Kuasa Hukum FPI: Urusan Bubar Gampang, Yang Penting Usut dan bawa ke Pengadilan HAM Dugaan Pembantaian 6 Syuhada
![]() |
6 Syuhada FPI yang ditembak mati (foto: Istimewa) |
TanjakNeews.com, Jakarta -- Kuasa Hukum Front Pembela Islam (FPI), Aziz Yanuar merespon soal pelarangan aktivitas yang ditandatangani oleh enam pejabat pemerintah pusat. Dari stasus Whatsapp story-nya, Aziz tak ambil soal pembubaran atau pelarangan itu.
"Urusan bubar gampang, yang penting dan utama wajib usut tuntas dan bawa ke pengadilan HAM, para pelaku dugaan pembantaian 6 syuhada," tulis Aziz lewat Whatsapp statusnya, Rabu (30/12/2020).
Sebelumnya, Rabu (30/12/2020) pemerintah menetapkan Front Pembela Islam (FPI) sebagai organisasi terlarang. Keputusan itu diambil karena FPI tidak mengantongi Surat Keterangan Terdaftar (SKT).
Keputusan yang dibacakan Menkopolhukam, Mahfud MD itu menyatakan, pemerintah resmi membubarkan dan menghentikan segala aktivitas Front Pembela Islam (FPI) sebagai organisasi masyarakat (ormas) maupun organisasi pada umumnya. Keputusan pembubaran FPI ini disetujui oleh enam pejabat tinggi di kementerian maupun lembaga negara.
"Pelanggaran kegiatan FPI ini dituangkan di dalam keputusan bersama enam pejabat tertinggi di kementerian dan lembaga," ujar Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.
Enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) tewas ditembak polisi di tol Jakarta–Cikampek, tepatnya di Km 50, pada Senin (7/12) sekitar pukul 00.30 WIB. Ada dua versi tentang insiden tersebut. Versi Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran, enam orang tersebut didor karena menyerang anggotanya.
’’Karena membahayakan keselamatan petugas, akhirnya dilakukan tindakan tegas dan terukur yang mengakibatkan enam penyerang tewas,’’ kata Fadil dalam konferensi pers di Polda Metro Jaya kemarin (7/12). Dia menuturkan, penyerangan itu sebenarnya dilakukan sepuluh orang. Namun, setelah enam orang tewas tertembak, empat orang sisanya melarikan diri. Kini polisi mengejar empat orang tersebut.
Fadil menjelaskan, kejadian tersebut berawal saat polisi mendapat informasi mengenai pergerakan massa yang akan menuju ke Polda Metro Jaya. Kedatangan massa itu berkaitan dengan rencana polisi memeriksa Rizieq Syihab kemarin. ’’Beredar di medsos ada kelompok pengikut MRS (Muhammad Rizieq Syihab) dalam jumlah besar yang akan mengawal saat pemeriksaan sehingga dilakukan penyelidikan terhadap kelompok tersebut,’’ kata Fadil. Petugas lantas memantau pergerakan kelompok tersebut. Pemantauan berlanjut hingga ke tol Jakarta–Cikampek. Saat itu anggota polisi yang berjumlah enam orang melihat kendaraan pengawal Rizieq.
Menurut Fadil, kendaraan anggotanya mendadak dipepet dan diberhentikan dua kendaraan pengawal Rizieq. ’’Kemudian, mereka melakukan penyerangan dengan menodongkan senjata api dan senjata tajam berupa samurai dan celurit,’’ jelasnya.
Keenam pengawal Rizieq akhirnya dimakamkan. Lima orang dimakamkan di Megamendung, Bogor, dan satu orang dimakamkan di Jakarta.
Versi CPI
Sementara itu, pernyataan FPI bertolak belakang dengan informasi yang diungkap Polri. Wakil Sekretaris Umum FPI Aziz Yanuar menuturkan, yang terjadi di tol Jakarta–Cikampek justru penghadangan dan penembakan terhadap rombongan Rizieq. Dia menyebutkan, rombongan itu disergap orang tidak dikenal (OTK) dalam perjalanan menuju lokasi pengajian. ’’Bersama keluarga dan cucu balita (Rizieq akan pergi) ke acara pengajian keluarga,’’ ujarnya.
Dalam perjalanan itu, kata Azis, diketahui ada penguntitan yang dianggap berpotensi mencelakai Rizieq. Pelaku penguntitan lalu menghadang dan menembak. ’’Awalnya kami mengira enam pengawal itu diculik, namun belakangan ternyata mereka terbunuh,’’ tutur pria yang turut masuk Tim Penasihat Hukum FPI itu. Dia menegaskan, enam anggota laskar FPI yang mengawal Rizieq tidak memiliki senjata api seperti yang disampaikan Kapolda. ’’Kami telah memastikan hal itu,’’ tegas dia.
FPI juga mengungkap nama enam anggota laskar yang meninggal dalam insiden tersebut. Yakni, Ambon, Andi, Fais, Kadhavi, Lutfil, dan Reza. Oleh aparat kepolisian, jenazah mereka langsung dibawa ke Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Jakarta Timur.
