Kapan Pewarisan Baru Bisa Terjadi?
TanjakNews.com, Kewarisan -- Kewarisan dalam hukum Islam dikenal dengan nama ’ilmu Fara’id dan ’ilmu miras, yaitu :
هو قوانين وضوابط يعرف بها نصيب كل واحد ممن يخلفون الميت فى تركه [1]
Artinya : Undang-undang dan ketentuan-ketentuan yang dengannya dapat diketahui bagian dari masing-masing orang yang ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia dari harta peninggalannya.
Pewarisan; adalah suatu proses pemindahan dan pengoperan harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia, baik yang berupa harta benda yang berwujud (material) maupun yang tidak berwujud (immaterial), kepada ahli waris yang telah ditetapkan oleh syari’at Islam.
Atas dasar pengertian tersebut diatas maka dapatlah disimpulkan bahwa pewarisan dalam hukum Islam baru dapat terjadi apabila :
- Pewaris telah meninggal dunia, oleh karena itu setiap pemindahan/pengoperan hak milik sewaktu pewaris masih hidup tidak dapat dikatakan pewarisan.
- Bahwa ahli waris menurut Hukum Islam hanyalah yang tergolong keluarga, yang ada hubungannya dengan pewaris baik karena hubungan perkawinan (suami istri) maupun karena hubungan darah (nasab) seperti anak, cucu, orang tua, kakek dan seterusnya, ataupun karena memerdekakan atau perjanjian.
- Tidak ada halangan berkewarisan antara pewaris dan ahli waris.
Pemindahan hak ini berlaku secara otomatis, tanpa terikat dengan kehendak pewaris dan ahli waris. Terjadi dengan ketentuan Tuhan (yang mensyari’atkan hukum), tidak berdasarkan keinginan pewaris dan ahli waris. Karena itu para Ulama mengatakan bahwa inilah satu-satunya pemilikan atas harta terjadi secara otomatis (jabr)[2]. Karena itu pula dalam cara pembagian harta warisan ini, di antara ahli waris kebanyakan sudah ditentukan persentase bahagiannya, sesuai dengan status kekerabatannya dengan pewaris.
Tirkah (harta warisan) ;
Prof.Dr. Muhammad Yusuf Musa (guru besar Syari’at Islam pada Fakultas Syari’ah Universitas Cairo) dalam bukunya At-Tirkah wa al-miras fi Al-Islam, mengemukakan beberapa pengertian dari berbagai mazhab, antara lain adalah sebagai berikut :
1. At-Tirkah menurut Hanafiyah adalah :
هي ما يتركه الميت من الاموال صافيا عن تعليق حق الغيربدينه[3]
Artinya: Yaitu sesuatu yang ditinggalkan simati dari hartanya yang bersih dari sangkut paut dengan hak orang lain, dengan sebab hutang atau sebagainya.
2. Menurut Syafi’iyah adalah :
هي كل ماكان للانسان حال حياته وخلفه بعد مما ته من مال او حقوق [4]
Artinya: Yaitu segala apa yang ada pada manusia ketika hidupnya dan diwarisi sesudah matinya, baik harta maupun hak.
3. Menurut Hanabilah adalah :
هو الحق المخلف عن الميت ويقال لها التراث. [5]
Artinya: Yaitu hak yang diwarisi dari simati dinamakan ”turas” ataupun peninggalan.
4. Menurut Malikiyah adalah :
هو حق يقبل التجزء يثبت لمستحق بعد موت من كان له ذالك. [6]
Artinya: Yaitu hak yang bisa dibagi, yang diberikan kepada yang berhak sesudah matinya orang yang tadinya memiliki hak itu.
Dari defenisi-defenisi tersebut dapatlah disimpulkan ada dua kelompok yang berbeda dalam pengertian Tirkah. Kelompok pertama adalah Hanafiyah dan kedua adalah Jumhur Fuqaha (Syafi’i Malik dan Ibnu Hambal).
