Ichsan Loulembah: The God Father of Aktivisme
Oleh: Indra J Piliang
Ketua Badan Pendiri Sang Gerilya Indonesia
PERTANYAAN awal yang ingin saya jawab adalah apakah M. Ichsan Loulembah yang “menemukan” saya atau saya yang “menemukan” Ichan Loulembah?
Dalam kiprah saya sebagai intelektual atau ilmuwan publik, rasa-rasanya, Ichan-lah yang menemukan saya. Ia memberikan frasa yang tak biasa bagi saya. Kalau kebanyakan media atau wartawan menulis saya sebagai “PENGAMAT POLITIK”, Ichan langsung menyebut saya sebagai “ANALIS POLITIK”. Sebutan pengamat dan analis itu tentulah sangat berbeda.
Kalau ditanya dua orang sosok yang sangat berpengaruh dan terasa “intim” dengan keehidupan saya sebagai analis publik, tentu dengan air mata berlinang saya sebut nama Faisal H Basri dan Ichan Loulembah. Bang Faisal addalah orang yang memberikan saya kesempatan luas, setelah “menangkap basah” sejumlah jawara yang saya kerahkan menduduki Kantor Pusat Partai Amanat Nasional di Jalan Ampera Raya, guna memperjuangkan Hadi Soebadio (almarhum) untuk dapat nomor urut satu di Daerah Pemilihan Banten. “Pasukan” saya menentang Pak Muhammadi yang diplot pada nomor urut satu itu dalam Pemilu 1999.
Ichan?
Sosok yang mengeluarkan saya dari seorang kolomnis -- terutama -- Harian Kompas yang dibaca oleh Genrasi Baby Boomers. Tak kurang dari Prof Dr Juwono Sudarsono sendiri yang mengira saya adalah penulis yang berusia kepala lima, berambut putih, dan berkacamata. Terkecuali sebagai MILISI -- orang yang aktif di lebih 80 mailing list -- jarang yang betul-betul melihat profil saya. Apalagi di dunia mailing list, saya juga (pernah) menggunakan akun pseudo name yang -- ehem -- legendaris: Si Butous.
Ichan mengundang saya dalam siaran radio di Trijaya Network. Bertindak sebagai produser -- yang diteruskan Eddy Koko -- tentu Ican punya hak prerogatif mengundang pembicara. Selain disiarkan jaringan Triujaya di banyak kota, iklan acara pun terpampang di halaman-halaman koran. Kebetulan, Center for Strategic and International Studies (CSIS) tempat saya bekerja dikenal memiliki Tim Kliping terhebat di Indonesia. Yang dikliping tentu bukan saja kolom atau berita yang dimuat media massa, tetapi juga iklan acara yang melibatkan peneliti.
Berhenti sampai disana? Tidak. Dengan baik mobil Volvo yang ia kendarai sendiri, saya sering diajak ke kantor pribadinya di bilangan Pancoran. Dan di kantor itulah, Ican seakan sedang menatar dan membentuk saya, tanpa saya sadari. Tak ada lagi masalah politik atau perubahan sosial yang kami diskusikan, tetapi piringan hitam dan koleksi macam-macam kaset dan film jadoel.
Film yang sejak pertama dan berkali-kali kami tonton adalah the God Father. Sosok Al Pacino muda dan nyanyian lawas Andi Williams, masuk bukan saja ke dalam pikiran saya, tetapi membentuk pola hubungan sosial yang dekat. Bisa dikatakan, Ichan adalah mentor dan sekaligus Partner in Crime saya dalam arti sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya. Masuk ke ruang karaoke dan bahkan pub di kawasan Mangga Besar yang area keseharian saya sejak usia 19 tahun, pun bersama Ichan.
“Indra, kau jangan ceramah. Rileks,” katanya.
