Pao An Tui dan Peristiwa Bagansiapiapi
![]() |
Simpang Jalan Bank & Jalan Pos. Kini berupa simpang Jalan yg berada di depan kantor Bupati Rokan Hilir. Di simpang inilah terjadi insiden yg menyebabkan tewasnya Kapiten Lu Cin Po. (ist) |
tanjakNews.com, TEMPO DOELEOE -- Kurangnya komunikasi dan saling percaya kerap memicu pertikaian. Kondisi serupa terjadi dalam kekerasan antara pihak pro Republik Indonesia-barisan perjuangan dengan masyarakat Tionghoa dan Barisan Penjaga Keamanan Tionghoa Pao An Tui di Bagansiapiapi, Riau. Kekerasan bersenjata terjadi dua kali di Bagansiapiapi semasa Perang Kemerdekaan RI (1945-1949).
Kota yang berpenduduk 80 persen Tionghoa dari 30.000 penduduk di tahun 1945 itu adalah pelabuhan perikanan terbesar di Nusantara. Hingga tahun 1940an Bagansiapiapi menjadi ajang pertempuran berdarah antara pihak pro Republik Indonesia dengan Pao an tui akibat kurangnya saling pengertian masing-masing pihak.
Pada saat Proklamasi RI 17 Agustus 1945 tidak disebutkan bahwa seluruh penduduk saat Proklamasi secara otomatis menjadi warga NKRI. Banyak orang dari berbagai latar berbeda akhirnya mengafliasikan diri dengan identitas kewarganegaraan lain, termasuk warga negara Republik Tiongkok. Karena tidak adanya stelsel kewarganegaraan Indonesia yg diberikan merata kepada semua orang di bekas Hindia Belanda saat Proklamasi Kemerdekaan dimaklumatkan.
Sudarno Mahyudin dalam buku 'Gema Proklamasi Kemerdekaan RI dalam Peristiwa Bagansiapiapi', menjelaskan Insiden Bagansiapiapi I terjadi pada tanggal 12 Maret 1946, saat masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi sedang mengibarkan bendera Republik Tiongkok tanpa didampingi bendera merah putih. Tindakan ini membuat anggota Front Perjuangan Rakyat Indonesia (FPRI) tersinggung. Mereka menilai pengibaran bendera tersebut dianggap pelecehan.
Catatan penulis, sebagai anggota negara sekutu yang mengalahkan Jepang, bendera Republik Tiongkok setara dikibarkan dengan Bendera AS, Inggris, Perancis, dan Australia sebagai pihak pemenang perang Pasifik. Terlebih lagi, Pemerintah RI juga membuka komunikasi dengan Republik Tiongkok.
Panji Tiongkok dikibarkan karena memang adanya perbedaan kekawulaan masyarakat Tionghoa, bukan sebagai warganegara Hindia Belanda (Nederlands onderdaan) dan sebagai penanda netralitas. Kesalahpahaman dan perbedaan pandangan kerap memicu kekerasan di masa revolusi fisik, terlebih di beberapa daerah di Indonesia memang terjadi hubungan yang berjarak antara masyarakat Tionghoa dan suku lainnya.
Sudarno Mahyudin mencatat, Wedana setempat M. Yatim Lubis menerima pengaduan para pemuda FPRI dan TKR. Dia pun memanggil Kapiten Cina Lu Cin Po. Sudarno Mahyudin menulis, saat perundingan berlangsung, ada oknum TKR dan FPRI yang tidak dapat mengendalikan emosi. Mereka melakukan tindakan sendiri-sendiri di luar kendali pemerintahan RI.
