Perjalanan Insan

Oleh: All Amin
Lajunya tak berjeda. Sedetik pun.
Serupa jam pasir yang terus menderas ke bawah. Pasti tiba masa habisnya. Kita berada dalam penyusutan waktu yang sudah dihitung mundur.
Mau yakin atau tidak. Mau peduli atau tidak. Mau suka atau tidak. Mau paham atau tidak. Prosesnya terus saja berjalan. Tahap demi tahap. Berpindah dari satu alam ke alam yang lain.
Kelak di titik akhir. Nun jauh di ujung sana. Setelah melalui masa tempuh yang tak terkira lamanya. Muara perjalanan ini hanya berakhir di dua tempat. Bila tak tiba di tempat yang satu. Maka pastilah berada di tempat yang satunya lagi.
Rangkaian perjalanan itu sudah ditetapkan. Cerita tentang itu pun sudah dikabarkan.
Menurut permisalan dari para alim. Bagi yang dapat mengerti kabar itu, maka ia laksana kapal yang berlayar di lautan. Bisa paham sedang di mana ia berada. Dari dermaga mana ia berangkat, dan pelabuhan mana yang hendak dituju.
Sehingga dapat mengikhtiarkan agar selalu still on the track. Ada pedoman agar tak keluar dari jalur.
Sebaliknya, bagi yang tak mau mengerti, permisalannya serupa sepotong kayu yang terombang-ambing di lautan. Hanyut terbawa arus ke mana-mana.
Serupa penumpang taksi yang punya tujuan, terus berbelok-belok, sedangkan argo jalan terus.
Kita sekarang sedang berada di etape ketiga. Ini fase paling krusial. Masa paling menentukan untuk keselamatan di tahapan kehidupan berikutnya. Kuncinya ada di titik ini. Bila titik ini lewat begitu saja. Bila merugi. Selesai sudah. Tak ada lagi tempat mencari bekal. Fase ini tak bisa diulang.
Fase kedua; alam rahim, sudah dilalui. Semua kita dulunya berupa janin. Tahapannya dimulai dari nutfah, alaqah, dan mudigah. Setetes air, segumpal darah yang menempel, dan segumpal daging. Masing-masing dalam masa empat puluh hari. Kemudian diutus seorang malaikat untuk meniupkan roh kedalamnya. Malaikat itu diperintahkan dengan empat kalimat; menuliskan rezekinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagianya.
Itulah catatan takdir setiap insan. Catatan yang sudah ditetapkan sejak dari lauzmahfuz. Catatan yang tak dapat diubah-ubah lagi. Penanya sudah diangkat, dan tintanya sudah kering.
Alam rahim itu tak lama. Hanya kisaran antara tujuh sampai sembilan bulan. Melalui pintu kelahiran maka berpindahlah kita ke alam dunia. Seperti sekarang
Dulu lagi, sebelum fase kedua, ada fase pertama; alam roh. Dari alam roh itulah kehidupan manusia bermula.
Sebelum roh ditiupkan ke dalam jasad yang berupa embrio tadi, terhadap mereka sudah dilakukan persaksian.
Sebagaimana tertulis dalam Alquran, yang bunyi terjemahannya: Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman) "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab "Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi." Alastubirrabikum qalu bala syahidna. (QS Al-A'raf: 172). Kelak persaksian itu akan ditagih oleh Allah di hari kiamat.
Kita di sini sedang mengantre untuk perpindahan menuju fase keempat. Pindah ke alam barzakh. Melalui pintu yang namanya kematian.
Dalam masa puncak pandemi Covid-19 kemarin, perpindahan itu tampak sangat banyak. Malaikat Izrail seperti membawa paketan rombongan. Orderannya ramai. Dan keadaan itu menciutkan nyali banyak orang. Termasuk saya. Takut mati.
Takut akan kematian itu manusiawi. Memang demikian adanya. Namun, ketakutan itu tak akan menghindarkan seseorang dari kematian. Pun, keberanian menghadapinya, tak akan menambah waktu. Malaikat Izrail itu ontime. Tak bisa dinego. Tak mengenal istilah perpanjangan waktu.
