News Breaking
Live
update

Breaking News

Rapor Merah Perusahaan Penguasa Ojol

Rapor Merah Perusahaan Penguasa Ojol


Mr. X---salah satu mitra---curhat ke saya: "...yang paling parah, bang, menurut saya, adalah POLA PIKIR. Jemput rezeki itu gak ada lagi selain usaha jadi driver online (motor/mobil). Dan pola pikir itu yang terbentuk, terhitung dari zaman Uber sampai detik ini. Dengan pola pikir tersebut, mana bisa menghasilkan entrepreneur, bibit-bibit pengusaha."

"Yang ada, kita terjebak sistem, kehidupan para driver berkutat soal trip, tip, insentif, jarak, tarif, penumpang dll. Dan, itu terbukti, sampai detik ini, mayoritas para driver ini gak ada yang jadi pengusaha sukses, membuka lapangan pekerjaan berawal dari sopir online. Kan, miris, bang. Manusia yang berhasil membuat jutaan rakyat Indonesia jadi sopir online diangkat jadi Menteri Pendidikan." 

Sementara itu, Mr. Y---salah satu pedagang yang tercatat sebagai merchant GOTO---juga mengeluhkan hal yang sama dengan para ojol, yakni mengenai besarnya potongan. "Untuk potongan fee resto yang semula 20%, apabila mengikuti promo itu, bisa sampai 40%-50%. Semisal, pendapatan Rp1 juta kotor dikurangi aplikator, paling kami terima Rp500.000-Rp550.000."

Seorang peneliti di Institute of Governance and Public Affairs (IGPA), Magister Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada, mengontak saya dan mengirimkan hasil penelitiannya pada 2021 yang berjudul: "GOTO Menjauhkan Pekerja Gig dari Kerja Layak dan Adil: Survei Kondisi Kerja Kurir GO-Kilat."

https://l.facebook.com/l.php?u=https%3A%2F%2Fwww.researchgate.net%2Fpublication%2F353348824_GoTo_Menjauhkan_Pekerja_Gig_dari_Kerja_Layak_dan_Adil_Survei_Kondisi_Kerja_Kurir_GoKilatGojek%3Ffbclid%3DIwAR2UxO1M2QjQk91IhyjefztiS6pcg0xVM9-L2MTSZOFIbFFN5ExmWqET1YU&h=AT1mfyCXyYZ93k0kY_ZyRmYGQ0kn7IevlS9hfvh09dWgUsgGNW5CcbyHdLX_vMf0TBcUdd5OA2d4Ob3sP440T8MgEewjyrP_NamSts9ShocfKfbqIXhB-ZQ1QcysleqOl_Q-Z41MmsFXMHghl28

Hasil penelitian itu menyimpulkan kondisi kerja driver Go-Kilat belum sesuai dengan pekerjaan yang layak dan adil. Rata-rata jam kerja 11,2 jam/hari, 25,2 hari/bulan, 60% kurir tidak memiliki jaminan kesehatan, 97% kurir tidak memiliki asuransi kendaraan; hubungan kemitraan yang dikuasai sepihak oleh perusahaan platform, tidak adanya jaminan pendapatan dasar, dsb; pendapatan tidak layak. 

Dengan membandingkan UMP DKI Jakarta 2021, pendapatan bersih kurir GO-Kilat hanya Rp1.661.514/bulan, sedangkan UMP DKI Jakarta sebesar Rp4.416.186; dari aspek "Kerja Layak dan Adil", GOTO hanya mendapatkan poin 4 dari poin maksimal 15. Sehingga GOTO mendapat rapor merah "Kerja Layak dan Adil" dalam hubungan kemitraan yang dijalankan.

***

Si sinis akan berkata: "Jangan mengeluh, itu pilihan hidup kalian" atau "Apa-apa yang disalahkan Jokowi" atau "Pemerintah sudah baik kasih bansos" atau "Gak bersyukur punya Presiden baik dan gak korupsi begitu" atau yang paling klasik: "Dasar kadrun!"

