Otentisitas Trump dan Biden dalam Layar Raksasa Amerika
Oleh: Indra J Piliang
Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara
KOLONI Amerika Serikat didatangi oleh warga negara Eropa yang sudah “bosan” dengan monarki, kekerasan, dan “bisa jadi” agama. Mereka tidak ingin lagi dikungkung oleh darah biru, anak langit, bahkan “hukum” Tuhan. Mereka menaklukkan siluman di lautan luas di belahan selatan. Tujuh samudera masih dihuni beragam mahkluk yang dihadapi Kapten Jack Sparrow dalam Pirates of the Carribean. Pelaut-pelaut dari Spanyol, Portugis, Perancis dan Inggris bersimaharajalela. Tentu juga termasuk dari negara kecil, Belanda.
Dalam era Donald Trump yang tidak lama, dunia dibawa dalam tontonan layar raksasa. Sebagian langit tertutup oleh kehadiran sosok ini. Sosok yang begitu pandai membingkai narasi pro dan kontra, tanpa terseret ke dalam wajah benci atau cinta. Bukan sosok yang bengis, atau kejam seperti George Bush Jr. Perjalanan sebagai selebritas kayaraya dalam kehidupannya, terhapus sudah dengan panggung yang ia bikin. Penguasaan atas majalah dan film orang dewasa dengan ribuan perempuan muda, sungguh bukan lagi ukuran moral yang diingat orang. Jutaan dollar uang menutupi cerita-cerita skandal masa lalunya tak mudah lagi dijual sebagai pukulan politik.
Bahkan, impeachmentpun ia berhasil lewati. Ia berubah total menjadi pengkhotbah dalam kelompok Ku Kluk Klan. Wajah tak terlihat, tertutup jubah. Ia berhasil melindungi diri dalam fisik yang tak sempurna. Jangan coba-coba menyerang fisik seseorang di Amerika Serikat. Anda bisa berhadapan dengan begitu banyak musuh. Sebab Amerika Serikat sudah punya sejumlah presiden yang bahkan duduk di atas kursi roda.
Sejarah Amerika Serikat bisa dibaca dalam buku Alexis de Tocqueville. Namun, buku itu seolah tak hadir dalam era Trump. Trump seakan membawa perang Utara – Selatan terjadi lagi. Dan ia hampir berhasil dalam mengkerdilkan keraksaan sejarah Amerika. Utara sebagai industrialis. Selatan sebagai agraris. Utara membebaskan perbudakan. Selatan yang berisi kaum aristokrat feodal yang membuat hitam berarti warga negara kelas dua. Utara yang globalisasi. Selatan yang lokalisasi. Utara yang penuh kanal. Selatan yang dijuluri rel kereta api.
Apapun, Trump telah menaikkan lagi keunggulan ras kulit putih Amerika Serikat pada posisi yang paling terhormat. Trump mampu membuat begitu banyak selebritas kulit hitam memaki-makinya sampai hari pemilihan. Begitu telanjang sosok-sosok kulit hitam yang mempesona dunia mempertontonkan “kekejian” dari kata-kata. Tanpa harus menembak seorang Martin Luther King atau Malcolm X abad ini, Trump sudah berhasil mengeluarkan sisi yang paling busuk dan buruk dari peradalam kaum kulit hitam: beraksara berarti berdekatan dengan bahasa hewan. Keahlian Trump dalam memancing kata-kata jorok itu hampir saja membakar seluruh Amerika Serikat.
Lima bulan lalu, nasib Amerika ditentukan oleh seorang George Floyd. Dan untuk pertama kalinya saya berdoa agar Amerika tidak hancur. Jika skenario ala Floyd tetap bergerak dan berhimpit dengan kampanye presiden, apalah jadinya negara paling kuat dari sisi militer dan ekonomi itu. Tentu saya tidak bisa bayangkan.
In God We Trust. Begitu tertulis dalam dollar Amerika Serikat.