Tentu tak lama. Ichan harus bergerak ke arah Bintaro di Jakarta Selatan, sementara saya diturunkan di dekat restoran Holland Bakery di Jalan Gajah Mada. Tinggal menyeberang, sampai di mulut Jalan Kejayaan, sudah banyak “pasukan” yang menunggu saya untuk masuk ke Jalan Talib III, Kelurahan Krukut. Tourne ke Mangga Besar itu pun tak sering, hanya satu kali.
Dalam pertemuan-pertemuan berikutnya, baru saya paham apa maksud Ichan.
“Kau lihat kan, siapa saja yang di dalam tadi? Orang-orang yang menghadirkan peristiwa apa saja ke publik yang berasal dari kalangan jurnalis. Setiap hari, setiap minggu, setiap bulan,” begitu kira-kira. Ichan seakan menjahitkan kehidupan yang lengkap dan manusiawi, bahkan bagi profesi yang sangat terhormat di mata saya: jurnalis.
Speak softly,
love and hold me warm against your heart.
Saya tentu lebih tertarik mendalami film the God Father, ketimbang bicara orang per orang. Dan itu berpengaruh besar kepada keluarga saya yang masih belia dalam berumah tangga. Saya menikah di usia 30 tahun, pada 2002, manakala anak-anak Ichan sudah bersekolah. “Bau” Ichan segera tercium oleh istri saya, saking ada “kebaruan” dalam pilihan nyanyian atau siulan saya di rumah. Beberapa kali bersua, saat istri dan anak saya ikut mengantar ke acara di Warung Daoen, mau di Jalan Paku Buwono ataupun pindah ke Jalan Cikini Raya, seberang pintu masuk Taman Ismail Marzuki.
Dalam gerak aktivisme, Ichan adalah urat nadi dan kuncen di milis KAHMI PRO. Tetapi dalam keseharian, gerak Ichan jauh melompati pengkutuban apapun.
Dan, kemudian hadir satu sosok yang sanggup mengubah keintiman saya dengan Ichan, yakni Jeffrie Geovanie. Jeffrie setiap Jumat malam mengirimkan “undangan” nongkrong dalam bentuk singkatan nama-nama. Jeffrie adalah “Don Corleone” yang khusus membajak Jumat malam kami. Sebagai manusia yang bergerak melingkar bagai matahari, Jeffrie berpindah lounge hotel atau privat room.
Seingat saya, ada lima orang peserta tetap dalam Club of Non Rome itu, yakni Ichan Loulembah, Hamid Basyaib, Luthfi Asyaukanie, saya dan Jeffrie sendiri. Kami berlima ada dalam akte pendirian Yayasan Indonesia bersama duabelas nama lain sebagai Badan Pendiri. The Indonesian Institute adalah turunan dari Yayasan Indonesia. Mimpi Jefrie dan pendiri the Indonesian Intitute ini sungguh luar biasa: Tidak boleh ada lagi nama-nama yang bersentuhan dengan sosok-sosok masa lalu bagi masa depan Indonesia.
Alakazam. Sejak semula, kelompok ini sangat mengandalkan aksara -- baik tulisan atau lisan -- untuk hadir di panggung publik. Politik, sangat dihindari. Tetapi, apa hendak dikata, hampir seluruhnya terjun ke politik praktis. Ichan maju sebagai Calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dari Provinsi Sulawesi Tengah tahun 2004. Dalam kampanye terbuka yang dipenuhi massa, Ichan mengajak dua orang tokoh nasional dari suku yang sangat disegani di Sulawesi Tengah: Minangkabau. Kebetulan, Gubernur Sulawesi Tengah yang pertama berasal dari Minangkabau. Dua orang itu, Bang Rizal Ramli dan saya.
Saya pikir, cuma Ichan yang bakal berpolitik. Ternyata keliru. Teks yang saya kirim ke ponsel Jeffrie guna membujuknya maju sebagai Calon Gubernur Sumbar tahun 2005 berhasil mulus. Teks yang seolah jampi-jampi, ketika Jeffrie membaca.