Kapiten Lu Cin Po memenuhi Panggilan Wedana tersebut dan datang di kantornya di Jalan Rumah Sakit Umum (kini Jl. Dr. Pratomo) pukul 09.00 pagi. Wedana M. Yatim Lubis didampingi Buyung Ketobah. Menurut Sudarno Mahyudin, perundingan berjalan lancar dan penuh rasa persahabatan. Namun sayangnya, saat perundingan berlangsung, situasi di Bagansiapiapi semakin memanas akibat ulah oknum TKR dan FPRI yang bertindak sendiri menurunkan bendera Republik Tiongkok (bendera Kuomintang) dari rumah-rumah warga Tionghoa di dalam kota.
Melihat situasi tersebut, Polisi Tentara (PT atau yang lebih dikenal Polisi Militer-PM) yang dipimpin Jakob Jaya berusaha mengendalikan situasi. Amran Liki, anggota PT setempat segera memerintahkan anggota TKR yang bertindak di luar kendali untuk kembali ke Markas (Gedung SDN I) sekarang agar konsinyir (bersiaga).
Kahar Yakin, seorang anggota TKR, menebang tiang bendera Republik Tiongkok yang dipasang di depan kedai pangkas rambut Tiu Nai Kuai (sudut Jalan merdeka dan Jl. Sentosa sekarang). Aktivis Politik Tionghoa yang biasanya berkumpul di kedai tersebut, melihat tindakan Kahar yakin menjadi marah. Mereka mendirikan bendera yang dirobohkan. Sebelum terjadi bentrokan fisik, Amran liki tiba di tempat dan mencegah keributan. Ia memerintahkan Kahar kembali ke markas.
Namun, PT tidak bisa berbuat banyak mengendalikan para pemuda laskar yang bukan anggota TKR. Seorang oknum FPRI dari unsur Hizbullah bernama Jaman sirait memberi komando untuk mencopot seragam dan bertindak sendiri atas nama pribadi. Ia memerintahkan anak buahnya untuk mencopoti bendera Republik Tiongkok di kota Bagansiapiapi.
Perundingan Wedana Lubis dan Kapiten Lu Cin Po masih berlangsung. Sebagian masyarakat Tionghoa di Bagansiapiapi bersikap moderat dan bisa memaklumi emosi para pemuda lalu dengan sukarela menurunkan bendera Republik Tiongkok. Ada juga yang berinisiatif memasang bendera Merah Putih berdampingan dengan bendera Republik Tiongkok.
Pada sekitar pukul 11.00 siang tanggal 12 Maret 1946, Wedana Lubis dan Kapiten Lu Cin Po bersepakat bahwa masyarakat Tionghoa diberi kesempatan mengibarkan bendera Rebuplik Tiongkok dengan bendera Merah Putih paling lambat pukul 12.00. Bendera Merah Putih di sebelah kanan dan bendera Republik Tiongkok di sebelah kiri. Apabila sampai batas waktu (satu jam) kesepakatan tidak bisa dipenuhi, maka bendera Republik Tiongkok harus diturunkan.
Setelah sepakat, Kapiten Lu Cin Po yang mengayuh sepeda ontelnya meninggalkan kantor KNID menelusuri Jl. Dr. Pratomo langsung menuju Jl. Merdeka (dulu Jalan Bank). Lalu ia berbelok ke arah Jalan Perniagaan (dulu Jalan Pasar) pusat Pecinaan Bagansiapiapi. Terlihat massa berkerumun di sana sini dan suasana semakin tegang. Di sepanjang jalan warga mengadukan orang-orang berpakaian preman yang memaksa menurunkan bendera Republik Tiongkok dari rumah warga.
Melihat keadaan semakin kacau, Kapiten Lu Cin Po berbalik arah dan diduga akan kembali ke kantor KNID untuk menemui Wedana Lubis untuk melaporkan perkembangan situasi yang terjadi di luar kesepakatan kedua pihak.
