Indra Gusnady: Perlukah Usaha Kuliner Banting Harga di Masa Pandemi?
"...manajemen KFC merumahkan 450 karyawan dan menutup 100 gerai karena kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jabodetabek.' (CNBC Indonesia, 28 April 2020)"
Sebuah kutipan berita online beberapa bulan yang lalu, menggelitik nalar kita, betapa franchise sebesar KFC saja mengalami kesulitan di tengah pandemi Covid-19 ini. Konon lagi, usaha lokal yang menjamur di sepanjang jalan-jalan besar dan gang-gang yang ada di Sumatera Barat.
Usaha kuliner (restoran, RM, kafe, kedai kopi, gerobakan) merupakan lapangan usaha yang cukup memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian dan penciptaan lapangan kerja di Sumatera Barat. Apalagi, karakter masyarakat Minang yang cenderung berdagang memperkuat berkembangnya usaha kuliner ini.
Disadari atau tidak, sejak diberlakukannya PSPB dan 'New Normal' di masa Pandemi Covid-19 (tidak jelas kapan berakhirnya). Telah membuat usaha kuliner ini semakin terpuruk dan sebagian pelaku usahanya gulung tikar.
Sebagai pelaku usaha cafe & resto, saya sangat paham sekali apa yang dirasakan pelaku usaha kuliner. Lebih kurang enam bulan kondisi ini berlangsung belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Enam bulan bisa bertahan berada pada kondisi sulit ini, membutuhkan kesabaran yang luar biasa untuk tetap bertahan. Belum lagi harus bersaing dengan usaha online sejenis yang mulai berjamur di media sosial.
Para pelaku usaha kuliner bukannya tidak paham, bahwa mereka harus mengubah pola marketing. Membuka order online dan delivery, akan tetapi pelaksanaannya tidak semudah yang dibayangkan. Ada beberapa "fix-cost" yang mesti ditanggulangi para pelaku usaha.
Sebagai ilustrasi sederhana saja, sebuah kedai makanan/minuman, paling tidak membutuhkan dua orang karyawan dengan gaji di bawah UMR Rp60 ribu/hari x 2 = Rp 120 ribu/hari. Biaya listrik, air, sewa kedai, tisu, penyusutan peralatan diperkirakan Rp.100 ribu/hari. belum lagi kerusakan/retur makanan/minuman, taruhlah Rp30 ribu. Total sebesar Rp250 ribu biaya tetap yang dikeluarkan setiap harinya. Jika pedagang mengambil untung 30 % dari nilai jual makanan/minuman, setidaknya omset penjualan sebesar Rp750 ribu/hari, baru bisa menutupi biaya tetap (belum ada untung).
Realitanya, dari survey acak sekilas yang dilakukan terhadap kedai makanan/minuman omset penjualan menurun drastis. Bisa dikatakan mereka harus menutupi biaya tetap setiap harinya. 'Entah sampai kapan kita bisa bertahan..' kata salah seorang pelaku usaha, padahal posisi usaha dia cukup di depan jalan utama.
Peran pemerintah daerah, ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi, menekan penularan virus Corona ini seminimal mungkin dengan instrumen berbagai protokol kesehatan. Di sisi lain tetap memastikan aktifitas ekonomi masyarakat berjalan. Supaya apa yang dikuatirkan, akan terjadi resesi ekonomi setelah ini, tidak terjadi.
Berkaca kepada krisis ekonomi tahun "98, justru sektor informal inilah yang membuat perekonomian Indonesia bisa bertahan dan bangkit. Pada kondisi sekarang terbalik, merekalah yang terpuruk. Perlu dibantu guna menyelamatkan perekonomian nasional.
Pemerintah sudah membuat berbagai skema program untuk membangkitkan UKM di masa Covid-19. Saya tidak akan mengomentari program dimaksud, lebih kepada mengemukakan tentang apa-apa yang dibutuhkan pengusaha kuliner, berdasarkan pengamatan dan diskusi dengan teman-teman yang bergerak di bidang usaha kuliner.
1. Membantu tempat usaha kuliner melengkapi alat protokol kesehatan seperti: tirai pembatas kasir, shotgun (pengukur suhu), masker plastik untuk karyawan, tempat cuci tangan.
2. Membebaskan bunga pinjaman setahun dan pengurangan angsuran pokok bulanan.
3. Membantu pinjaman ringan untuk modal kerja. Karena banyak pengusaha kuliner yang modal usahanya tergerus menutupi biaya tetap.
4. Mempermudah prosedur oleh lembaga keuangan
5. Menjamin dan menjaga situasi tetap kondusif, agar transaksi penjualan tetap bisa berlangsung setiap harinya.
Kepada teman-teman pengusaha kuliner restoran, kafe, minuman; Ssituasi memang sulit tapi tetap bertahan. Melakukan efisiensi dengan tetap menjaga kualitas dan higienis makanan/minuman. Menjalankan protokol kesehatan yang telah ditetapkan. memberikan rasa aman dan kenyamanan bagi konsumen.
Penjualan online bisa saja dilakukan, sebagai diversifikasi usaha, akan tapi tidak perlu banting-banting harga. Karena setiap restoran, cafe, kedai minuman mempunyai keunggulan sendiri-sendiri. Berbeda dengan pedagang online, yang dijual bukan hanya makanan/minuman tapi juga suasana, layanan dan keunikan.
Saatnya berkreasi
Indra Gusnady, pelaku usaha Kuliner.
catatan: tulisan kecil ini tidak bermaksud memojokan seseorang atau lembaga. Hanya saran/pendapat agar usaha informal terutama usaha kuliner bisa bertahan.