Saking menakutkannya bayangan kematian itu. Manusia sesombong Firaun saja. Yang ketika hidup mengaku tuhan, "Ana rabbukumul akla". Yang memerintahkan Haman--menteri segala rupanya--untuk membuat infrastruktur berupa bangunan-bangunan tinggi, agar ia bisa melihat Tuhan-nya Musa dan Harun. Saat napas Firaun sudah di tenggorokan, ia tersedak karena tenggelam di Laut Merah. Mendadak Firaun ingin bertobat.
Seperti yang dikabarkan dalam Alquran: Sehingga ketika Firaun hampir tenggelam dia berkata, "Aku percaya bahwa tidak ada tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan aku termasuk orang-orang muslim (berserah diri)." (QS Yunus: 90)
Telat, Bos. Kemarin Ente kemane aje?
Padahal sebelumnya Allah telah mengirimkan dua orang Nabi untuk menyampaikan risalah kepada Firaun. Nabi Musa dan Nabi Harun. Namun Firaun terlalu sombong untuk dinasihati. Hatinya mati. Dibilangin ngeyel.
Firaun raja yang digdaya di masanya. Firaun pernah mengeluarkan Keppres kejam. Perintah membunuh setiap bayi laki-laki yang lahir dari kaum Bani Israil. Sebab ia khawatir akan lahir orang yang dapat merebut kekuasaannya.
Kekuasaan memang kerap serupa candu. Dapat membuat pemegangnya lupa diri. Lupa kalau semua itu ada akhirnya. Semua yang ada di dunia ini memiliki sifat kefanaan. Termasuk napas. Akan tiba masanya berhenti.
Tapi, membahas cerita-cerita tentang kematian kudu hati-hati. Banyak yang kurang berkenan. Serupa ketika membahas bid'ah dalam ibadah. Ketika membahas riba dalam sistem keuangan konvensional.
Bahasan yang masuk ke dalam ranah-ranah sensitif. Dapat membuncahkan rasa nyaman. Memantik rasa ketersinggungan. Bila tak tepat menyajikannya, berisiko menerima dampratan.
Rasulullah pernah ditanya, "Wahai Rasulullah siapa orang yang paling cerdas?" Beliau menjawab, "Yang paling banyak mengingat mati, kemudian yang paling baik dalam mempersiapkan kematian, itulah orang yang paling cerdas." (HR. Ibnu Majah)
Semoga momentum Ramadan ini dapat menjadikan kita orang cerdas serupa petunjuk Rasulullah itu. Hingga mulai berani mengubah persepsi. Menukar prioritas.
Bahwa yang perlu dipersiapkan itu bukanlah sekadar bekal untuk kehidupan hari tua di dunia ini. Justru, yang jauh lebih penting adalah bekal untuk memasuki kehidupan fase keempat dan seterusnya. Masa yang abadi itu. Sebab itulah masa depan yang sesungguhnya. Kehidupan yang pasti akan ditempuh.
Pintu gerbang masa depan itu bisa jadi sudah dekat. Kita bahkan sering mengantarkan kolega ke gerbang itu. Hanya kita belum boleh langsung masuk ke situ. Sebab untuk masuk ke gerbang kehidupan fase keempat itu kita tak bisa sendiri. Nanti, orang lain yang beramai-ramai membantu memasukkan.
Menyiapkan masa depan untuk hari tua di dunia tentulah tidak salah. Itu pun sangat penting. Namun harus menyisipkan kesiapan pikiran bahwa impian itu sangat mungkin dipotong oleh catatan takdir. Malaikat Izrail tak membacakan dulu daftar nama yang akan dicentangnya.
Betapa banyak orang yang tak pernah sampai pada hari tua yang sebelumnya ia bayangkan. Daftar antreannya di tangan Izrail mendadak tiba. Finis.
Harta benda yang semasa hidup berjibaku ia kumpulkan menjadi rebutan ahli waris. Juga dijadikan modal oleh pasangan yang ditinggalkan. Menjadi modal untuk menikah lagi. (Jaticempaka, 8 Ramadan 1443 H)