News Breaking
Live
update

Breaking News

Kekecewaan Jenderal Sudirman pada Roem dan Pernyataannya yang Menggetarkan

Kekecewaan Jenderal Sudirman pada Roem dan Pernyataannya yang Menggetarkan



TanjakNews.com, Historia -- Baru saja dilangsungkan sebuah ‘perundingan’ antara Republik Indonesia dan Belanda yang berbuah kekecewaan dari TNI terhadap delegasi Indonesia yang diwakili Mohammad Roem.

Perundingan yang lebih tepat dikatakan sebagai ‘pernyataan bersama’ antara Indonesia dan Belanda ini memang menimbulkan kekecewaan yang teramat sangat. Roem Roijen Statement menimbulkan resistensi di kalangan Angkatan Perang Republik Indonesia (TNI).

Dalam salah satu keberatannya, Panglima Besar Jenderal Sudirman tidak bisa menerima kata-kata dari delegasi Indonesia dengan menyatakan TNI atau Angkatan Perang RI sebagai “pengeluaran perintah kepada pengikut-pengikut Indonesia yang bersenjata untuk menghentikan gerilya.”

Pernyataan ini memang senada dengan propaganda dan agitasi Belanda dalam berbagai forum dan media, yang selalu menyatakan bahwa TNI atau Angkatan Perang Republik itu tidak ada, kecuali hanya gerombolan massa bersenjata, perampok, pelaku kriminal, ektrimist dan sebutan buruk lainnya.

Padahal TNI telah berhasil membuktikan eksistensinya pada Serangan Spektakuler Serangan Umum 1 Maret 1949, 2 bulan sebelum berlangsungnya Pernyataan Roem Roijen.

Namun, sekalipun marah dan kecewa, Panglima Besar dengan kebesaran hatinya menyatakan keberatannya itu ditulis dalam nota protes pada tanggal 22 Juni 1949.

“Satu-satunya hak milik nasional Republik yang masih tetap utuh dan tidak berubah-ubah meskipun harus menghadapi segala macam soal dan perubahan hanyalah Angkatan Perang Republik Indonesia (Tentara Nasional Indonesia)…”

Demikian kutipan dari pidato Panglima Besar Jenderal Sudirman yang banyak dijadikan sebagai kata-kata mutiara, motto, maupun penyemangat prajurit TNI.

Kalimat ini merupakan kutipan dari surat Panglima Besar Sudirman tertanggal 1 Agustus 1949 kepada Presiden Sukarno yang ditulisnya ketika sakit. Ketika itu, tengah terjadi krisis politik-militer di pusat pemerintahan Republik di Yogyakarta.

Kutipan di atas berlanjut dengan kalimat “… maka sebenarnya menjadi kewajiban bagi kita sekalian yang senantiasa tetap mempertahankan tegaknya Proklamasi 17 Agustus 1945. Untuk tetap memelihara agar supaya hak milik nasional Republik itu tidak dapat diubah-ubah oleh keadaan yang bagaimana pun juga.”




Tags