Amerika punya si gaek Joe Biden. Seorang kulit putih yang lama menjadi politisi berkarakter. Seorang yang menyediakan punggungnya untuk dipanjati Barrack Obama memimpin Amerika dan dunia. Laki-laki teguh. Seorang Khatolik yang hidup di tengah mayoritas Protestan. Seseorang yang menyimpan trauma kehadiran politisi minoritas beragama Khatolik yang lantas dibunuh, John F Kennedy. Hitam yang flamboyan, Obama, dipapah dengan sangat elegan oleh sang putih.
Seorang Khatolik tentu punya kiblat, yakni ke Vatikan. Negara kecil yang berada di tengah-tengah kota Roma. Ketika Hollywood kehabisan kisah yang berakhir dengan cerita komik the Avengers, pernah dulu kisah ala Dan Brown pun menyelinap. Tentang karya-karya Leonardo da Vinci. Katolikisme lebih mendekatkan Amerika dengan Eropa, sebagai asal-muasal para kolonis yang sudah merampas tanah-tanah orang-orang berkulit merah, kaum Indian itu. Katolikisme mampu membunuh Keamerikaan dengan Keropaan.
Protestanisme? Silakan tanya kepada Max Weber. Bagaimana Weber membongkar etika protestan dalam ekonomi dan hubungan sosial. Lihat “kebencian” Harrison Ford dalam serial film Indiana Jones kepada Jerman. Naziisme – Hitlerisme adalah Jermanisme. Dan bagaimama sejumlah sosiolog membongkar apa yang berada dibalik kapitalisme yang berarti protestanisme ala Max Weber. Peter L Berger, misalnya. Karya-karya Berger sudah dinikmati oleh intelektual era 1980-an hingga 1990an. Belum lagi Frankfurt Schools yang terkenal dengan mazhab kritisnya.
Kemana kiblat protestanisme yang dibawa ala Trump? Israelisme. Yahudi.
“Trump membawa Amerika bagi kepentingan Netanyahu. Biden? Membawa Amerika kepada kepentingan Israel!” begitu tertulis besar dalam liputan koran berpengaruh di Amerika.
Bahwa pada gilirannya Biden akan berbicara tentang Israel, pasti. Tetapi ia tak menuruti ambisi seseorang yang sudah banyak merusak hubungan Israel dengan bangsa-bangsa Arab, khususnya, dan kaum Muslim, umumnya. Biden sudah berbiaca jelas tentang hubungan Amerika dengan negara-negara Arab, pun kaum muslim. Rakyat Amerika pun sudah bersuara. Untuk pertama kalinya, lebih dari separo dari kaum muslim yang mendaftar sebagai calon eksekutif dan legislatif di pelbagai tingkatan di dalam pemilihan raya minggu lalu BERHASIL duduk. Kaum muslim makin mendapat tempat dalam lembaga trias politika Amerika.
Joe Biden mampu hadir dalam usia tua. Jumlah pemilih Biden terbesar sepanjang sejarah, yakni 75 Juta Jiwa. Nanti, ketika dilantik tanggal 20 Januari 2021, Biden berusia 78 tahun. Andai Biden dipilih 78 Juta rakyat Amerika, alangkah bekerjanya matematika dalam ilmu politik, plus segala macam ilmu ramalan bintang.
Usia siapa yang dikalahkan Biden, ketika dilantik menjadi presiden setiap tanggal 20 Januari itu? Tentu Trump: 70, Reagan: 69, George H. W. Bush: 64. Eisenhower: 62, Ford: 61, Truman: 60, Washington: 57, George W. Bush: 54, Lincoln: 52, Franklin Roosevelt: 51, Obama: 47, Clinton: 46, Kennedy: 43, dan Theodore Roosevelt: 42.
Aha? Dari 46 orang presiden Amerika Serikat, berarti hanya 15 orang yang berusia di atas 40 tahun? Itupun terbanyak dalam abad ke 20 lalu? Eitsss, jangan lupa. Berapa banyak juga yang mampu meletakkan legacy selama menjadi presiden? Apakah tuan-tuan dan puan-puan menghafal yang lain?