Menurut Hanafiyah termasuk Ibnu Hazm, bahwa yang termasuk Tirkah itu hanyalah harta benda dan hak-hak saja, tidak termasuk hak-hak yang immaterial seperti hak suf’at kiyar, hak cipta dan hak-hak Al-ajalu fi ad-dain (hak tenggang waktu pada hutang). Sedangkan pengertian Tirkah menurut Jumhur Fuqada, adalah disamping harta benda/kekayaan (material) juga hak yang immaterial, seperti hak suf’at, hak kiyar, hak cipta dan lain sebagainya.
Perbedaan pendapat dalam masalah tirkah ini, adalah disebabkan penafsiran dan penilaian terhadap teks/matan hadist:
من ترك مالا اوحقا فلورثته ومن ترك كلا او عيالا فألى [7]
Artinya: Barang siapa yang meninggalkan harta kekayaan (mal) atau hak, maka itu untuk ahli warisnya, dan barang siapa yang meninggalkan harta kekayaan tanpa ahli waris atau sebaliknya (yakni meninggalkan ahli waris) tanpa meninggalkan harta warisan maka itu adalah tanggunganku.
Imam Abu hanafiyah menilai bahwa matan hadis atau kalimat Haqqan ( حقا) dalam hadis tersebut tidak sahih. Sedangkan Jumhur ulama memandang dan menilai bahwa kalimat (حقا) dalam hadis tersebut adalah sahih.[8]
Dengan memperhatikan pendapat-pendapat tersebut di atas, penulis cenderung kepada pendapat Jumhur Fuqada.
Pendapat ini didasarkan kepada :
1). Hadis rasul SAW :
من ترك مالا او حقا فلورثته ومن ترك كلا او عيالا فألى [9]
Artinya: Barang siapa meninggalkan harta kekayaan (mal) atau hak, maka itu ahli warisnya, dan barang siapa yang meninggalkan harta kekayaannya tanpa ahli waris atau sebaliknya (yakni meninggalkan ahli waris) tanpa meninggalkan harta warisan maka itu adalah tanggunganku.
2). Hadis Rasul SAW :
لا ضرار ولاضرار [10]
Artinya: Tidak ada memberi melarat dan tidak ada membalas kemelaratan.
3). Hadis Rasul SAW :
وقال رسول الله صلعم من مات عن حق فلورثته [11]
Artinya: Rasul SAW bersabda: Siapa yang mati meninggalkan hak maka untuk warisnya.
4). Bahwa Syari’at Islam dalam menentukan hukum Suf’at, Kiyar, antara lain untuk menghindari adanya kemudaratan yang merugikan pihak-pihak yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan asas Tasri’ Islamy, dan hal ini tidaklah berarti bahwa dengan telah meninggalnya pewaris kemudaratan itu lenyap dan hilang bersama pewaris, tetapi tetap akan dirasakan pula oleh ahli warisnya.
Oleh karena itu pula Sihabuddin Al Qarafi dalam kitabnya Al Furuq meriwayatkan hadis Rasul SAW :
اعلم انه يروى عن الرسول الله صلعم: انه قال من مات عن حق فلورثته. [12]
Artinya: Bahwa Nabi SAW bersabda : Barang siapa yang meninggalkan dunia dan ia meninggalkan hak maka itu untuk ahli warisnya.
Ibnu Rusd dalam kitabnya Bidayatu Al Mujtahid wa Ninihayatu al Muqtasidmenyatakan sebagai berikut :
انه ان مات الشفيع قبل الأخذ بالشفعة انتقل حقه فيها الى ورثته لا نه خيار ثبت لدفع الضرر عن المال فورث كالرد بالعيب. (راجع المهذب ج 1_ 323 وبداية المجتهد ج 2- 260. [13]
Artinya: Bahwasanya apabila seseorang yang mempunyai hak suf’at meninggal dunia sebelum ia menggunakan hak itu, maka hak ini berpindah kepada ahli warisnya. Karena itu adalah merupakan kiyar yang telah tetap untuk menghindari mudarat yang berkenaan dengan mal, oleh karena itu harus diwariskan kepada kiyaru al’aib.