Tapi, siapapun yang takut akan Tuhan sehingga hati dan pikirannya dipenuhi terang, akan tiba pada satu kesimpulan bahwa ada sebuah sistem yang salah sehingga memiskinkan sebagian besar masyarakat. 

Namanya kemiskinan struktural! Aktor utamanya adalah Negara beserta aparatusnya yang berkolaborasi dengan segelintir pengusaha (oligarki) yang mengail keuntungan. 

Konstitusi menjamin pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Situasi nyata seperti tersebut di atas menunjukkan jaminan Konstitusi itu tak ada artinya. 

Jangan anggap masyarakat Indonesia seluruhnya adalah bermental budak korporat, tak ada jiwa kewirausahaan, dan miskin turun temurun tanpa harapan sehingga layak untuk selalu dijadikan objek bansos. 

Mereka demikian karena sistem tak memungkinkan tersedianya pilihan lain. Mereka demikian karena pemburu rente dan koruptor masih berkeliaran sehingga sistem yang memiskinkan itu lestari. Mereka demikian karena Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan tidak keras berupaya memutus sistem itu dan malah menjadi minyak pelumas yang melancarkan sirkulasi kemiskinan struktural. 

Ada Perpres 2/2022 tentang Pengembangan Kewirausahaan Nasional Tahun 2021-2024. Di dalamnya diatur bahwa yang dituju adalah memperkuat ekosistem kewirausahaan Indonesia, BUKAN ekosistem bisnis digital GOTO dkk. 

Jelas-jelas disebut, yang harus dibantu adalah warga negara yang menjadi wirausaha sosial, wirausaha teknologi, wirausaha pemuda, wirausaha perempuan, wirausaha desa. 

Aturannya tegas, mereka itu harus diberikan kemudahan berupa perizinan, sertifikasi, akses pembiayaan/penjaminan, pengutamaan dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah, pengutamaan dalam akses pasar digital BUMN, akses penyediaan bahan baku/bahan penolong, akses fasilitas umum, riset dan pengembangan usaha, akses pendampingan dsb.

Mereka, para wirausahawan itu, wajib diberikan insentif berupa pengurangan, keringanan, dan/atau pembebasan pajak daerah dan retribusi daerah; subsidi bunga pinjaman pada kredit program pemerintah; dan/atau fasilitas pajak penghasilan. 

Sementara itu, salah satu maksud dan tujuan BUMN seperti dalam UU 19/2003 tentang BUMN, jelas sekali untuk membantu pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat. 

Saya bicara bukan cuma idealis mengacu norma hukum tersebut melainkan saya adalah pelaku langsung wirausaha sejak 2009. Saya tahu lapangan. 

***

Jadi, selama sistem yang melestarikan kemiskinan struktural itu masih berlangsung, ajakan Menteri BUMN Erick Thohir agar 30 ribu UMKM masuk ekosistem GOTO dkk bisa ditafsirkan sebagai ajakan supaya mereka semua kelak menjadi merchant yang enak untuk dipotong 40%-50% penghasilannya oleh pebisnis aplikasi---yang merupakan start-up besutan venture capital. 

Jika si menteri bersangkutan mengklaim sebagai "NOTONEGORO 2024" dan masih banyak yang kesurupan sihir tersebut untuk memilihnya pada Pemilu 2024 maka model pemerintahan ke depan sudah bisa kita terka sejak sekarang.

Para mitra ojol di lini on-demand services/ride hailing sebenarnya yang paling bikin ribet dan memberatkan buku keuangan. Di GOTO ada +2 juta orang, di Grab juga segitu, berdasarkan bahan paparan Direksi Telkom dan Telkomsel di Panja Komisi VI DPR, yang saya menjadi salah satu narasumbernya juga. 

Kasarnya, bisnis ini tak bertujuan menyejahterakan ojol dan merchant, yang dibutuhkan adalah menjadikan mereka sebagai salah satu komponen pembentuk GMV (Gross Merchandise Value). GMV adalah akumulasi nilai transaksi yang terjadi melalui aplikasi. 

GMV itulah dagangan perusahaan aplikasi untuk menarik investor demi investor baru yang mau beli saham mereka di harga yang lebih tinggi melalui segala jenis aksi korporasi dan perhitungan akuntansi.