Saya ingat, dalam kuliah-kuliah awal di Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra UI, semangat terbesar kami justru bukan kepada sejarah Indonesia. Kami berkelana. Pusat Kajian Amerika, Pusat Kajian Australia, Pusat Kajian Jepang, hingga Pusat Kajian Kewanitaan, begitu memenuhi rasa ingin tahu kami. Dan cara dosen memberikan kmi insentif adalah mendapatkan sejumlah buku berbahasa Indonesia, apabila kami berhasil mendapatkan nilai A.
Bondan Kanumuyoso – tentu kini adalah PhD lulusan Leiden University – adalah salah satu sang juara. Saya? Lumayan. Karena koleksi buku sejarah Amerika Serikat dan Australia saya dalam bahasa Indonesia menumpuk. Saya tidak tahu, apakah itu buku benar-benar saya dapat lewat kuliah, atau mencuri punya teman saya.
Tentu satu riwayat ingin saya baca dalam satu buku kecil terbitan Kedubes Amerika, ketimbang membelanjakan begitu banyak uang dengan USAID dan Fullbright itu. Percayalah, rakyat Indonesia dan pelajar-pelajar Indonesia tidak bakal tampah pintar tentang Amerika, ketika penerima beasiswa itu balik ke Indonesia. Tak ada buku yang mereka tulis, bukan? Mereka hanya lebih bisa bercakap dalam bahasa Inggris saja, tetapi tak bercerita dalam bahasa Indonesia tentang apa itu Amerika yang mereka pelajari. Cukuplah pelajar Indonesia dibiayai dengan IndonesiaID.
Jauh lebih baik bagi Kedubes Amerika Serikat menulis kisah ini: Joe Biden, JFK, Barrack Obama, dan Hillary Clinton. Mereka minoritas yang berpolitik di Amerika Serikat. Satu berhasil dua periode, satu ditembak, satu mau dilantik, satu lagi diretas oleh mesin-mesin dari Sovyet.
Dan kalau perlu, satu tambahan cerita, dimana Moscow dalam era keempatnya? Katupkan kedua-tangan anda, berterima kasihlah kepada Leonardo di Caprio. Tanggal 11 November kemaren, ia berusia 46 tahun. Jejangan, Leonardo yang mampu “menjinakkan” Vladimir Putin dalam wawancara yang lebih kejam dan menikam dibanding Deddy Corbuzzer itu.
“Yang Mulia, Kamerad! Jika beruang kutub itu punah sampai ia harus punah. Sampai kami tak tahu ia tua dan mati dimana. Tolonglah! Jangan lagi sinyal-sinyal nirkabel dari penjara-penjara nirkabel nirfosil dan nirtitanium di Siberia menghantam mesin-mesin pemilu di Amerika. Kamerad nanti bisa melihat, beruang kutub setua apapun bisa hadir di Gedung Putih, tanpa kamipun tak lagi mempersoalkan itu!”
Saya tidak tahu, apakah Leonardo menggunakan kalimat yang lebih perkasa. Yang saya tahu, tak ada lagi teriakan “Go to your country, Moscow!” dalam aksi demonstrasi terhadap Trump, seperti bergelombang dia hadapi dalam satu-dua tahun pertama memerintah. Biden hadir dengan otentitasnya. Trump selesai pun dengan otentisitasnya.
Dengan uang sebanyak yang ia punya, tentu gadis-gadis yang tak habis, kapal pesiar, empat tahun lagi jangan-jangan ada episode Biden vs Trump Jilid Dua. Usia Trump dan Biden hanya berjarakl empat tahun.
Bisa dibayangkan bagaimana langit ditutupi lagi oleh mereka berdua. Apalagi dengan satu catatan tunggal: COVID 19 sudah punah dan berganti menjadi kisah dalam industri film Hollywood…
Jakarta, 13 November 2020