TEMPO dan The Death of Expertise
Oleh: Junaidi Gaffar, Pengamat Sosial
BANYAK orang yang gerah dengan pemberitaan Tempo belakangan ini. Kegerahan itu tidak aneh karena Tempo dengan kemampuan investigasi jurnalistiknya telah membuka ruang-ruang gelap tempat bersembunyi berbagai fakta, baik karena sengaja disembunyikan atau karena memang belum ada yang mampu menemukan kebenaran meski berbilang waktu berlalu. Tempo seolah selalu selangkah di depan dan sejauh ini belum ada media yang mampu menyaingi atau bahkan mendekati kemampuan jurnalistik yang mereka miliki.
Bahkan ketika harus mengambil sikap antara mendukung yang ini atau yang itu, Tempo tetap dapat memposisikan diri sebagai media yang tidak vulgar atau sarkastik dalam menunjukkan keberpihakan. Mereka memilih mengurai fakta konkrit yang menunjukkan keunggulan ketimbang sibuk mencari-cari kesalahan. Ini tentu berbeda dengan banyak media yang terjebak menjadi partisan, bahkan lebih buruk lagi menjadi penghasil informasi sampah yang menjadi santapan penikmat informasi halu, citra dan segala bentuk rekayasa yang menjustifikasi kebenaran yang dibuat junjungan dan menafikan segala bentuk informasi lain, bahkan jika itu merujuk dari kitab suci sekalipun. Astaga.
Tempo telah menunjukkan dirinya kokoh sebagai pilar keempat demokrasi, yaitu pers yang independen dan berani menyampaikan kritik tanpa harus memedulikan siapa yang dikritik. Kadang pemberitaan mereka menyerang kelakuan para penentang pemerintah. Kadang tanpa tedeng aling-aling menelanjangi kebobrokan penguasa. Permasalahannya adalah di Indonesia sudah terjadi cukup lama apa yang dikatakan oleh Tom Nichols sebagai the death of expertise. Orang hanya mau mendengar apa yang mau mereka dengar. Bukan hal yang benar. Oleh karena itu, tanpa peduli latar belakang pendidikan atau pun profesi kita melihat kekonyolan-kekonyolan dalam berpendapat atau berargumen untuk menyanggah fakta dipertontonkan secara telanjang. Memalukan.
Tidak mengherankan banyak yang berubah jadi bunglon. Memuji setengah mati ketika pemberitaan Tempo menguntungkan kelompok atau meninggikan junjungan mereka dan berbalik jadi pembenci dengan memberi label-label buruk ketika apa yang mereka baca dan lihat di Tempo tidak sejalan dengan apa yang mereka yakini atau mereka bela. Itulah realitas yang menonjol sejak republik ini terbelah oleh cap-cap bernada rasis dan sarat kebencian akibat perbedaan pilihan politik.
Kita memang belum bisa jadi bangsa yang dewasa. Permainan politik telah mengkooptasi sebagian waktu berharga kita sehingga kita lalai untuk sama-sama jauh melihat ke depan. Tiap hari ada yang menciptakan masalah agar kita lalai untuk menyadari periuk nasi kita sedang dicuri, sisakan remah-remah untuk menutupi rasa lapar yang terabaikan oleh amarah dan kebencian yang diorkestrasi sedemikian rupa. Atas nama amarah dan kebencian itu pula sebagian kita memilih diam ketika ada orang sipil yang mati di tangan aparat. Ada yang bahkan mensyukurinya. Ia tidak sadar bahwa hal yang sama bisa juga kelak menghampiri diri dan kelompoknya. Dan pada saat itu terjadi, entah pada siapa mereka akan berharap simpati. Itu hanya soal waktu.
Mereka yang marah pada Tempo hari ini sejatinya adalah yang bergembira pada hari yang lain di masa lalu. Hari ketika Tempo mengabarkan sesuatu yang menaikkan pamor yang mereka dukung dan menguliti pihak yang mereka tolak atau benci dengan fakta terbantahkan. Apa daya baru segitu kualitas kita. Dan kualitas itu agaknya akan bertahan lama karena semua suara untuk menyuarakan perbaikan hilang ditelan gemuruh sorak sorai para pendengung yang diorkestrasi sedemikian rupa untuk membuat kita terus larut dalam suasana yang mengenaskan ini. Tabik.
Junaidi Gaffar, intelektual asal Padang Panjang ini adalah seorang dosen, penggiat media sosial, Executive Director di Institute for Indonesia Future Exellence