Duit Rp6,4 triliun yang disetorkan BUMN Telkom melalui Telkomsel untuk mengakuisisi 23,7 miliar lembar saham GOTO (setara 3%) bukanlah seperti yang tersiar indah di siaran pers, semacam sinergi untuk memberikan added value, memperkuat ekosistem dan kedaulatan digital, membuka pintu bagi para calon entrepreneur digital, menggerakkan perekonomian digital---seperti disebut dalam hasil riset yang sepertinya langganan dari satu universitas negeri ternama di mana Menteri BUMN menjadi anggota Majelis Wali Amanat, dan rektornya merangkap komisaris BUMN itu.

Penggunaan duit itu sama saja dengan ritel yang berspekulasi di bursa efek. Beli saham Rp6,4 triliun sebelum IPO pada harga Rp270, ditentukan nilai wajarnya oleh penilai yang mereka tunjuk Rp375, dilempar ke publik (IPO) pada harga Rp338 (pada 11 April 2021 dan meraup Rp14 triliun), dibagus-baguskan prospek ke depannya lewat blocking berita media dan influencer medsos, dicatatkan pergerakan harganya setiap kuartal dalam Laporan Keuangan TLKM berdasarkan prinsip mark to market/MTM (unrealized loss/gain).

Sekarang mereka lagi pusing. Selain karena akumulasi rugi operasionalnya mencapai Rp92,7 triliun, heboh demo ojol, dsb, pada penutupan Kamis (15/9/2022), saham GOTO anjlok ke Rp266. Jika dibandingkan dengan harga Rp388 per 30 Juni 2022 sebagai acuan LK TLKM Kuartal III 2022 nanti, jumlah kerugian yang belum terealisasi akan tercatat Rp2,8 triliun. Kita lihat saja nanti harga penutupan 30 September 2022 mau dibuat berapa oleh bandar. 

FYI. 26,5% saham GOTO digenggam tiga badan usaha asing yang berdomisili di Singapura, Grand Cayman, dan Hongkong. Sisanya (73,4%) dipegang orang/badan usaha lokal---termasuk Telkomsel. Asing tinggal sedikit karena diduga kuat sudah keluar sejak sebelum IPO atau ketika IPO. 

***

Sudahlah, kembali saja kepada tujuan Konstitusi. Tak usah aneh-aneh biar terlihat canggih.

Jika para mitra ojol ingin berkarier di industri transportasi atau ekspedisi, salurkanlah ke perusahaan yang badan hukum dan jenis usahanya itu, bukan perusahaan aplikasi, supaya mereka dapat perlindungan UU Ketenagakerjaan; 

Jika ingin berwirausaha, kasihlah kemudahan dan insentif seperti tercantum dalam Perpres 2/2022; jika ingin meninggikan pendidikan, salurkanlah beasiswa buat mereka; jika ingin masuk dunia kerja, perbaikilah sekolah kejuruan, Balai Latihan Kerja, dan pemagangan---jangan dibuat Kartu Prakerja yang malah lebih besar bagian perusahaan platform digital (Ruangguru, Tokopedia dkk) lewat jualan video Rp1 juta/peserta; jika masyarakat ingin kemudahan transportasi, ya buatlah sistem transportasi massal yang bagus, aman, dan murah.

Bisnis transportasi aplikasi ala GOTO sudah sunset dan saya prediksi akan semakin jatuh. Mereka mau 'lari' ke bisnis pinjol, digital payment, kripto, dan mobil listrik.

Dampaknya perlu diantisipasi dengan melakukan hal-hal tersebut di atas, selain memperbaiki sistem jaminan sosial. 

Bukan cuma dengan cara bansos---yang blocking berita iklannya di mana-mana.

Kebutuhan utama orang itu bukan cuma roti untuk dimakan melainkan aktualisasi diri, keadilan dan penghargaan atas martabat yang sama, serta harapan kehidupan yang lebih baik di masa depan. 

Salam.
Agustinus Edy Kristianto

Tags