Cerita tentang Henky Solaiman Era Theater Populer Teguh Karya
TANJAKNEWS.COM -- Bicara tentang Henky Solaiman kita kudu bicara tentang Theater Populer. Kita kudu bicara tentang Hotel Indonesia yang membukakan pintu bagi seni en menopang kehidupan seniman era itu.
Awal tahun 60’an seniman yang ‘sungkan’ gabung Lekra hidupnya megap-megap, gak punya panggung untuk nyari makan. Lalu bungah banget ketika Mas Tim Kantoso, GM Hotel Indonesia saat itu membukakan pintu bagi seniman yang nganut paradigma l’art pour l’art, seni adalah untuk seni. Langsung ngelamar jadi ‘pagawe’ Hotel Indonesia..
Yuni Amir, pemusik Gumarang banting setir jadi pelatih tari, bikin ‘sanggar tari HI’. Titiek Sardjan yang kemudian beken sebagai ‘Titi Qadarsih’ adalah angkatan pertama sanggar tari HI.
Pomo, peniup saxophone meski saat itu tengah melambung dengan band Medenasz merasa kurang ‘zeker’ dengan penghasilan pemusik, ngelamar gawe di bagian administrasi.
Steve Liem, Bung Salim, Pepen yang baru terima diploma ATNI ikut-ikutan ngelamar, bukan sebagai pemain. Awal-awal serabutan, nata dekor panggung, nata ruang pesta, nata meja, nata tata lampu, dan sebagainyam
Baru pada akhir 60an Theater Populer HI dibentuk oleh Steve Liem, Wahab Abdi, Pietrajaya Burnama. Lalu Henky Solaiman, alumni ATNI ikut gabung. Slamet Raharjo, mahasiswa tingkat akhir yang gak selesai karena ATNI keburu bubar melu gabung.
Pada era itu kuring sering dolan ke wisma pegawe HI yang terletak persis di belakang hotel. Saat itu kumpul anak-anak muda yang ‘berani hidup’ menggeluti seni theater; Henky Solaiman, Slamet Raharjo, Boy Roring, Nano Riantiarno.
Kecuali Bung Salim dan Pepen yang dapat gaji sebagai pegawai hotel pemuda-pemuda itu baru dapat duit kalau ada pementasan. Karena itu kuring sebut sebagai orang-orang yang ‘berani hidup’.
Henky hanya tersenyum kalo dibully abis, bibir mancung ke depan, hidung mancung ke dalam.
Cita-cita hidup mereka gak muluk-muluk. Kalau habis manggung biasanya patungan beli sate en gule di balik pagar seng seberang perumahan, di belakang Wisma Warta. Sekarang tempat itu berubah jadi mall yang hebring.
Saat itu Steve yang kemudian dikenal sebagai Teguh Karya menerapkan ‘standard’ keras: tidak boleh nyambi jadi pemain film. Pengalaman pahit kuring alami, kuring bukan anggota sanggar, diajak main dalam lakon ‘Kopral Woychek' dalam proses latihan, unit Danu Umbara film menyerah calling untuk kuring langsung ke Steve. Steve langsung manggil dan ngomong dngan nada ‘pedes’
kalau mau nyabo maen film..engga usah jadi pemain theater..
No heart felling kuring sering main bareng dengan Bung Salim, Pepen. Silvy nainggolan. Rosalyn Oscar..dan setiap pagelaran theater pasti hadir. Pertengahan 70’an lalu muncul nama2 baru..Tutie Indra Malaon..Naniek L Karim..en seabrek pemain berkualitas lainnya.
Well well well terakhir bertemu Henky pada Maret 1995 waktu kongres ke VII KFT.. Setelah Steve Liem ubah nama jadi ‘Teguh Karya’ dan banyak seniman teater lainnya mulai terjun ke dunia layar perak, Henky pun beralih dari dunia teater, rame-rame pada ‘nyabo’ semua dan kuring sebut itu ketika Steve menerima Piala Citra sebagai sutradara ‘Badai Pasti Berlalu’ kuring naik ke atas panggung kasih selamat sambil bilang, "Selamat ya Steve sekarang Lu udah jadi ‘raja cabo’"
Henky yang ada di sebelahnya bilang, "Jahat lu."
He he he..no heart felling..bagaimana pun kuring angkat topi keduanya orang hebat, keduanya orang berprestasi di bidang film orang-orang yang ‘berani hidup’.
Selamat jalan Bung....
Selamat jalan Bung....