News Breaking
Live
update

Breaking News

Membaca Gerakan Komunisme Islam Surakarta 1914-1942

Membaca Gerakan Komunisme Islam Surakarta 1914-1942



SAAT ini mayoritas masyarakat Indonesia pasti sepakat bahwa komunisme bertentangan dengan agama, bertentangan dengan Pancasila, dan tidak cocok dengan budaya masyarakat Indonesia. 

Tetapi, dalam buku Gerakan Komunisme Islam Surakarta 1914-1942 karya Prof. Syamsul Bakri, seorang akademisi sekaligus wakil rektor di UIN Surakarta, kita akan diperlihatkan bahwa pernah ada masa di mana agama islam dan Komunisme bersatu padu menjadi kekuatan yang besar dalam melawan kolonialisme yang juga bersatu padu dengan kapitalisme dan didukung oleh feodalisme. 

Masa ini terjadi pada era pergerakan Indonesia atau dua dekade pertama di abad 20. Tokoh sentral dalam gerakan Komunisme Islam di Surakarta ini adalah Haji Misbach, seorang mubaligh yang lahir di Kauman Surakarta pada 1876. 

Haji Misbach adalah anggota Syarekat Islam (SI) pimpinan Tjokroaminoto. Tidak hanya itu, ia pun menjadi propagandis di SI karena kepiawaiannya dalam berpidato dan mengagitasi. Namun, saat Henk Sneevliet masuk ke Hindia Belanda dengan membawa serta ideologi sosio-demokratiknya yang condong pada komunisme, banyak perubahan terjadi dalam tubuh SI. 

Sneevliet berhasil menarik minat para tokoh sentral di SI. Hal ini membuat SI terbelah menjadi dua, yakni SI Hijau yang dipimpin oleh Tjokro dan SI Merah yang dipimpin oleh murid Tjokro, Semaun. 

Terbelahnya SI ini dikarenakan para pemuda seperti Semaun dan Darsono tidak puas dengan kinerja SI pimpinan Tjokro yang dinilai bekerja sama dengan pihak kolonial, alih-alih melawannya. Semaun, ketua SI merah sekaligus merangkap sebagai anggota ISDV (indische sociaal democratische vereeniging), yakni partai berhaluan komunis pertama di Asia yang didirikan oleh Sneevliet pada 1914, berhasil menarik separuh anggota SI untuk mengikutinya ke SI Merah pada akhir 1922.

Haji Misbach yang sebelumnya sudah berpikiran revolusioner sebelum Sneevliet datang ke Hindia, tambah girang hatinya saat mendengar penjelasan mengenai ajaran Marxisme yang dibawa oleh Sneevliet. Menurut Misbach, ajaran marxisme ini sangat cocok dijadikan landasan perjuangan untuk melawan kolonialisme yang pada waktu itu bersatu dengan kapitalisme dan feodalisme. Karena SI pimpinan Tjokro dinilai tidak revolusioner, ia pun membelot untuk bergabung dengan SI Merah pimpinan Semaun.

Di SI Merah ini Haji Misbach tambah frontal dalam melakukan konfrontasi kepada pemerintahan kolonial. Haji Misbach pun mendapat gelar baru, yakni Haji Merah. Misbach menafsirkan ajaran komunisme ini memiliki kesesuaian dengan ajaran agama Islam. Dengan catatan doktrin materialisme historisnya yang termaktub dalam Manifesto Partai Komunis harus dihilangkan. Tafsir ini sama dengan yang dilakukan oleh Tan Malaka dan Aidit. Nanti, di akhir tulisan saya ceritakan alasannya.

Meskipun begitu, Tjokro dan tokoh-tokoh dari semua organisasi muslim lainnya menilai bahwa komunisme ini dapat merusak akidah Islam. Dari sinilah pergesekan mulai terjadi. Padahal, Misbach bergabung dengan SI Merah karena SI pimpinan Tjokro tidak mau menerima gagasan persesuaian antara Islam dan komunisme, dan justru menerapkan displin partai sehingga ia bergabung penuh pada PKI.

