News Breaking
Live
update

Breaking News

All Amin: Rindu Pulang

All Amin: Rindu Pulang






Oleh: All Amin

Sudah rumah sakit yang ketiga. Untuk hari ini. Semenjak pagi sampai menjelang siang telah menyambangi dua rumah sakit. Untuk mengikhtiarkan sesuatu.

Menerawang dari jauh, tampak rumah sakit itu menyiratkan harapan. Moga-moga dapat menuai hasil.

Sampai di parkiran berbarengan dengan kumandang azan Zuhur. Saya pun berjalan kaki menuju Masjid yang berada dalam kawasan rumah sakit. Nak bermunajat, pengiring ikhtiar.

Selesai Zuhur berjemaah, langsung disambung jamak qasar Asar sendirian. Sebab sedang berada di luar kota. Sedang jauh dari rumah.

Selonjoran di pelataran Masjid sembari menyapu pandangan ke sekeliling. Terasa ada sesuatu yang berbeda dari rumah sakit itu. Kawasannya sangat luas, bersih, asri, dan sepi.

Jauh lebih sepi, bila dibandingkan dengan puluhan rumah sakit yang sudah dikunjungi sebelumnya.

Telah genap dua pekan menjalankan aktivitas ini. Berkeliling dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya. Tuntas satu kota, lalu pindah ke kota lainnya. Tercatat, dalam sepekan bisa mengunjungi belasan rumah sakit. Bersemangat menyempurnakan ikhtiar.

Ini sudah pekan yang ketiga. Di kota yang ketiga pula.

Berbekal petunjuk dari bagian informasi, saya menyusuri koridor di belakang gedung utama rumah sakit itu. Berjalan menuju ke bagian yang dicari.

Nuansanya semakin terasa berbeda. Ada atmosfer masa kolonial. Koridor rumah sakitnya semodel dengan selasar Lawang Sewu. Ikon Kota Semarang. 

Lalu berbelok ke dalam. Menyusuri teras panjang beratap. Bersebelahan dengan lapangan rumput yang luas dan terawat. Tampak ada beberapa petugas yang sedang memotong rumput. Petugas berseragam.

Suasananya asri. Serupa taman-taman vila di kawasan Nusa Dua. Sepi, seperti kampus ketika masa liburan mahasiswa.

Tiba di gedung tujuan. Diantarkan oleh satpam ke orang yang namanya tadi didapatkan di depan.

Dapat mengobrol sebentar; selesai.





Pelobian bisnis seringkali tak perlu waktu panjang. Yang butuh waktu panjang itu menumbuhkan kepercayaan dan mengelola hubungan baik.

Setelah tadi dapat bertukar kontak dengan kepala bagian belanja peralatan di rumah sakit itu, berarti target awal sudah tercapai. Tinggal menindaklanjuti.

Begitu di antara esensi ikhtiar seorang salesman. Datang dan menawarkan. Seringkali mesti menemui orang per orang. Kunci efisiensinya; selalu temukan sang pengambil keputusan.

Urusannya kelar bersamaan dengan sinyal rasa lapar yang mulai menguat.

Saat berjalan menyusuri kembali teras tadi, terlihat ada kantin di seberang jalan.

Kantinnya pun sepi. Konsepnya serupa food court yang di mal-mal itu. Terdapat beberapa stan penjual makanan. Meja tempat makannya tersusun di tengah ruangan.

Sebelum duduk, saya memesan seporsi nasi ayam penyet dengan es teh manis. Di salah satu stan.

Belum lama duduk, datang seorang pelayan menghampiri. Laki-laki kekira sebaya. Auranya intelek. Berkaca mata. Dan, ramah.

Ia menyampaikan, "Es batunya habis, dan mau dibeli dulu."

Sekelebat intuisi saya merasakan ada yang janggal dengan pelayan ini. Tapi, belum tahu di mananya.

Saya menyahut, "Membelinya berapa lama?"

Pria ramah itu langsung balik ke stannya. Menanyakan ke penjaga stan. Lalu kembali lagi ke saya.

Jarak antara tempat duduk dan stan makanan; tak jauh. Bila pelayan tadi langsung saja bertanya dari tempat ia berdiri; cukup. Sepertinya ia tak mesti bolak-balik.

Sembari menunggu makanan datang saya mencari-cari informasi di internet tentang rumah sakit itu. Setelah membaca beberapa hal, barulah saya paham. Mengangguk-anguk sendiri.

Di salah satu pojok kantin tampak ada tiga orang pelayan lagi. Seragamnya sama dengan si pelayan ramah.

Mereka duduk berbaris di bangku panjang. Rapi, santai, dan sepertinya tak banyak interaksi verbal di antara mereka.

Ekspresi muka dan sorot mata ke-tiganya tampak mirip.

Seketika saya teringat cerita Forrest Gump. Dulu butuh waktu satu malam mengkhatamkan novel itu. Novel yang akhirnya menjadi film terlaris di masanya.

Saat pelayan ramah datang mengantarkan makanan. Saya langsung menyapanya dengan penuh empati. 

Menyapa dengan menyebutkan nama yang terpampang di tanda pengenal yang disematkan di saku bajunya.

Makan siang itu jadi terasa sarat makna. Penuh pembelajaran. Rasa enak ayam penyet teralihkan oleh kecamuk beragam rasa dalam hati. Tafakur, syukur, keharuan, berempati, dan keniscayaan terjadinya beragam takdir.

Pun jadi memafhumi; bahwa perbedaan cara pandang, dapat membuat orang tidak saling memahami.

Membuat orang tak saling mengerti, satu sama lain. Seperti potongan cerita Forrest Gump.

Penyebab beragam perbedaan itu sangatlah kompleks. Mustahil dapat diseragamkan.

Serupa pelayan ramah dan ketiga kawannya itu. Pastilah keekstreman perbedaan mereka--yang tak dapat diterima--yang mengantarkan mereka sampai berkumpul di kantin itu.

Sambil keluar dari kantin, saya berjalan mendekati si pelayan ramah. Mereka sedang duduk berbaris di bangku panjang.

Saya tepuk pundaknya, sebagai tanda berpamitan. Sambil bergumam, "Semoga Antum segera dibolehkan pulang."

Sebelum diizinkan pulang pasien gangguan jiwa di RSJ biasanya dilatih kembali bersosialisasi. Mereka diberikan kesempatan berinteraksi di lingkungan normal. 

Menilik roman dan sorot mata bapak-bapak yang duduk berbaris di bangku panjang itu, kemungkinan ada rasa yang terbendung dalam hati mereka. Pun saya merasakannya. Rasa rindu pulang. (All Amin)

Tags