News Breaking
Live
update

Breaking News

Ganjar Ragu, Prabowo Normatif, Anies Membawa Harapan (Catatan Debat I Pilpres 2024)

Ganjar Ragu, Prabowo Normatif, Anies Membawa Harapan (Catatan Debat I Pilpres 2024)



Oleh M. Nabil Kalabe’en


DEBAT 1 Pilpres 2024 tak menghasilkan banyak kejutan. Latar epistemik semua Capres di panggung belakang sangat kuat mewarnai arena panggung depan debat. Secara teknis dan substansi, debat berjalan relatif baik dan dinamis. Hanya saja ada hal teknis yang patut dievaluasi, yaitu ketika semua calon dibiarkan berdiri tanpa meja/podium/tempat duduk kurang lebih 2 jam dan terlalu banyaknya prosesi undian yang memakan waktu. 

Dari awal, Ganjar Pranowo tampak “ragu-ragu,” terutama untuk menunjuk “eror“ sekaligus “dalang” dari semua ‘sengkarut’ kehidupan demokrasi kita hari-hari ini; Tak seperti Pilpres tahun 2019, Prabowo Subianto kini justru sangat “normatif”, hanya melihat demokrasi dan hukum sebagai prosedur semata yang dianggap telah berjalan relatif baik. Tak lebih dan tak kurang. 

Berbeda dari keduanya, Anies Baswedan datang ke panggung debat dengan ide yang clara et distincta. Dibawakan dengan artikulasi yang progressif plus attraktif, gagasan Anies mendatangkan “harapan” bagi publik, setidaknya dilihat dari keberaniannya menunjuk pada ‘kekuasaan’ (Istana) yang hari-hari ini lebih banyak mengatur ‘hukum’ daripada mengatur dirinya sendiri. 

Pada kesempatan pertama, Anies langsung menggebrak dengan mengingatkan dan memastikan ulang bahwa ‘Res Publica’ kita dipandu dengan hukum. Kekuasaan harus tunduk kepadanya, dan bukan sebaliknya. Namun, apa yang terjadi hari-hari kini, kekuasaan justru seolah-olah berada di atas hukum, “Ada 1 orang milenial bisa menjadi Calon Wakil Presiden, tetapi ada ribuan milenial Generasi Z yang peduli pada orang yang termarjinalkan, ketika mengungkapkan pendapat sering dihadapi dengan kekerasan, dan bahkan gas air mata.” Anies hanya mengemukakan 1 gejala dari banyak gejala lainnya. Karena itu ia hadir mendedikasikan diri dengan penuh komitmen bahwa dari puncak kekuasan sampai ke bawah, akan menegakkan hukum pada siapa saja. “Kami kembalikan marwah kehidupan bernegara yang menempatkan hukum sebagai tempat yang paling tinggi.”

Normativitas Prabowo mencoba mengimbangi gebrakan Anies. Prabowo mendasarkan argumennya pada suatu fakta bahwa di tengah gejolak dunia yang sedang penuh ketidakpastian, Indonesia masih aman. Prabowo normatif saja, “Kita faham, kita mengerti, masih banyak kekurangan. Tetapi Indonesia masih aman, Indonesia masih damai Indonesia masih terkendali harga-harga masih terkendali, ekonomi masih aman.Karena manajemen negara yang berhasil.” Tingkat keberhasilan negara bagi Prabowo justru hanya diukur melalui entitasnya yang masih ada, terkendali, dan belun bubar. Soal warganya menderita atau tidak, seolah tak menjadi perhatian.

Keragu-raguan Ganjar menyela di tengah-tengah normativitas Prabowo dan harapan yang diusung Anies. Ganjar seolah datang menyodorkan alternatif. Tetapi ceritanya yang berkepanjangan tentang orang-orang yang ditemuai dari Sabang sampai Merauke, membuat ia kehilangan poin perihal apa yang hendak disampaikan. Keragu-raguannya justru semakin tampak pada kesempatan ini, terutama ketika ia menyerukan agar demokrasi harus dijaga bersama-sama, pemerintah harus akomodatif dan bersih. Ganjar yang kelihatan ragu untuk menunjuk ‘aktor’ di balik kegagalan rezim saat ini, membuatnya ia tak lebih dari sekedar seorang ‘motivator.’