Kapiten Lu Cin Po terbunuh
Belum sempat tiba di kantor KNID menemui Wedana lubis, tiba-tiba Ia dicegat gerombolan pemuda FPRI di sudut Jalan Bank dan Jalan Kantor Pos (kini Jalan Perwira). Terlihat beberapa orang dari kelompok pencegat yakni Rifa'i Abidin, Wan Saleh Tamin, Abdul Hakim, dan Dudin. Mereka menuntut Kapiten Lu Cin Po bertanggung jawab. Lu Cin Po masih duduk di atas sepedanya saat para pemuda mengerumuninya. Para pemuda menganggap Lu Cin Po bersikap arogan. Setelah berbicara singkat, Lu Cin Po berujar "sabat... sabat" (maksudnya : sabar). Namun, seorang pemuda bernama Rifai Abidin tanpa banyak bicara, dari jarak dekat langsung menyambar pedang shin guntonya ke leher Lu Cin Po yang tidak sempat mengelak.
Saat itu menjelang tengah hari, lehernya nyaris putus. Darahnya menyembur. Ia pun roboh di tempat. Beberapa warga Tionghoa setempat yang melihat peristiwa tersebut segera membawa Kapiten Lu Cin Po ke rumah sakit namun Ia keburu tewas sebelum tiba di RS.
Kabar pembunuhan itu segera menyebar. Masyarakat Tionghoa dan pribumi berkumpul di tempat hunian masing-masing. Massa dari Kampung Jawa dipimpin Amat Mirah dengan 20 orang bermaksud menyerang Kota Bagansiapiapi. Setibanya di Parit Tangko, Amat Mirah mendapat instruksi dari Komandan FPRI Mas Wiryodiharjo untuk menurunkan bendera Kuomintang hingga Simpang tukang besi. Amat Mirah meneruskan perintah tersebut kepada anak buahnya.
Kelompok Amat Mirah mendapat tambahan 10 orang pengikut dari kota Bagansiapiapi yang berasal dari Jalan Siakap (kini Jalan Siak) dan dari Bagan Hulu. Gabungan pasukan dari Kampung Jawa dan Bagansiapiapi menjalankan perintah Komandan FPRI utk menurunkan bendera Kuomintang dari rumah orang-orang Tionghoa.
Tindakan Amat Mirah dan pasukannya mendapat perlawanan sengit dari warga Tionghoa yang menggunakan senjata tradisional seperti tempuling (tombak dgn mata bercabang), tombak, pedang, dan lain-lain.
Sebagian besar pasukan Amat mirah tewas dalam perang sosoh di sekitar Parit Tangko dan Simpang tukang besi. Sudarno Mahyudin mencatat ada 16 orang pemuda tewas dalam pertempuran tersebut, termasuk Amat Mirah.
Pasukan bantuan FPRI Bagansiapiapi dipimpin Mas wiryodiharjo dan A. Karim Said terlambat tiba di lokasi, pasukan Tionghoa sudah menguasai wilayah Simpang tukang besi hingga Parit Tangko. A. Karim Said menyarankan Mas wiryodiharjo utk mundur. Mereka pun bergerak dan bertahan di Komplek Water Leiding di ujung Jalan Siakap. Mas Wiryodiharjo juga menjabat Kepala Jawatan Water Leiding
Bala bantuan FPRI Kampung Jawa (kini Bagan Jawa) sebanyak 20 orang yang dipimpin Mahyudin Ahmad juga terlambat tiba di Parit Tangko. Mereka mendapati banyak penduduk yang kabur ke Kampung Jawa dan mengabarkan pasukan Tionghoa sangat banyak sehingga tidak seimbang dengan kekuatan pemuda. Mahyudin Ahmad bersama pasukannya mundur kembali ke Kampung Jawa.
