Adaptasi Politik 5.0
Oleh: All Amin
SESEKALI tergelitik menulis topik politik. Tapi, tipis-tipis saja. Enggak berani masuk ke tempat yang dalam. Sebab belum mahir berenang. Entar kakinya tak menapak ke dasar. Bisa kelelep. Sebatas hidung masih nongol di permukaan saja. Kalaupun sedikit tergelincir, masih amanlah.
Bahasan politik itu serupa samudra luas. Sulit melihat batasannya. Arah gelombangnya berubah-ubah. Bisa tetiba badai. Dalamnya pun seringkali tak terukur. Ada yang sedalam palung Mariana. Hanya kawanan paus biru yang bisa aman bermain di situ.
Mengulasnya pun dalam perspektif terbatas. Dari sudut pandang praktisi pemasaran. Komentarnya seorang marketer. Mencermati dari ranah di mana saya biasa berdiri. Sekadar itu.
Sebab menilik beberapa kolega tampak mulai berkasak-kusuk menyiapkan diri, menyambut perhelatan lima tahunan. Nak turut berkompetisi dalam menghimpun bilangan elektabilitas. Yang masih dua tahun lagi. 2024.
Memperebutkan tiket agar dapat duduk di kursi panas. Janjinya, bila duduk di situ itu, akan turut mengubah peradaban. Mulia sekali cita-citanya. Saya turut senang mendengarnya.
Semoga narasi-narasi itu tak mengawang-awang. Seperti kebanyakan prolog di seminar multi level marketing. Segala gambar kapal pesiar. Rumah mewah berhelipad. Tempat-tempat wisata mancanegara. Dipajang di awal pertunjukan sebagai metafora pendramatisasi
Tadinya nak berbisik-bisik saja, dengan beberapa di antara sohib itu. Namun, jadinya menulis sajalah.
Kini, membilang elektabilitas sudah serupa jual beli di pasar bebas. Bertransaksi dengan orang-perorang. Satu orang satu suara. Sarat dengan tawar menawar.
Nak sedikit berkomentar. Menjelang bertarung ke dalam gelanggang itu, ada baiknya bab tentang personal branding khatam dulu. Kajian ini berfungsi sebagai aplikasi pembaca peta secara detail. Serta petunjuk arah.
Urgensinya serupa mengenal beragam jenis senjata dan paham taktik perang secara komprehensif sebelum mulai bertempur. Pengetahuan yang teramat sangat penting. Sebagai ikhtiar menggapai kemenangan.
Supaya tahu kapan menembak runduk, cara melempar granat, di mana area mati pandang yang aman untuk berdiam, dsb. Jadinya tak membabi buta.
Personal branding itu bukan tentang memajang foto berkopiah--atau berkerudung di perempatan jalan. Sama sekali bukan itu esensinya. Terkadang bobot foto-foto itu cuma berfungsi serupa acar dalam bungkusan nasi goreng. Tak mengapa bila tak ada.
Bila nak menguji kebenaran teorinya, coba cermati baliho-baliho besar yang tersenyum kepada seluruh pengguna jalan itu. Perhatikan beberapa di antaranya dengan saksama.
Lalu renungkan, seberapa besar pengaruh gambar itu dapat mengubah persepsi yang sebelumnya sudah ada dalam pikiran masing-masing? Terhadap objek di foto itu. Biasanya tak banyak berpengaruh. Bahkan bisa tak mengubah sama sekali. High cost but low impact. Mubazir.
Melihat kebutuhan, calon politisi itu mesti memiliki kemampuan menjual level ketiga. Kelompok pelobi kelas atas. Pandai bertanam tebu di bibir.
Bila mampunya baru menjual barang yang tampak wujudnya, itu penjual tingkat pertama. Level dasar. Naik ke level kedua, mulai bisa menjual sesuatu yang abstrak. Benda tak berberwujud.
Level ketiga adalah mereka para penjual ide. Gagasan. Atau yang semisal dengan itu. Penjual-penjual yang mahir mengilustrasikan mimpinya ke dalam pikiran orang lain. Para penjual impian.
Menjual adalah ilmu marketing paling tua. Sudah diterapkan sejak dulu. Sejak bertransaksi masih sistem barter sampai sekarang.
Ilmu marketing modern mulai populer kisaran tujuh dasawarsa silam. Sejak itulah mulai dibuat pengklasteran antara penjualan dan pemasaran. Dua hal berbeda yang saling berkelindan. Kalau dalam istilah mengaji, ibarat tahfiz dengan tahsin. Beda.
Kini teori marketing telah berevolusi sebanyak lima kali. Populer dengan penamaan marketing 1.0 sampai marketing 5.0.
Para calon politisi baiknya memafhumi kaidah ini. Agar dapat menautkan dengan strategi personal branding yang akan digunakan. Mau memilih menggunakan pendekatan yang mana.
