggal 23 September 2019. Dua kali – sebetulnya lebih – aksi ini, baik #GejayanMemanggil atau #GejayanMemanggilLagi menakar sejumlah Rancangan Undang-Undang, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pertahanan, Farmasi, Cipta Kerja, hingga Ibukota Negara.

Bisa dikatakan, aksi ini paling elite dari pilihan isu yang diambil. Isu-isu yang masih bertebaran di langit pengambilan keputusan politik di Indonesia.

Walau tagar #GejayanMemanggilLagi menghadapi perlawanan dari tagar lain, sama sekali tak berimbas banyak. Para penggiat media sosial sudah memetakan kelompok-kelompok yang menyuarakan tagar berbeda. Kelompok yang menjadi penyokong utama kebijakan-kebijakan pemerintah. Tidak bisa juga dikatakan bahwa kelompok yang menaikkan tagar berbeda ini sebagai BuzzerRp. Walau mereka melakukan koordinasi, sama sekali pemberian tuduhan yang diluar substansi yang dibicarakan tentulah bersifat repetisi.

Betul, para petarung di kedua-belah pihak mayoritas berasal dari kelompok yang itu-itu saja. Fenomena #GejayanMemanggilLagi malah memperlihatkan betapa kelompok pendukung pemerintah semakin berkurang jumlahnya. Akun-akun militan yang semula berada di balik tameng dan baju zirrah Jokowi pada periode pertama, satu demi satu berpindah haluan.

Walau belum ada sambutan berarti dari pihak yang selama ini berseberangan, migrasi akun-akun “kelas berat” itu tentu menarik untuk diamati. Menuduh mereka sebagai pihak yang tak diajak, tak dilibatkan, apalagi tak dapat proyek lagi, tentulah menghina akal sehat. Framing yang sesungguhnya tak bisa dipakai kedua belah pihak.

Sedemikian banyaknya rancangan undang-undang yang dikritisi, tentulah menyulitkan dalam membuat peta isu. Baiklah, penulis lebih memilih satu isu saja, yakni Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang dikenal sebagai Omnibus Law. Dari sisi bahasa saja, pilihan nama omnibus law sangat tidak tepat. Dalam wikipedia kita membaca, istilah yang dipakai adalah Omnibus Bill. Omnibus Bill adalah rancangan undang-undang yang meliputi sejumlah topik yang tak berkaitan satu sama lain. Omnibus Bill ibarat buah-buahan yang berisi apel, pisang, salak, manggis, hingga bunga matahari, lalu ditaruh dalam keranjang yang sama.

Amerika Serikat dan Kanada berpengalaman dengan Omnibus Bill ini, terutama dalam rekonsiliasi anggaran, aturan perbudakan, hingga perubahan pasal-pasal kriminal.

Bill tentu berbeda dengan law. Dalam sistem politik Amerika Serikat, bill biasanya dilekatkan kepada nama senator yang mengajukan rancangan undang-undang. Billmenjadi legacy atau warisan nilai-nilai dan perjuangan politik dari sang senator. Indonesia sama sekali belum mengenal pengajuan bill berdasarkan nama legislator pendukungnya, ataupun partai politik (fraksi) yang mengajukan pertama kali. Bill biasanya berasal dari pemerintah.

Padahal, dari sudut konstitusi, parlemen jauh lebih kuat (legislative heavy) dalam fungsi anggaran, fungsi legislasi, hingga fungsi pengawasan. Sekalipun kewenangan demi kewenangan lembaga kepresidenan dipreteli sejak tahun 1999, tetap saja persepsi yang terdepan adalah lembaga kepresidenan jauh lebih hebat dibandingkan dengan lembaga legislatif.

Watak feodal Indonesia belum hilang. Konsep dewa raja, sabdo pandita ratu, hingga manunggaling kawulo gusti masih terasa dalam alam pikiran manusia Indonesia moderen. Yang tunggal lebih dianggap punya kekuasaan lebih besar dibandingkan dengan yang majemuk. Bahwa lembaga kepresidenan itu bersifat individualistik, sementara lembaga legislatif itu bersifat komunalistik, sama sekali dilupakan.

Ketika seorang putri Indonesia asal Sumatera Barat tergagap dalam melafaz sila keempat dan sila kelima dari Pancasila, banyak pihak memaki. Padahal, kegagapan bangsa ini jauh lebih kolektif. Sebab, Pancasila sama sekali tidak menganut paham individualistik. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan adalah wujud dari kolektivitas. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tidak sama dengan keadilan individual bagi segelintir orang saja. Ketika pancasila berubah menjadi ekasila, namanyapun gotong royong, bukan gotong tahta.