Pada kesempatan lain, Anies mencoba memancing lawan debatnya untuk melakukan pendalaman pada inti persoalan. Melalui symptomatic reading, Anies menyodorkan 3 hal terkait perkembangan demokrasi kita hari-hari kini. Pertama, kebebasan berbicara sedang berada dalam ancaman setiap waktu. Kedua, ketiadaan oposisi yang kuat membuat demokrasi kita mengalami dekadensi. Ketiga, proses Pemilu yang penuh dengan “persekongkolan” membuat demokrasi kita semakin hancur baik di mata rakyat lebih-lebih di mata internasional. 

Sayangnya, Prabowo keteteran dan gagal memahami poin yang disampaikan Anies. Pijakannya masih kembali pada aspek normatif. Menurutnya, jika demokrasi kita mengalami dekadensi, maka Anies yang berkompetisi untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta pada 2017 lalu, tak akan terpilih. “Kalau demokrasi kita tidak berjalan, tidak mungkin Anda (Anies) jadi Gubernur. Kalau Jokowi diktator, Anda tidak mungkin menjadi Gubernur,” demikian Prabowo.

Prabowo melihat demokrasi sebagai norma dan prosedur semata yang dijalankan melalui Pemilu. Ia belum melihat secara lebih dalam bahwa demokrasi adalah menjalankan kedaulatan rakyat yang diatur melalui konstitusi sebagaimana diajukan Anies. Di situ, kebebasan berkumpul dan berpendapat dijamin tanpa intimidasi dan ketakutan. Dan tak hanya itu, keberadaan oposisi yang kuat juga sangat penting dalam perkembangan demokrasi karena adanya check and balances memungkinkan penguasa untuk membuka partisipasi publik dalam semua kebijakannya. Bagi Anies, menjadi oposisi tak kalah terhormat daripada penguasa karena keduanya sama-sama menjalankan kedaulatan dan mandat rakyat. 

Penyelenggaraan Pemilu yang jurdil adalah aspek penting lain yang menjadi proposal Anies. Akan tetapi saat ini, proses Pemilu sudah cacat sejak permulalan, utamanya melalui putusan MK yang penuh “kontroversi” yang hendak meloloskan Cawapres nomor urut 2. Tak pelak lagi, sampai saat ini, legitimasinya selalu dipertanyakan oleh publik.

Datang hendak menengahi debat Anies dan Prabowo yang sengit, Ganjar mengajukan tentang sentralnya peran partai politik dalam proses demokrasi. Menurutnya, suka atau tidak suka, mau tidak mau, fungsi partai politik adalah agregasi merekrutmen kader, pendidikan politik, serta penguatan partisipasi masyarakat. Ini harus menjadi agenda utama Parpol. Tanpa Parpol, demokrasi tak akan bertumbuh. Namun sayangnya, di bagian akhir Ganjar anti klimaks. Ia menempatkan posisi Parpol dalam beroposisi terhadap kekuasaan hanya tergantung pada ‘kepentingannya.’ Pada titik ini, Ganjar justru mendangkalkan peran Parpol yang seolah-olah hanya mengikuti kepentingan pragmatis-oportunis, dan bukan ideologis. Secara tidak langsung, Ganjar mengamini posisi dan kondisi sebagian besar Parpol saat ini, terutama di Parlemen, yang hanya menjadi stempel Pemerintah. 

Kegeniusan Anies semakin tampak ketika ikut menunggangi persoalan yang sedang hangat di publik, terutama terkait pelanggaran etika berat dalam putusan MK dan MKMK. Dan tak mau kalah, pada kesempatan berikutnya, Ganjar juga terpancing untuk terlibat arus gelombang yang sama. Dalam persoalan ini, posisi Prabowo seolah terjepit. Akan tetapi sebagai bentuk pertahanan, ia kembali berpijak pada aspek normatif dari keputusan tersebut. Menurutnya, MK memiliki aturan yang sudah jelas. “Kita juga bukan anak kecil, rakyat kita juga pandai, rakyat kita juga sudah tahu. Yang intervensi MK siapa?” Tanya Prabowo. Sembari mejawab pertanyaan sendiri, Prabowo mengatakan bahwa konstitusi harus kita tegakkan, keputusan MK final dan mengikat. Kita semua sudah tahu akan hal tersebut. Seolah ia menegaskan ulang bahwa tak ada masalah dengan proses pencawapresan Gibran Rakabuming Raka dan mengapa harus dipersoalan terus-menerus.