Pilihan Misbach terhadap PKI dan SI Merah merupakan penggalan penting dalam konstelasi munculnya gerakan komunisme Islam dan mewarnai dinamika politik di Surakarta.

Namun, sahabat Misbach pada waktu awal-awal perjuangan seperti Haji Ahmad Dahlan dan Haji Fachrodin, berbalik menjadi kelompok pertama yang menentang Misbach. Ahmad Dahlan dan Fachrodin adalah rekan Misbach saat mereka menjadi staf di Surat Kabar Medan Moeslimin

Ahmad Dahlan dan Fachrodin dengan Muhammadiyahnya menyatakan sikap menentang PKI dengan doktrin komunismenya. Tidak hanya itu, Tjokro dengan SI-nya juga ikut memusuhi PKI.

Misbach menilai bahwa kelompok Muhammadiyah dan SI tidak lebih dari sekutu para penjajah. Karena gerakan mereka hanya berkutat pada ibadah saja. Sementara gerakan untuk melawan kolonialisme dan kapitalisme yang menjadi musuh nyata rakyat, tidak mereka lakukan. Akhirnya, Misbach dan PKI dinilai anti terhadap islam.

Namun, Misbach kembali menulis bahwa ia dan PKI tidak menyerang agama Islam. Mereka menyerang organisasi yang menggunakan agama Islam untuk melemahkan semangat revolusi rakyat sehingga kolonialsime dan kapitalisme bisa menancapkan kukunya lebih dalam lagi di Hindia ini.

Akibat semakin tajamnya pergesekan antara PKI dan organisasi lainnya yang mereka kritik, juga ditambah semakin refresifnya perlakuan pemerintah kepada PKI, membuat posisi PKI semakin terjepit. Dan mereka pun melakukan perlawanan secara langsung dengan melakukan pemberontakan pada 1926-1927. 

Pemberontakan ini adalah pemberontakan pertama yang dilakukan oleh organisasi yang ada di Hindia Belanda. Sebelum-sebelumnya, belum ada yang berani melakukan perlawanan secara langsung terhadap pemerintah kolonial Hindia semenjak perang jawa yang dipimpin Diponegoro pada 1825-1830 dan pemberontakan petani di Banten pada 1888.

Akibat pemberontakan ini, seluruh anggota PKI ditangkap oleh pemerintah Hindia Belanda dan tokoh-tokohnya, termasuk Misbach dibuang ke Tanah Manokwari. Beliau pun menghembuskan nafas terakhirnya di sana.

Namun, dampak dari pemberontakan ini membuat munculnya kesadaran perlunya kerja sama antar organisasi pergerakan bumiputra. Sebelumnya, pergerakan terkotak-kotak dalam beberapa kelompok, seperti SI sebagai representasi kaum nasionalis Islam, Budi Utomo nasionalis Jawa, dan PKI nasioalis Hindia, yang sering berselisih pendapat. 

Kesadaran ini membuahkan hasil yakni dengan lahirnya Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonseia (PPPKI) pada 17 Desember 1927 yang diinisasi oleh Sukarno. Puncaknya adalah ikrar pemuda, 28 Oktober 1928 sebagai ikrar persatuan seluruh kelompok pergerakan dalam mencapai Indonesia Merdeka yang bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. Berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Tulisan Sukarno pada Soeloeh Merdeka tahun 1926 yang berjudul: "Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme" sama betul isinya dengan apa yang ditulis oleh Haji Misbach lima tahun sebelumnya tentang kesesuaian antara Islam dan komunisme.

Misbach, sama seperi Tan Malaka dan Aidit, bahwa Islam bukanlah musuh komunis. Mereka adalah para revisionis yang menafsirkan doktirn marxisme berdasarkan budaya setempat.

Meski sepak terjang Haji Misbach ini sangat gemilang dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, tetapi jasa dan jejaknya seakan raib dalam memori kolektif bangsa ini. 

Haji Misbach nasibnya sama seperti pejuang-pejuang lainnya, yaitu di "ibliskan" karena semata-mata memilih jalan kiri dalam memerdekakan bangsa ini.


Dani Gautama,
Nederlands-Indië


Tags