“Buya Sjafii Maarif gagal. Din Syamsuddin gagal. Cuma kalimat lu yang bikin adrenalin gue bergemuruh!” kata Jeffrie, sambil “mampacaruik”-an saya. Sebagai “hukuman”, saya diberi tugas keliling Sumatera Barat sebagai pembuka jalan pertama bagi Jeffrie. Sebab, dari seluruh anggota timnya yang hebat-hebat itu -- tentu termasuk Ichan Loulembah -- ternyata hanya saya yang bisa berbahasa Minang. Mereka tak mengira, ternyata saya memang asli orang Minang yang kampungan dan udik.
Sekalipun menjadi seorang senator terpilih, “kegemaran” Ichan untuk mencari talenta-talenta baru dan muda sebagai analis, tak berhenti. Tugas itu berpindah ke Eddy Koko, terus Hardy Hermawan. Dan ketika Jeffrie mampu menjadi Don Corleone jejaring Jalan Wahid Hasyim 194 ini, Ichan ternyata mempromosikan saya sebagai Don King bagi petarung-petarung di dalalam ranah pergulatan pemikiran: sebagai analis. Mau ahli apapun, asal saya yang memberikan nama, sudah pasti lolos dan langsung dipanggungkan dalam acara Trijaya Network yang kemudian juga berubah atau bertambah media harian dalam bekerjasama.
Beruntung, selama menjadi Direktur Eksekutif Yayasan Harkat Bangsa yang berkantor di Jalan Proklamasi Nomor 41, saya dipercaya mengelola Kelas Indonesia Alternatif (KIA) oleh mantan-mantanm aktivis kampus yang masuk Jakarta. Selama di CSIS, saya juga menjadi Kepala Sekolah Kampung Millenium, selama lima angkatan. 40an orang anggota anggota KIA dan 350an alumnus Kampung Millenium CSIS, bagi saya adalah jaringan yang sangat kuat. Apalagi ketika merekrut calon-calon peserta Kampung Millenium, wajib diisi minimal dua orang calon, satu laki-laki, satu perempuan, dari satu provinsi.
Apapun itu, tak ada yang lebih penting dan berharga, ketika bicara dengan Ichan, terkecuali masalah keluarga. Dan airmata kembali lagi menetes.
Pertengahan Maret 2023 lalu, saya hadir dalam acara “Lelang Kue” Pembuatan Film tentang Sosok Pahlawan Nasional asal Sulawesi Tengah, Tombolotutu. Ichan tentu saya kontak. Ia ternyata sedang menonton musik di Solo.
Saya tak menyia-nyiakan kesempatan itu, berbicara via telepon, lalu berkirim chatting panjang. Bercerita tentang keluarga saya, anak-istri saya. Seolah, melapor kepada ayah sendiri. Ayah, adalah sosok yang dikenal keras, tak punya rasa takut. Namun, setiap kali ayah bersua dengan menantu perempuannya -- kami bertujuh, enam laki-laki, bersaudara -- ayah pasti menangis. Kala itu, walau dengan nada becanda, saya merasa plong sudah meluapkan kisah sangat pribadi yang sebelumnya hanya sempat saya sampaikan dengan nada yang serupa kepada Bang Fahmi Idris -- yang kemudian juga berpulang.
Dan seseorang yang sangat dekat dengan saya, benar-benar meluapkan amarahnya kepada saya. Hanya karena saya tak memberi kabar tentang kepulangan Ichan Loulembah kembali ke haribaan Illahi Rabbi. Hari Minggu, 30 Juli 2023, ketika Ichan berpulang, ponsel saya dalam keadaan off. Dosa yang tak berampun. Kondisi saya memang kurang vit, akibat aktivitas yang melelahkan setiap Minggu.
Saya yakin, Ichan memaafkan saya, atas kelalaian itu. Tetapi publik, tidak. Saya adalah Co Assistant dari belasan ribu nomor telepon. Tanyakan ke Ichan, atau ke saya, bakal didapat nomor telepon tokoh yang dicari, terutama oleh kader-kader muda.
Ampuni saya. Maafkan saya…
Markas Gerilyawan, Griya Kemayoran, 03 Agustus 2023…