News Breaking
Live
update

Breaking News

Ketika Mobrig Menumpas Gerombolan Westerling

Ketika Mobrig Menumpas Gerombolan Westerling




TanjakNews.com, Historia -- Berbicara tentang APRA, mau tidak mau membicarakan juga tokoh bernama Kapten Raymond Westerling. Di antara perwira-perwira Belanda yang  pernah bertugas di Indonesia, agaknya Westerling-lah yang paling "haus darah. 

Pada bulan Desember 1946, ia dan pasukannya dikirim oleh pemerintahan Belanda ke wilayah Sulawesi Selatan untuk menghadapi para pejuang pribumi. Dalam jangka waktu tiga bulan, Westerling dan pasukannya telah melakukan tindakan  yang sangat keji, yaitu pembantaian terhadap ribuan rakyat pribumi yang tidak berdosa. 

Pimpinan tentara Belanda melihat bahwa tindakan yang telah dilakukan oleh Westerling tersebut menyalahi aturan dan kurang berkenan di mata mereka sehingga akhirnya pada bulan  Maret 1947 Westerling dipindahkan dari Sulawesi Selatan ke wilayah Batujajar, Bandung, Jawa  Barat. Namun, tindakan dan perilaku Westerling tidak berubah dan masih memperlakukan rakyat sama seperti waktu bertugas di Sulawesi Selatan sehingga akhirnya, ia mengundurkan diri dari dinas militer Belanda pada pertengahan tahun 1948. 

Pada perkembangan selanjutnya, sekitar tahun 1949 Westerling berhasil membangun kekuatan militer yang disebut dengan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Anggota pasukan APRA terdiri dari mantan tentara Belanda yang melakukan desersi dan anggota Koninklijke Nederlandsche Indische Lager (KNIL) yang merasa frustasi mengenai masa depannya setelah pemerintahan Indonesia dan Belanda mencapai  kesepakatan/persetujuan politik. 

Dalam usaha menyusun kekuatan APRA, Westerling juga menjalin kerja sama dengan beberapa pejabat Negara Pasundan. Mereka berusaha dan mempengaruhi agar sebisa mungkin mempertahankan eksistensi Negara Pasundan dan menjadikan KNIL sebagai angkatan perang negara tersebut. 

Pada 23 Januari 1950 APRA di bawah pimpinan langsung Westerling mulai melakukan aksinya. Mereka melancarkan serangan ke kota Bandung. Mereka bergerak dari wilayah Cililin dengan kekuatan mencapai 800 orang bersenjata lengkap. Bersamaan dengan itu, dua peleton lainnya bergerak ke arah Jakarta dengan menggunakan kendaraan truk. 

Aksi yang mereka lakukan sangat biadab dan kejam. Mereka melucuti anggota polisi di Pos Cimahi, Cibeureum, dan pabrik Mecaf. Di samping itu, mereka juga menembaki siapa saja yang mereka temukan di jalan raya, terutama anggota TNI dari Divisi Siliwangi. Dalam waktu satu hari saja APRA membunuh kira-kira 79 orang anggota TNI. 
Westerling berencana menyerbu Jakarta mengunakan jalur udara dari Lapangan Terbang Andir Bandung menuju Lapangan Terbang Cililitan Jakarta dan langsung menusuk ke kota Jakarta, namun rencana ini bocor.

Untuk menghadapi dan menumpas APRA serta untuk membantu TNI, Kepala Kepolisian Negara mengirimkan Kesatuan Mobile Brigade Polisi (Mobrig - sekarang Brimob) Jawa Timur dan Mobrig Yogyakarta dipimpin oleh Komisaris Polisi Soedarsono yang kebetulan pada saat itu berada di Jakarta. Juga turut serta Mobrig Jakarta Raya yang dipimpin Komisaris Polisi M. Ng. Soetjipto Joedodihardjo yang bertempat di Kwitang dan Kemayoran mengambil bagian dalam operasi APRA tersebut. 