Marketing 1.0 berorientasi pada objek yang mau dijual. Teori populernya P4 (product, price, placement, promosi). Ciri strategi ini: objek atau produknya dijadikan dulu, baru diupayakan langkah pemasaranannya. Ini strategi marketing generasi pertama.
Sejatinya pola ini sudah termakan zaman. Namun masih masif digunakan. Seperti mayoritas pelaku UMKM masih menggunakan pendekatan marketing 1.0 dalam memasarkan produk-produknya.
Lalu muncul marketing 2.0.
Pola ini menargetkan kepuasan pelanggan. Customer satisfaction. Teori marketing tahap ini adalah 4C (customer, cost, convenience, communication)
Pada marketing 2.0 ini fokusnya bukan kepada apa yang akan dijual. Tapi kepada siapa yang menjadi target pasar. Dalam istilah dunia usaha; pelanggan. Kalau istilah dalam dunia politik; pemilih. Konstituen. Posisi keduanya sama.
Sekilas penerapan marketing tahap satu dan dua ini tampak serupa. Namun, dasar pengambilan keputusannya berbeda. Pada marketing 2.0 dikenal istilah; segmentasi, targeting, dan positioning.
Diperbarui lagi menjadi Marketing 3.0
Pendekatan level ketiga ini mengutamakan nilai-nilai humanisme. Spritual. Bila pada marketing 2.0 targetnya bersifat personalisasi, pada marketing 3.0 memiliki keberpihakan pada orang banyak. Human centric approach.
Hubungan marketer dan pelanggan berupa kolaborasi. Marketing 3.0 dikenal juga dengan istilah value driven marketing. Saling mempertukarkan nilai tambah secara seimbang dan proporsional. Pada pola ini sudah tak relevan istilah konsumen adalah raja.
Dengan memahami strategi marketing 3.0 ini para politisi, pun calon politisi, tak perlu lagi berbuih-buih berpromosi, menjanjikan sesuatu yang sejatinya mereka sendiri tak yakin akan dapat memenuhinya. Jadinya over promise under deliver.
Lanjut ke Marketing 4.0
Falsafah strategi marketing generasi ketiga dikombinasikan antara konvensional dan digital di marketing 4.0. Guna mendapatkan customer experience.
Slogan di level keempat ini adalah 5A (aware, appeal, ask, action, advocate). Ujung pencapaian dari marketing 4.0 adalah pembelaan pelanggan terhadap brand.
Gambaran simpel dalam ekosistem perpolitikan adalah berhasilnya mendapatkan; relawan, simpatisan, pendukung fanatik, atau yang serupa. Dan itu semua mesti didapatkan secara suka rela dan alamiah. Massa bayaran tak termasuk kelompok brand advocate.
Teranyar marketing 5.0
Marketing 3.0, lalu 4.0 dan 5.0 merupakan trilogi. Tiga hal secara prinsip yang saling terkait. Beda di penggunaan fitur.
Strategi marketing fase kelima makin masif dalam penggunaan teknologi digital. Tidak lagi sebatas kulit luar seperti pada marketing 4.0. Di antara upaya guna pencapaian customer experience adalah pemanfaatan kecerdasan buatan. Artificial intelligence.
Pendekatan marketing 5.0 presisi dengan kondisi sekarang. Boleh jadi pola yang paling cocok untuk masyarakat 5.0 ini. Super smart society.
Bila mencermati tahapan perjalanan sejarah bangsa ini sejak seabad silam, kemungkinan terjadinya perubahan signifikan pada perhelatan 2024 bukanlah penujuman. Ada alur pola yang dapat terbaca.
Pesta dua tahun lagi itu bisa menjadi tipping point. Dari statistik demografi pemilik suara terbesar besok itu adalah generasi Z dan generasi milenial. Generasi society 5.0.
Generasi yang tak turut merasakan hidup di masa orde baru. Mereka yang tak lagi menerima kiriman uang melalui wesel Pos. Bila disuruh menggambar pemandangan, mereka tak lagi membuat dua gunung dengan sawah dan sungainya yang seragam itu.
Generasi yang melek teknologi, mereka yang terbiasa kritis, berpikiran terbuka, dan tak mudah didikte.
Pasar sudah berubah
Para calon politisi yang tidak dapat membaca gelombang perubahan itu, dikhawatirkan akan terjebak ke dalam lautan merah yang berdarah-darah. Pertarungan berat. Bila tak berkreasi membuat blue ocean strategy.
Pun para politisi status quo yang masih bergaya kolonial. Tak adaptif. Berpotensi senasib dengan usaha wartel pada awal tahun 2000-an. Tanpa sadar, tahu-tahu sudah kehilangan pelanggan. (*)
All Amin
Praktisi marketing