Kebebasan Masa Orba dan Keseleo Lidah Ketua BEM SI
Apakah kecaman orang terhadap 'keseleo lidah' ketua BEM SI tentang kebebasan semasa Orde Baru proporsional?
Apakah motif dan konteks kritik tersebut sungguh atas dasar nalar dan fakta, bukan semata bikin gaduh untuk mengaburkan substansi koreksi terhadap pemerintahan Jokowi?
Apa batu uji dan informasi/data pembanding yang menjadi dasarnya?
Jika akar masalahnya adalah pasal sang ketua kurang pengetahuan dan sejenisnya, itu bisa dimaklumi.
Obatnya satu: belajar! Membaca buku atau menonton film tentang otoritarianisme Orba, hasil riset/survei, penelitian sejarah, laporan jurnalistik dsb.
"Orde Baru, per definisi, tidak ada kebebasan," kata Goenawan Muhammad dalam wawancara dengan Whiteboard Journal.
Sang ketua sulit dimaafkan jika ia, selaku mahasiswa, yang mengatasnamakan pembelaan terhadap rakyat dalam demo, menyimpan agenda tersendiri yang menyimpang dari suara moral yang baik untuk mengoreksi penyimpangan kekuasaan.
Ia tidak konsisten terhadap hati nurani. Ia menyimpan ambisi kekuasaan, meniru lumayan banyak senior aktivis yang berakhir HANYA sebagai pejabat pemerintahan/BUMN yang menikmati gaji, bonus, tantiem.
Menjadi parasit negara!
Kita asumsikan pasalnya adalah tentang kekurangan pengetahuan, jadi kita bisa teruskan bicara hal yang penting mengenai prinsip, fakta, dan logika menyimpang kekuasaan.
Sebab, kita akan bisa berdebat terlalu panjang tentang tafsiran atas Indeks Kebebasan Sipil, Gini Ratio, riset The Economist dsb dengan segenap pamer kapasitas intelektual, yang sesungguhnya tidak menunjukkan kualitas apa-apa dari seseorang, padahal bisa jadi niat sesungguhnya adalah pengalihan isu, membunuh mental mahasiswa yang hendak berdemonstrasi, intimidasi, dan sejenisnya.
Menurut saya, demo teruslah berjalan, kritik tajam teruslah berlangsung. Koreksi itu dilakukan terhadap pemimpin yang SEDANG berkuasa. Yang sedang kuat-kuatnya!
Berkutat terus terhadap olok-olok atas keburukan pemerintahan sebelumnya adalah pengecut dan membuktikan status kemapanan seseorang di bawah pohon kekuasaan sekarang.
Cara berpolitik munafik. Bermuka dua. Standar ganda.
Masalahnya adalah masih banyak orang yang tidak rela bila presiden 'sebaik dan sepolos' itu dihujani serangan. Mereka bagai tak bisa terima kenyataan bila Arjunanya buaya.
Mereka tak bisa bernalar sehat dan membedakan apa itu serangan pribadi, apa itu serangan terhadap pribadi yang memegang kekuasaan eksekutif sebagai penyelenggara negara.
Mereka hidup dalam dunia khayal, ilusi orang baik tak pernah salah.
Padahal, apa yang dinilai buruk di masa lalu pun dilakukan pada masa sekarang: negara terus berutang; anaknya berbisnis dan mengakui privelege kekuasaan bapaknya; keluarganya menjabat di birokrasi; menteri andalannya pun ketua dewan penasihat Golkar---yang pada masa Orba begitu berkuasa;
Pada masanya, lembaga antikorupsi pun tergunting lewat revisi UU KPK; pejabat partainya korupsi bansos; beberapa ormas dibubarkan; orang dilabeli sekenanya saja, ditangkap tanpa proses peradilan yang fair masih ada;
Orang digusur untuk bikin waduk; mahasiswa yang hendak demonstrasi diteror hingga ke rumahnya, diretas alat komunikasinya;
Di sekeliling kekuasaan, oligarki mengambil peran, kasak-kusuk proyek, main mata dengan swasta tertentu; orang terkayanya pun masih dari rumpun yang itu-itu saja; kesenjangan kaya-miskin masih nyata;
Pemilik bank swasta terbesar yang semasa orba berjaya lalu kolaps dan disuapi BLBI pun sekarang masih dan terus berjaya, dapat pengampunan pajak pula, tanpa diutak-atik kasusnya.
Flexing kelompok kaya/ultrakaya masih marak. Di PIK (Pantai Indah Kapuk) masih bisa dilihat pawai Lamborghini, sementara apa yang ditulis Martin Van Bruinessen dalam buku "Rakyat Kecil, Islam, dan Politik" (2013), tentang kemiskinan kalangan muslim di daerah paling kumuh sedunia di Jawa Barat, masih relevan untuk dilihat sekarang.
Mana keadilannya? Apanya yang berubah?
Toleransi tanpa keadilan itu ibarat patung yang belum kelar dipahat. Bagaimana pun juga, faktanya, mayoritas masyarakat yang miskin adalah dari kalangan mayoritas Islam. Mereka yang sesungguhnya harus diangkat derajat dan kapasitas kantongnya oleh negara.
Yang ditulis Jokowi di Kompas pada 2014, ketika ia masih capres, berjudul "Revolusi Mental" nyatanya adalah omong-kosong.
Begini dia bilang dulu: "... Kebijakan ekonomi liberal yang sekadar mengedepankan kekuatan pasar telah menjebak Indonesia sehingga menggantung pada modal asing. Sementara sumber daya alam dikuras oleh perusahaan multinasional bersama para ”komprador” Indonesia-nya."
Tahu arti "komprador"? Pengantara bangsa pribumi yang dipakai oleh perusahaan atau perwakilan asing (di Tiongkok) dalam hubungannya dengan orang-orang pribumi (KBBI).
Siapa yang getol membawa investor China ke sini? Siapa yang membawa Alibaba ke sini? Siapa yang memerantarai kongsi dagang China di sini?
Seperti mirip modusnya dengan film China Hustle, yaitu makelar dari kongsi dagang dengan China itu adalah pensiunan jenderal bernama Wesley Kenne Clark. Bedanya Wesley tidak jadi Koordinator PPKM seperti di sini.
Siapa pula yang menyimpangkan kebijakan ekspor sawit yang bikin minyak goreng gonjang-ganjing? Ya, pejabat Kementerian Perdagangan juga yang sekarang diusut Kejagung serta melibatkan orang perusahaan sawit (Wilmar, Musim Mas, Permata Hijau)
Yang makin kaya bahkan pada masa sesulit pandemi siapa? Tak beda dengan orba, para pejabat juga. Data KPK, jumlah pejabat yang kekayaannya naik selama pandemi bertambah menjadi 70,3%.
Mereka itu juga bagian yang masih kecipratan anggaran THR tahun ini dari negara yang totalnya Rp34 triliun.
Sudahlah. Sederet fakta itu makin menunjukkan sinyal bahwa Jokowi sulit mewujudkan cita-citanya untuk mengakhiri pemerintahannya dengan terhormat. Ia tak menunjukkan legasi mental maupun material yang lebih baik dari sebelumnya.
Ia tak bisa mewujudkan apa yang ia janjikan.
Jika demikian, ia memang layak dan pantas didemo!
Salam.
Agustinus Edy Kristianto
20 April 2022