Hak-hak yang bertalian dengan tirkah sebagai berikut :
1). At-Tajhiz, yaitu biaya penyelenggaraan mayit sampai dikuburkan. Dan biaya penyelenggaraan orang yang wajib ditanggung simayit, apabila seseorang tadi meninggal dalam waktu yang hampir bersamaan dengan simayyit.
Biaya Tajhiz ini tidak boleh berlebih lebihan dalam takaran yang wajar menurut hukum/syara’ sebagaimana firman Allah SWT surat al Furqan ayat 67: Artinya: Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) ditengah-tengah antara yang demikian.
Dalam kitab Tanqih Al-Hamidiyah : Waris apabila mengkafani si mayyit lebih dari yang pantas atau wajar ia harus mengganti kelebihan dari yang pantas tersebut .
2). Hutang, baik hutang kepada Allah seperti : Zakat, kifarat, nazar dan lain-lain, atau hutang kepada manusia, dan apabila tidak cukup harta peninggalan untuk membayar hutang kepada Allah dan manusia, maka didahulukan hutang kepada Allah. Dengan dalil hadist Nabi SAW. :
دين الله احق انيقض. [14]
Artinya: Hutang kepada Allah lebih diutamakan membayarnya. Ini adalah menurut pendapat mazhab syafi’iyah dan Jumhur Ulama.[15]
Menurut mazhab Hanafiyah: Hutang kepada Allah tidak wajib bagi waris menunaikannya selama tidak ada wasiat dari yang mati, dan apabila ada wasiat dari yang mati, maka wajiblah bagi waris mengeluarkan sebanyak 1/3 dari harta pusaka setelah dikeluarkan biaya tajhiz dan hutang kepada manusia/Bani Adam. Akan tetapi apabila harta tidak cukup, maka hutang kepada Bani Adam didahulukan. Karena Allah Maha Pengampun dan pemurah.[16]
Juga tidak ada perbedaan diantara hutang diwaktu sehat atau hutang diwaktu sakit yang membawa ia mati. Keduanya sama menurut pendapat Syafi’iyah (Jumhur Ulama).
Dan menurut pendapat Hanafiyah, apabila harta pusaka tidak cukup membayar kedua macam hutang tersebut, maka didahulukan hutang diwaktu sehat karena itu lebih kuat, dan kalau ada lebihnya baru dibayarkan hutang diwaktu sakit.
Adapun sebab berbeda pendapat ulama-ulama tentang hak-hak Allah :
Menurut Hanafiyah : Hak-hak Allah pada bahagian harta juga termasuk ibadat, sedang ibadah mesti dengan niat, sedang ia sudah mati, jadi tidak wajib ditunaikan kecuali ada wasiat.
Berbeda dengan Jumhur Fuqaha : Mereka berpendapat, kewajiban zakat, kifarat dan seumpamanya itu adalah kewajiban harta. Jadi tidak berhajat kepada niat, karena itu maka wajib zakat pada harta anak-anak dan orang gila. Sesuai dengan Sabda Nabi SAW:
من ولى على يتيم فليؤد زكاة ماله (من كتاب احكم الزكاة والمواريث لأبي زهرة.[17]
Artinya: Siapa yang memelihara anak yatim, maka ia harus menunaikan akan zakat hartanya. Pendapat ini lebih kuat dan ihtiyat.
3) al-Wasiyat artinya berbuat amal kebajikan dengan sesuatu hak yang akan dilakukan sesudah mati.
Berwasiat hukumnya sunnat, kecuali apabila ada padanya hak/hutang pada Allah seperti zakat, kifarat, haji dan lain-lain. Maka ia wajib mewasiatkan segala hak-hak Allah yang wajib ia tunaikan.