Sifat kegotongroyongan lembaga legislatif itulah yang menjadi dasar betapa lembaga legislatif lebih tinggi satu derajat dibandingkan dengan lembaga kepresidenan. Sehingga, tidak menjadi masalah dalam zaman yang makin digital ini, apabila rancangan undang-undang disebut berdasarkan nama-nama kelompok legislator yang mengajukan, baik yang hanya berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau gabungan keduanya. Terus-menerus mengunyah-ngunyah seolah DPD RI lebih rendah dari DPR RI juga sebentuk kebebalan dalam waktu yang terus maju dan melaju.

Penulis bakal menggunakan istilah Omnibus Bill, ketimbang Omnibus Law yang sudah telanjur terkenal itu. Walau sejumlah dokumen sudah muncul, hingga kini belum sama sekali terdapat penanggungjawab atas keberadaan rancangan undang-undang penting ini. Siapa bapaknya, siapa ibunya, sama sekali tidak diketahui. Walau sudah dikuliti, disambiti, hingga didemoi disana-sini, Omnibus Bill ini masih tampak seperti naskah yang disusun oleh para anonim. Tak heran juga, jika para penggiat media sosial yang mendukung Omnibus Bill ini juga menggunakan akun-akun anonim. Anonimisme dalam bill, tentu berujung kepada anonimisme dalam law.

Guna mengakhiri silang-sengkarut ini, alangkah baiknya jika mulai muncul sekelompok legislator, baik DPR, DPD atau gabungan keduanya, menyatakan klaim atas naskah Omnibus Bill yang beredar. Atau, setidaknya, melakukan kompilasi sendiri atas dokumen yang muncul. Jadi, terdapat versi yang benar-benar sudah mendapatkan tanda-tangan dukungan dari sejumlah legislator pemberani, lalu diajukan ke dalam persidangan.

Bukankah dulu terdapat nama-nama pemberani itu, tetapi dalam bentuk yang masih menyimpan luka hingga kini, yakni interpelasi, angket, hingga pelengseran sejumlah presiden?

Alangkah lebih baik jika keberanian itu berwujud legislasi. Berikut tentu anggaran yang bakal disematkan ke dalam legislasi itu. Omnibus Bill yang berisi Omnibus Budget. Billyang benar-benar bill, setiap kali makan selesai di satu restoran. Harga yang harus dibayar atas terbitnya sebuah legislasi. Harga itu termasuk pamor dari nama-nama legislator yang minimal berani melakukan klaim atas dokumen yang paling absah menurut mereka.

Jika berharap kepada para menteri yang berani, tentu lagi-lagi tergantung kepada pemberian kewenangan oleh presiden. Menteri yang mewakili lembaga kepresidenan. Tidak perlu banyak analisis, penulis bisa sebut nama Airlangga Hartarto sebagai menteri yang paling sering berbicara terkait Omnibus Bill ini. Dengan cara tersendiri, Airlangga melakukan roadshow kepada tokoh-tokoh pimpinan partai politik, termasuk dengan Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera, serta dalam waktu dekat Partai Amanat Nasional.

Airlangga tentu bisa melakukan lobby kepada masing-masing ketua umum partai politik, agar mengirimkan nama-nama legislator yang menjadi tim resmi dalam menggawangi perdebatan-perdebatan di parlemen. Namun, sebelum nama-nama itu mencuat, penulis lebih melihat agar inisiatif itu muncul dari masing-masing anggota legislatif, baik DPR atau DPD. Insiatif yang lebih alami, ketimbang struktural.

Pada sisi yang lain, sebaiknya para penggiat #GejayanMemanggilLagi juga menyusun nama-nama orang yang menjadi perwakilan masyarakat sipil atau masyarakat aksi dalam mengawal Omnibus Bill ini. Komunitas 212 bisa melakukan itu, tentu #GejayanMemanggilLagi lebih mudah lagi dalam mengumpulkan orang. Para tokoh, aktivis, ilmuwan, hingga perwakilan-perwakilan pihak-pihak yang paling mendapatkan dampak dari Omnibus Bill ini ketika menjadi Omnibus Law. Pertarungan antara perwakilan dari pemerintah, parlemen, plus masyarakat aksi ini bakal menjadi trisula maut dalam kepemimpinan Indonesia moderen. Suatu bentuk kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan.

Ataukah, percikan pemikiran seperti di atas masih terlalu pagi? Entahlah…

*Ketua Umum Perhimpunan Sangga Nusantara



CHANNEL9.ID

Tags