Rahasia Prasangka Baik dan Tipu Daya
﷽
Prasangka Baik dan Tipu Daya
Prasangka baik, bilamana disertai dorongan untuk melakukan amal, dapat menolongnya dan tentu kembali kepadanya. Inilah prasangka baik yang tepat.
Akan tetapi, jika mengajak kepada kebatilan dan asyik dalam kemaksiatan, yang demikian ini adalah tipu daya.
Jadi, jelaslah perbedaan antara prasangka baik dan tipu daya.
Prasangka baik ialah harapan. Bila harapan seseorang itu menariknya untuk taat serta menghalanginya dari maksiat maka itulah harapan yang benar.
Namun, jika kebatilan yang menjadi harapan atau harapan itu berupa kebatilan dan penyelewengan, itu pasti adalah tipu daya.
Andaikan seseorang memiliki sebidang tanah dengan harapan bahwa itu bisa bermanfaat baginya, tapi ia malah menelantar¬kannya, tidak menaburkan benih dan tidak mengolahnya sebab berprasangka baik bahwa ia akan menuai hasilnya tanpa harus diolah, ditaburi benih, disirami air, dan dipelihara, orang-orang akan menganggapnya sebagai orang yang paling tolol.
Begitu juga bila seseorang berprasangka baik dan kuat harapannya bahwa ia akan mendapatkan uang tanpa bekerja atau ia akan menjadi orang terpandai di zamannya tanpa harus belajar secara intensif dan lain sebagainya.
Demikian pula orang yang berprasangka baik dan kuat harapannya bahwa ia akan sukses dengan mendapat derajat yang luhur serta kenikmatan yang abadi tanpa ketaatan dan mendekatkan diri kepada Allah ï·», yaitu dengan mengerjakan segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.
Allah ï·» berfirman,
“Sesungguhnya, orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah, dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharap¬kan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(Q.S. Al-Baqarah [2]: 218)
Renungkanlah bagaimana Allah ï·» menjadikan harapan mereka diiringi dengan berbagai amal ketaatan!
“Sesungguhnya, orang- orang yang menyeleweng, menelantarkan kewajiban-kewajibannya kepada Allah ï·», mengabaikan segala perintah-Nya, berbuat aniaya kepada para hamba-Nya, dan terjerumus ke dalam hal- hal yang diharamkan-Nya, mereka adalah orang-orang yang berharap pada kasih sayang Allah ï·».”
Pada intinya ialah bahwa harapan dan prasangka baik hanya dapat dibenarkan jika diiringi dengan-melakukan segala yang dituntut oleh kebijaksanaan Allah ï·» dalam syariat, ketetapan, pahala, serta kemurahan-Nya.
Maka, seharusnya bagi ,seorang hamba untuk melaksanakan itu semua, baru kemudian berprasangka baik kepada Tuhannya dengan berharap kepada-Nya agar tidak patah semangat untuk mengamalkannya.
Supaya itu semua dapat mengantarkan kepada segala sesuatu yang bermanfaat dan agar ia dihindarkan dari hal-hal yang bertentangan dengan semua itu dan sesuatu yang dapat melenyapkan pengaruhnya
Golongan Yang Tertipu : Santai Berbuat Maksiat Karena Beranggapan Allah Maha Pengampun
Manusia tidak sama dalam hal maksiat, mereka beragam dan bertingkat-tingkat
1.Golongan yang ketika terjatuh ke dalam maksiat langsung bangkit dan bertaubat kepada Yang Maha Pengampun ketika mereka sadar tanpa menunda-nunda
2.Golongan yang tidak bisa langsung bertaubat dan lepas dari maksiat seketika, namun batinnya mengakui akan kesalahannya dan bertekad pada suatu saat akan bertaubat dan berhenti karena ia tahu akan pedihnya adzab Allah subhanahu wa ta’ala
3.Golongan yang bermudah-mudahan dalam berbuat maksiat dengan dalih bahwa Allah maha pengampun lagi maha penyayang
Dan golongan ketiga inilah yang paling berbahaya, karena bisa jadi maut menjemputnya secara mendadak sedang ia terus mengandalkan ampunan Allah dalam berbuat maksiat
Dalam kitab ‘Al-Jawabul Kafi’ Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah menulis satu bab tentang golongan yang ketiga dengan judul,
‘pasal: orang-orang yang mengandalkan ampunan Allah dan melalaikan perintah serta larangannya’
Dalam bab tersebut beliau menukilkan beberapa perkataan ulama,
Ma’ruf berkata,
“Mengharap kasih sayang Dzat yang tidak kamu turuti (perintah dan laranganNya) adalah suatu kebodohan.”
Al-Hasan Al-Bashri berkata,
“Sebagian orang tertipu dengan angan-angan akan ampunan Allah subahanahu wa ta’ala sampai akhirnya mereka keluar dari alam dunia tanpa taubat, dia akan berkata,
‘saya ini berprasangka baik terhadap Allah’
Dan sebenarnya dia berbohong, andai ia berprasangka baik maka pasti ia juga akan berusaha berbuat baik.”
Kesimpulannya adalah, bermudah-mudahan dalam berbuat maksiat dengan berdalih bahwa Allah maha pengampun lagi maha pengasih adalah kekeliruan yang besar, orang yang beranggapan demikian ditakutkan akan menyepelekan adzab Allah sedang Allah maha mampu untuk menurunkan adzabnya kapan saja Allah berkehendak
Sumber: Istiqamah di Jalan Allah