Pimpinan AURI menyiapkan pesawat-pesawat Dakota sesuai permintaan Komandan Mobrig Pusat Kombes M. Jasin untuk mengangkut pasukan Mobrig guna menduduki bandara Andir dan kota Bandung. 

Perebutan lapangan terbang Andir sukses, rencana APRA gagal, sekitar pukul 16:00 WIB pasukan Mobrig mulai memasuki kota Bandung dan bertugas kurang lebih selama sebulan. 

Penerbangan yang dilakukan oleh Kesatuan Mobile Brigade Polisi (Mobrig) ke Bandung dalam upayanya menumpas Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) merupakan airlift pertama yang dilakukan di Indonesia dalam pelaksanaan operasi keamanan.

Pada hari itu juga, pasukan APRA dipaksa meninggalkan kota Bandung berkat kesigapan aparat kepolisian dan TNI. Mereka  melakukan razia secara intensif, sedangkan operasi pengejaran dilakukan terhadap pasukan APRA yang melarikan diri dan bergerak menuju Jakarta. Kesatuan TNI dan Kepolisian Negara berhasil menghancurkan dan menumpas pasukan APRA yang berada di wilayah Cianjur. 

Gerakan APRA di Bandung merupakan bagian dari skenario yang diduga disusun oleh Sultan Hamid II, seorang menteri tanpa portofolio dalam kabinet RIS. Direncanakan, APRA juga akan bergerak ke Jakarta, melancarkan serangan terhadap sidang kabinet. 

Konon Menteri pertahanan Hamengku Buwono IX dan Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan Ali Budiardjo serta Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel TB Simatupang termasuk sasaran yang akan dibunuh. Sebagai kamuflase, Sultan Hamid II akan ditembak kakinya. Rencana yang akan dilaksanakan pada 24 Januari 1950 itu tercium oleh aparat intelijen sehingga gagal. Sultan Hamid II ditangkap, sedangkan Westerling melarikan diri ke luar negeri menggunakan pesawat Angkatan Laut Belanda. 

Bersamaan dengan pecahnya pemberontakan APRA di Bandung, pada awal tahun 1950-an di Jakarta muncul gerombolan Mat Item yang meresahkan warga ibu kota. Setelah diselidiki ternyata ada hubungan antara APRA dan gerombolan bersenjata Mat Item. Oleh Westerling gerombolan Mat Item ditugasi untuk mengganggu keamanan di Jakarta agar kelak memudahkan APRA menyerbu ibu kota dan membunuh para pemimpin RI, terutama anggota Kabinet RIS.

Situasi yang tidak aman tersebut sangat meresahkan warga dan pemerintahan di Jakarta. Komandan Mobrig Pusat Komisaris Besar M Jasin mengambil langkah-langkah pengamanan. Pertama, melakukan konsolidasi kesatuan dan melakukan unjuk kekuatan(show of force) di Jakarta. Pameran kekuatan itu ditampilkan dengan kegiatan melakukan penggerebekan tempat-tempat yang menjadi basis gerombolan Mat Item. Langkah berikutnya adalah membangun "stelsel keamanan” yaitu dengan mendirikan pos-pos dan asrama Mobrig di daerah-daerah pinggiran kota Jakarta seperti di ciputat, cileduk, cengkareng, cilincing, cipinang, pulo Gadung, Kramatjati, dan Kedung Halang. Total sebanyak 25 Kompi Mobrig mengamankan Jakarta. Ini berarti kota Jakarta dari empat penjuru sudah dikelilingi pasukan Mobrig sehingga pihak pengacau keamanan makin terdesak dan kocar-kacir tidak terorganisasi lagi.

Setelah itu Kompi-kompi Mobrig banyak yang dikembalikan ke daerah asalnya tetapi banyak juga yang tetap tinggal di Jakarta dan pada tahun 1951 didirikanlah Kompi-kompi Mobrig yang ditempatkan di bekas markas/benteng semetara yang saat itu bertujuan untuk menghadapi Westerling. 