Sementara itu, pernyataan FPI bertolak belakang dengan informasi yang diungkap Polri. Wakil Sekretaris Umum FPI Aziz Yanuar menuturkan, yang terjadi di tol Jakarta–Cikampek justru penghadangan dan penembakan terhadap rombongan Rizieq. Dia menyebutkan, rombongan itu disergap orang tidak dikenal (OTK) dalam perjalanan menuju lokasi pengajian. ’’Bersama keluarga dan cucu balita (Rizieq akan pergi) ke acara pengajian keluarga,’’ ujarnya.
Baca juga: Setelah 6 Laskar FPI Ditembak, Azis Sembuyikan Posisi Habib Rizieq
Dalam perjalanan itu, kata Azis, diketahui ada penguntitan yang dianggap berpotensi mencelakai Rizieq. Pelaku penguntitan lalu menghadang dan menembak. ’’Awalnya kami mengira enam pengawal itu diculik, namun belakangan ternyata mereka terbunuh,’’ tutur pria yang turut masuk Tim Penasihat Hukum FPI itu. Dia menegaskan, enam anggota laskar FPI yang mengawal Rizieq tidak memiliki senjata api seperti yang disampaikan Kapolda. ’’Kami telah memastikan hal itu,’’ tegas dia.
FPI juga mengungkap nama enam anggota laskar yang meninggal dalam insiden tersebut. Yakni, Ambon, Andi, Fais, Kadhavi, Lutfil, dan Reza. Oleh aparat kepolisian, jenazah mereka langsung dibawa ke Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Jakarta Timur.
KontraS Ungkap Tiga Keganjilan
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengungkap sejumlah keganjilan dalam kasus tembak mati 6 Laskar Front Pembela Islam (FPI) di Tol Jakarta-Cikampek (Japek) KM 50.
Wakil Koordinator KontraS, Rivanlee Anandar mengatakan keganjilan ini terbagi dalam tiga hal. Pertama, dalam praperistiwa ditemukan keganjilan di mana aparat mengintai Habib Rizieq Shihab. Lalu dalam perjalanannya, enam orang pengawal pentolan FPI tutup usia karena ditembak aparat.
"Kalau misalkan Polda mengincar Rizieq dipantau pergerakannya, dia tidak mungkin mematikan enam orang tersebut karena tujuannya penggalian informasi. Itu ada dalam manajemen penyelidikan polisi," ucap Rivanlee saat dihubungi Okezone, Selasa (15/12/2020).
Ia mengatakan, pengintaian polisi yang berakhir dengan peristiwa tembak mati enam orang justru tidak sesuai tujuan awal penyelidikan. Pasalnya, pengintaian atau surveillance biasanya dilakukan untuk menggali informasi.
"Nah praperistiwa ini menunjukkan bahwa adanya kejanggalan. Jangan-jangan ada tujuan untuk mematikan mereka. Kalau 6 orang memiliki info penting, polisi harusnya melumpuhkan, bukan mematikan, karena kembali ke tujuan, menggali informasi penting. Tapi fakta berkata lain, dimatikanlah, jadi informasi apa yang akan dicari? Itu tidak sesuai tujuan awalnya," jelasnya.
Kedua, keganjilan pada saat peristiwa adalah banyaknya informasi sumir atas hal itu. Keterangan pihak Kepolisian dengan FPI berbeda. Polisi menyebut adanya penyerangan dari korban. Sedangkan FPI mengatakan sebaliknya.
Lalu, Rivanlee menilai informasi yang disampaikan Bareskrim Polri pasca-rekonstruksi juga nampak mengada-ngada. Semisal, 4 anggota FPI yang disebut-disebut bersenjata itu dibawa ke dalam mobil polisi tanpa diborgol. Lalu dari situ terjadi perlawanan sehingga terpaksa dibedil.
"Info hasil rekonstruksi yang disampaikan Bareskrim itu juga kelihatannya mengada-ngada, penuh dengan pertanyaan, setiap mengeluarkan pernyataan ada pertanyaan lanjutannya," imbuhnya.
"Empat orang yang diduga memiliki sajam atau senpi kok ditangkap biasa aja dan dimasukkan ke mobil tanpa pertimbangan di luar mobil, itu kan alasan mereka mematikan. Apakah polisi tidak mengukur bagaimana kondisi di luar atau sebelumnya? Kalau punya sajam, senpi pasti ada langkah yang diambil untuk menjaga yang di dalam mobil. Ini terkesan seperti tak siap. Padahal pengintaian harus ada persiapan sebelumnya," tambahnya.
Terakhir, keganjilan pasca peristiwa, Rivanlee melihat banyak sekali keterlibatan polisi dalam pembentukan tim investigasi. Seharusnya, kata dia, tim untuk menyelidiki kasus tersebut harus didominasi oleh pihak nonpolisi. Tujuannya untuk menjaga independensi serta memastikan kasus ini dituntaskan sehingga tidak terjadi keberulangan.
"Tim indendepan harus lebih banyak diisi oleh non polisi. Tugas polisi ya menjamin setiap aksesnya. Menjamin akses info, dukungan bukti , dan sebagainya, untuk sampaikan seada-adanya. Kalau polisi gak menjamin itu, harus ada jaminan dari yang lebih tinggi, Presiden. Dia harus bisa beri jaminan itu kepada tim independen ini," tutup Rivanlee. (Okezone/Jawapos)