Batas-batas wajib melaksanakan wasiat :
- Apabila wasiat itu kepada yang bukan ahli waris, maka yang boleh hanya 1/3 dari semua harta pusaka setelah dikeluarkan biaya penyelenggaraan dan hutang. Dan tidak boleh lebih dari 1/3 kecuali diizinkan oleh semua ahli waris, dengan ijma’ ulama.
- Apabila wasiat itu ditujukan kepada waris, maka hal itu tidak sah, kecuali diizinkan oleh waris yang lain, sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Umamah dari Nabi SAW.:
عن ابى امامة قال سمعت رسول الله صلعم يقول ان الله قد اعطى كل ذى حق حقه فلا وصية لوارث. رواه ابو داود. [18]
Artinya: Bahwasanya Allah telah memberikan tiap-tiap yang mempunyai hak akan haknya, maka tidak ada wasiat bagi waris kecuali diizinkan oleh ahli waris yang lain.
Dan hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas :
عن ابن عباس قال, قال رسول الله صلعم لا تجوز الوصية لوارث الا ان يشآء الورثة. رواه الدار قطنى. [19]
Artinya: Tidak boleh berwasiat kepada waris kecuali disetujui oleh waris yang lain.
Menurut Fuqaha Zaidiyah, harus berwasiat 1/3 atau kurang kepada waris dengan tidak harus disetujui oleh waris yang lain. Alasan mereka ialah, ayat wasiyat kepada kedua ibu bapak dan kelurga yang ada pada surat Al-Baqarah, yang dibatalkan/dinasakkan oleh ayat mawaris, wajib berwasiat kepada mereka, maka tidak lazim dari pada itu, dinasakkan pula harusnya. Oleh sebab itu sah berwasiat kepada waris dengan tidak harus disetujui oleh waris yang lain.[20]
[1] ‘Isawy Ahmad ‘Isawy, Ahkamu Al-mawaris fi As-Sari’ati Al Islamiyah, Dar At-Ta’lif, Mesir, 1954, hal.6
[2] Muhammad Abu Zahrah, Ahkamu At tarikat wa almiras Dar al-Fikri ‘Araby, Mesir,1963, hal. 5
[3] Muhammad Yusuf Musa, at-Tirkah wal Miras Fil Islam, daru Al-Ma’rifah, cet.II 1967, hal.73
[4] I b I d
[5] I b I d
[6] I b I d
[7] Abu Dawud, Sunan Abu Daud, jilid II, Mustafa al-Babi Al-Halabi, Mesir, 1952, Hal.111
8 Muhammad Yusuf Musa, Op-cit, Hal. 74-75.
[9] Abu Dawud, Op-cit, hal. 111
[10] Muhammad bin Isma’il Al-kalani, Subulu as Salam, jilid III, Mustafa Al-Babi Al- Halabi, Mesir, 1960 hal 84
[11] Sihabuddin Abi al-Abbas, Al-Furuq, Mustafa al-babi Al-Halabi, Cairo, 1346 H. hal.275-279.
[12] Ibid
[13] Ibnu Rusd, Bidayatu Al Mujtahid, jilid II, hal. 260.
[14] Abdu ar rahim Al-kaski, Al-Mirasu al-Muqarin,cet.III, Jamiah, Bagdad 1969, hal. 96-97
[15] Mutaal As-saidy, Al-miras Fi Assari’ati Al-Isalmiyyat wa Aassyara’i’i assamawiyat wa al-Wada’iyyat, Maktabat Al-Adab, Mesir, tt, hal. 8-9
[16] Abdu ar Rahim Al-kasky, Loc-cit.
[17] Muhammad Abu Zahrah, Op-cit, hal. 34-35
[18] Abu Dawud, Op-cit, hal. 103; Ibnu Majah, hal. 905
[19] Muhammad bin Isma’il Al-kahlany, Op-cit, hal. 106
[20] Ibid