Sekarang kita masih dapat melihat markas-markas Brimob di Jabodetabek yang dahulu dijadikan basis pertahanan untuk melawan Westerling:
1. Kompi 5116 berkedudukan di Kwitang Jakarta Pusat.
2. Kompi 5122 berkedudukan di Petamburan Jakarta Barat
3. Kompi 5124 berkedudukan di Jatibaru Jakarta Pusat.
4. Kompi 5136 berkedudukan di Cipinang Jakarta Timur.
5. Kompi 5147 berkedudukan di Blok A Jakarta Selatan
6. Kompi 516 berkedudukan di Cipanas Bogor
7. Kompi 519 berkedudukan di Kedung Halang
8. Kompi 5120 berkedudukan di Kelapadua
9. Kompi 5130 berkedudukan di Kedung Halang Bogor
10. Kompi 5141 berkedudukan di Kalideres Jakarta Barat.
11. Kompi 5145 berkedudukan di Cilincing Jakarta Utara.
12. Kompi 5160 Berkedudukan di Pamulang/Ciputat,
13. Kompi 5164 berkedudukan di Ciledug
14. Kompi 5379 berkedudukan di Pulo Gadung Jakarta Timur
15. Kompi 5892 berkedudukan di Pasar Minggu Jakarta Selatan


Brimob

Korps Brigade Mobil Kepolisian Republik Indonesia atau sering disingkat Korps Brimob Polri adalah kesatuan operasi khusus yang bersifat paramiliter milik Polri. Korps Brimob juga dikenal sebagai salah satu unit tertua yang ada di dalam organisasi Polri. 

Korps Brimob Polri yang merupakan cikal bakal organisasi bentukan Jepang  mengalami beberapa kali perubahan nama mulai dari Tokubetsu Kaisatsu Tai, Polisi Istimewa, Mobrig (Mobil Brigade) dan Brimob (Brigade Mobil) kala itu perannya mulai kelihatan ketika pada tanggal 8 Maret 1942 Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Sebelumnya Belanda telah menjajah Indonesia kurang lebih tiga setengah abad lamanya. Serah terima kekuasaan dari Belanda ke Jepang dilakukan oleh Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh dan Letnan Jenderal Pooten yang merupakan Panglima tertinggi angkatan perang Belanda di Indonesia. Sedangkan Jepang diwakili oleh Panglima Tentara keenam belas, Letnan Jenderal Imamura.

Proses kelahiran Brimob berlangsung pada periode 1943-1944, masa-masa pembentukan organisasi dan barisan militer yang digerakkan oleh pemerintah militer Jepang, sebagai bagian dari strategi perang Asia Timur Raya. Pemerintah militer Jepang membentuk tenaga cadangan yang dapat digerakkan dengan cepat dan memiliki mobilitas tinggi. Inilah yang kemudian melahirkan Tokubetsu Keisatsu Tai pada April 1944.  



Tokubetsu Keisatsu Tai beranggotakan para polisi muda dan pemuda polisi serta didirikan di setiap Karesidenan di seluruh Jawa, Madura dan Sumatera. Tokubetsu Keisatsu Tai memiliki persenjataan yang lebih lengkap dari pada polisi biasa. Para calon anggotanya pun diasramakan dan memperoleh pendidikan serta latihan kemiliteran dari tentara Jepang. Maka dari itu, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa anggota Tokubetsu Keisatsu Tai adalah pasukan polisi yang terlatih, berdisiplin tinggi dan terorganisasi dengan rapi.

