Mengapa Belanda dan Sekutu Enggan Masuk Lagi ke Aceh?
Mengapa Jepang Membiarkan Aceh Membentuk Pasukan Bersenjata di tahun 1945?
Penulis Iskandar Norman
UNTUK menjawab pertanyaan ini, saya gunakan tiga buku referensi saja, yakni buku Mata Rantai Yang Hilang yang ditulis oleh M Nur El Ibrahimy, diterbitkan pada tahun 1996 di Jakarta oleh Gramedia Widia Sarana Indonesia (Grasindo).
Kemudian yang kedua buku Batu Karang di Tengah Lautan yang ditulis oleh pelaku sejarah itu sendiri, yakni Teuku Alibasjah Talsja. Buku ini diterbitkan pada tahun 1990 oleh Lembaga Sejarah Aceh (LSA) atas bantuan Menteri Koperasi Republik Indonesia, Bustanil Arifin yang juga pelaku pejuang kemerdekaan di Aceh.
Satu lagi, yang ketiga adalah buku yang ditulis Anthony Reid, sejarawan Asia Tenggara kelahiran Selandia Baru, The Blood of the People-Revolution and the end of Traditional Rule in Nothern Sumatera. Buku ini diterbitkan di Kuala Lumpur, Malaysia, pada tahun 1979 oleh University of Malaya Press.
Dari tiga buku itu, kita bisa mengetahui bahwa Jepang bukannya membiarkan Aceh membentuk angkatan bersenjata, tapi Jepang memang tak mampu mencegahnya. Pemerintah Jepang mengetahui rapat-rapat rahasia yang dilakukan mantan-mantan opsir Gyugun Aceh tentang pembentukan angatan bersenjata itu. Karena rapat itu dilakukan bukan di tempat rahasia, tapi secara terang-terangan di lakukan di tengah kota Banda Aceh, yakni di Centraal Hotel, bekas European Hotel pada masa kolonial.
Rapat itu berlangsung pada 27 Agustus 1945, dua hari setelah Jepang menyerah kalah kepada Sekutu. Rapat itu melahirkan keputusan membentuk sebuah kesatuan bersenjata dengan nama Angkatan Pemuda Indonesia (API). Pasukan ini dibentuk sebagai persiapan untuk mencegah Belanda masuk kembali ke Aceh.
Dan ini berhasil dilakukan, Aceh menjadi satu-satunya daerah di Indonesia yang tidak mampu dimasuki Sekutu/NICA pada agresi kedua. Setelah Yogyakarta dikuasai Belanda, para perwira militer Indonesia “hijrah” ke Aceh, mereka memperkuat angkatan bersenjata di Aceh.
Kembali ke pertanyaan awal, mengapa Jepang tidak melakukan pencegahan? Jepang sudah berusaha, tapi Aceh tak menggubrisnya. Malah Jepang sendiri panik di Aceh setelah sebagian besar persenjataan Jepang dilucuti oleh Residen Aceh, termasuk lima pabrik senjata dan beberapa pangkalan udara.
Jepang kemudian malah memfasilitasi seorang perwira sekutu, Mayor Maarten Knottenbelt masuk dari Medan ke Banda Aceh untuk meminta kembali senjata-senjata Jepang yang sudah dilucuti oleh Residen Aceh.
Sekutu/NICA yang sukses melucuti kekuasaan Jepang di daerah lain, tapi tidak dengan Aceh. Residen Aceh Teuku Nyak Arief menolak permintaan Maarten Knottenbelt dan mengusirnya dari Aceh.
Teuku Nyak Arif bersama Teuku Panglima Polem Muhammad Ali memanggil semua pejabat senior, tokoh masyarakat dan tokoh militer di Aceh, untuk membicarakan kemungkinan kembalinya Belanda ke Aceh dan langkah-langkah yang akan dilakukan.
Rapat besar tersebut kemudian mengambil keputusan, mengucapkan ikrar sumpah untuk mempertahankan Aceh dari upaya-upaya masuk kembali Belanda.
Pengucapan sumpah dipimpin oleh seorang ulama bernama Teungku Syeh Muhammad Saman Siron. Orang pertama yang mengucapkan sumpah adalah Teuku Nyak Arif, kemudian disusul Teuku Panglima Polem Muhammad Ali dan para tokoh masyarakat dan pejabat senior Aceh lainnya.
Mengetahui hal itu pemerintah Jepang di Aceh semakin tidak bisa berbuat banyak. Mereka membiarkan saja rapat-rapat khusus yang digelar pejuang kemerdekaan di Aceh. Seolah-olah mereka tidak mengetahuinya. Dua hari kemudian, 29 Agustus 1945, Jepang mengangkut semua pejabatnya ke Medan.
Tapi lagi-lagi, sampai ke Medan, Sumatera Utara, Sekutu/NICA memerintahkan tentara Jepang untuk kembali ke Aceh, meminta Jepang mengambil kembali senjata-senjata yang sudah diserahkan kepada rakyat Aceh. Sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh Jepang, dan karena itu pula, Sekutu/NICA tidak berani masuk ke Aceh.
Pasukan dari Aceh kemudian digerakkan ke Medan, Sumatera Utara (saat itu masih disebut Sumatera Timur) untuk membebaskan kota Medan dari pendudukan Sekutu/NICA. Pasukan dari Aceh dalam perang Front Medan Area itu dikenal sebagai Resimen Istimewa Medan Area (RIMA)
Foto 1. Mayor Maarten Knottenbelt [Repro: El Ibrahimy]
Foto 2. Para perwira militer di Aceh pada awal kemerdekaan [Repro: Talsya]
Sumber: FB Nederlans-Indië