Untuk menguji hukum yang senafas dengan keadilan, Anies menyoal tentang tragedi kemanusiaan paling memilukan era rezim ini: “Kanjuruhan” dan “KM 50.” Proses pengadilan memang telah dijalankan untuk kasus ini. Akan tetapi sangat jauh dari rasa keadilan. Anies mengajukan persoalan ini pada Capres nomor urut 3, Ganjar Pranowo. Seperti posisi awalnya, jawaban Ganjar tetap tampak ragu-ragu, seolah ia “mencari aman”. Menurutnya, “Kita bisa bertemu dengan para pencari fakta, dari sisi lindungi korban, kita bisa membereskan urusan mereka dari sisi keadilan korban. Ketika kita bisa bereskan semuanya, maka kita akan naik dalam satu tahap.”

Keraguan Ganjar didobrak oleh Anies untuk mengatasi tragedi Kanjuruhan dan KM 50 dengan mengajukan 4 hal. Pertama, memastikan bahwa proses hukum menghasilkan keadilan. Kedua, mengungkap seluruh fakta dan menjadi pengetahuan semua. Ketiga, korban harus mendapat kompensasi agar jelas. Keempat, negara harus memberikan jaminan bahwa peristiwa-peristiwa seperti ini tidak boleh berulang kembali. Apabila 4 ini dapat dikerjakan, “maka kita tidak bisa ‘abu-abu’ seperti yang tadi disampaikan. Saya melihat kalau begitu, 4 ini harus dilakukan berarti yang pertama mungkin kita harus melakukan investigasi ulang. Melakukan review. Kita harus menyelamatkan institusi memastikan bahwa institusi itu selamat.”

Banyak topik lain yang juga diulas dalam debat tersebut. Namun ulasan dari ketiga Capres tak bisa lolos dari posisi epistemik awal mereka. Dari perdebatan yang berlangsung hampir 2 jam, secara samar-samar tidak terlalu sulit untuk menempatkan kategori paradigmatik dan ideologis pada setiap Capres. Anies mengusung perubahan sebagai antitesa dari rezim Jokowi dengan metodologi yang ketat dan konsisten. Top of mind dari calon ini adalah “keadilan dan kesejahteraan untuk semua”; Prabowo tak mengusung ide apa-apa selain apa yang telah dilakukan Jokowi. Top of mind dari calon ini sangat normatif: ‘keberlanjutan.’ Yang ragu-ragu adalah ganjar. Ia kebingunan untuk menempatkan dirinya, apakah anti atau pro Jokowi. Top of mind dari calon ini tak dapat diidentifikasi ke dalam kategori ‘yang pasti’.

Di hadapan panggung debat 1, tersaji tiga Capres di hadapan pemilih Indonesia dengan tiga karakter yang berbeda. Karena tuntutan zaman dan keadaan, ketiga karakter tersebut realtif sulit dipersatukan. Mereka memiliki jalan pengetahuan dan kekuasaannya sendiri-sendiri. Mereka seolah memenuhi kategori seperti apa yang dikatakan salah satu filsuf madzhab Stoa, “Dalam diri manusia yang memiliki karakter puncak dan kecerdikan yang luhur, terletak hasrat yang kuat akan kebanggaan komando, kekuasaan, dan kemenangan.”

Siapakah dari ketiga calon dengan kelemahan dan keunggulan masing-masing yang dapat menyelesaikan banyak persoalan kita hari-hari kini? Satu hal yang pasti, tak ada pemimpin yang tepat untuk segala zaman. Karena seperti dikatakan banyak para avantgarde, kepemimpinan adalah peran yang sangat dinamis yang sangat tergantung pada keadaan zaman. Karenanya pemimpin yang ‘benar’ belum tentu cucok jika datang pada waktu yang salah.

Di atas segalanya, krisis multidimensional seperti saat ini, tidak membutuhkan kepemimpinan peragu, apalagi yang normatif. Krisis hari-hari kini hanya dapat terselesaikan dengan kepemimpinan yang mengusung misi pembebasan dan penyembuhan penyakit bawaan permanen kekuasaan. 

Dalam krisis kebangsaan dan kenegaraan yang sedalam ini, kepemimpinan yang dibutuhkan adalah mereka yang mampu memadukan kecakapan persuasi dan kecapan tata kelola dengan berpijak secara teguh antara janji politik dan kinerja politik. Siapa yang akan terpilih untuk mengisi kepemimpinan yang demikian? Kitalah penentunya pada 14 Februari nanti! Wallahu a’lam bisshawab. [*]

Tags