21 Agustus 1945, Inspektur Polisi Tk. I. Mohammad Jasin, saat berlangsung apel pagi yang diikuti oleh semua anggota Polisi Istimewa dan pegawai lainnya di Markas Kesatuan Polisi Istimewa, membacakan teks Proklamasi dari pasukan Polisi Istimewa yang berbunyi,“Oentoek bersatoe dengan rakjat dalam perjoeangan mempertahankan Proklamasi 17 Agoestoes 1945, dengan ini menjatakan Poelisi sebagai Poelisi Repoeblik Indonesia“.Polisi Istimewa adalah cikal bakal berdirinya Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang pada saat pemerintahan Jepang di sebut dengan Tokubetsu Keisatsu Tai. Setelah menyatakan Proklamasi Kepolisian, lalu Polisi Istimewa memperbanyak dan menyebarluaskan teks Proklamasi tersebut dengan cara ditempelkan di tempat-tempat yang ramai, dapat dibaca dan dapat dikunjungi orang. Selain menempelkan teks Proklamasi Kepolisian, Polisi Istimewa juga menempelkan teks Proklamasi Kemerdekan Republik Indonesia. Tindakan selanjutnya adalah mengganti pimpinan Polisi Istimewa dari Jepang yaitu Sidookan Takata dan Fuko Sidookan Nishimoto. Kepemimpinan di Markas Polisi Istimewa kemudian berada di bawah kendali Inspektur Polisi Tingkat I Mohammad Jasin.

Setelah setahun lebih Polisi Istimewa berkiprah di garda depan dalam aneka perebutan fasilitas militer dan tempat-tempat strategis di pulau Jawa dan Sumatera, pada tanggal 14 November 1946 seluruh kesatuan Polisi Istimewa, Barisan Polisi Istimewa dan Pasukan Polisi Istimewa dilebur menjadi Mobile Brigade (Mobrig).

Berdasarkan surat order Y. M. Menteri Kepala Kepolisian Negara No. Pol. 23 /61/ tanggal 12 Agustus 1961 ditetapkan bahwa tanggal 14 November 1961 merupakan hari Mobile Brigade ke-16.  Pada 14 November 1961 tersebut, Presiden Soekarno selaku Irup upacara menganugerahkan Pataka “Nugraha Cakanti Yana Utama“ sebagai penghargaan pemerintah atas pengabdian dan kesetiaan Mobile Brigade. Saat itu pula Presiden RI secara resmi mengubah nama satuan ini dari Mobile Brigade menjadi Brigade Mobile (Brimob). 

Beberapa tugas utamanya adalah penanganan terrorisme domestik, penanganan kerusuhan, penegakan hukum berisiko tinggi, pencarian dan penyelamatan (SAR), penyelamatan sandera, dan penjinakan bom (EOD). Korps Brigade Mobil juga bersifat sebagai komponen besar didalam Polri yang dilatih untuk melaksanakan tugas-tugas anti-separatis dan anti-pemberontakan, sering kali bersamaan dengan operasi militer. Korps Brimob tergolong sebagai "Unit Taktis Polisi" (Police Tactical Unit - PTU) dan secara operasional bersifat kesatuan Senjata dan Taktik Khusus (SWAT) polisi (termasuk Densus 88 dan Gegana Brimob).

Korps Brimob terdiri dari dua cabang yaitu Gegana dan Pelopor. Gegana bertugas untuk melaksanakan tugas-tugas operasi kepolisian khusus yang lebih spesifik seperti: Penjinakan Bomb (Bomb Disposal), Penanganan KBR (Kimia, Biologi, dan Radioaktif), Anti-Terror (Counter Terrorism), dan Inteligensi. Sementara, Pelopor bertugas untuk melaksanakan tugas-tugas operasi kepolisian khusus yang lebih luas dan bersifat Paramiliter seperti: Penanganan Kerusuhan/Huru-Hara (Riot control), Pencarian dan Penyelamatan (SAR), Pengamanan instalasi vital, dan operasi Gerilya serta pertempuran hutan terbatas.

Pada umumnya, kedua cabang ini sama-sama mempunyai kemampuan taktikal sebagai unit kepolisian khusus, diantaranya; kemampuan dalam tugas-tugas pembebasan sandera di area-area perkotaan (urban setting), Penggerebekan kepada kriminal bersenjata seperti terroris atau seperatis, dan operasi-operasi lainya yang mendukung kinerja kesatuan-kesatuan kepolisian umum. Setiap Polda di Indonesia mempunyai kesatuan Brimob masing-masing. (Oce Satria)


Sumber:
 

Tags