Pembunuhan Kapiten Cina Lu Cin Po (12 Maret 1946) memicu Peristiwa Bagansiapiapi I yang meluas ke daerah lain, yakni desa-desa di sepanjang aliran Sungai Rokan seperti Labuhan Tangga, Langgadai, Bantayan, Teluk Pulau, bahkan hingga ke Tanah Putih. Orang Tionghoa di desa-desa tersebut hidup berkebun karet, ubi, keladi, dan berdagang kelontong. Ada sekitar 500-an Orang Tionghoa bermukim di desa sepanjang alur Sungai Rokan. Mereka menjadi korban pembalasan oleh penduduk desa terhadap tewasnya Amat Mirah dan anak buahnya yang dipicu oleh pembunuhan terhadap Kapiten Lu Cin Po. Dicatat oleh Surdano Mahyudin, ratusan orang Tionghoa yang tidak tahu masalah politik malah menjadi korban pembunuhan. Kekerasan juga merambat terhadap warga pribumi yang bekerja di Bangliau-bangliau Tionghoa turut menjadi korban pembalasan dendam atas pembunuhan Kapiten Lu Cin Po oleh Pemuda FPRI.
Selama Peristiwa Bagansiapiapi I, diperkirakaan korban tewas mencapai 500 jiwa. Kurangnya komunikasi dan pemahaman kedua belah pihak mengakibatkan pembunuhan Kapiten Lu Cin Po yang akhirnya memicu kekerasan dan aksi saling balas dendam antara masyarakat Tionghoa dan kelompok Pemuda FPRI.
Walau kekerasan dalam Peristiwa Bagansiapiapi I berangsur-angsur surut, suasana kawasan tersebut seperti api dalam sekam. Pemuda Tionghoa tetap bersikap emosional menuntut penyelesaian kasus pembunuhan Kapiten Lu Cin Po. Mereka senantiasa bersiaga membawa beraneka ragam senjata tajam. Panji-panji tradisional Tionghoa dinaikan, sebagai simbol perang yang dipasang sejak kematian Kapiten Lu Cin Po, tidak pernah diturunkan.
Saat itu aparat keamanan Indonesia sangat terbatas, sehingga tidak efektif menjaga keamanan. Penduduk Tionghoa melakukan latihan militer di Pulau Halang yang penduduknya 100 persen Tionghoa. Instruktur mereka didatangkan dari Medan. Mereka mengadakan kontak dengan orang Tionghoa di Tanjung Balai Asahan, Medan bahkan dengan Singapura dan Semenanjung Melayu.
Demi mengantisipasi terulangnya Peristiwa Bagansiapiapi I, orang Tionghoa melakukan hubungan kontak dengan Pasukan keamanan Pao An Tui (保安隊 Pao An Tui dalam bahasa Mandarin artinya Barisan penjaga kedamaian) di Medan. Pao An Tui Medan lalu membentuk pasukan keamanan di Bagansiapiapi. Pao An Tui memasok senapan mesin Bren, senapan Lee Enfield, seragam drill khaki (seragam tentara Inggris), helm, serta perlengkapan lainnya. Sebagian dari perlengkapan tersebut adalah senjata rampasan perang dari tentara Jepang yang menyerah.
Sudarno Mahyudin mencatat adanya pula hubungan orang Tionghoa Bagansiapiapi dengan Serikat rahasia (Triad atau Tong) di Semenanjung Melayu. Serikat rahasia bernama Ku Lo tsb berpusat di Tanjung Kurau. Kelompok Ku Lo memasok senjata api ringan seperti pistol, karbin, hingga mitraliur. Pasokan senjata dikirim melalui Pulau Ketam (wilayah pesisir Kuala Lumpur dekat Port Klang yang saat itu disebut Port Swettenham). Konon ada kesepakatan kelompok Ku Lo mendapat konsensi bisnis hitam di Bagansiapiapi seperti tempat pelacuran, perdagangan candu, penyeludupan dan perjudian jika orang Tionghoa setempat bisa menguasai keadaan.
Sudarno Mahyudin menyimpulkan, dalam Peristiwa Bagansiapiapi I orang Tionghoa belum memakai senjata api sama sekali yang lalu digunakan dalam Peristiwa Bagansiapiapi II. Jangka waktu kerusuhan antara Peristiwa Bagansiapiapi I dengan Peristiwa Bagansiapiapi II hanya berselang waktu enam Bulan. Setelah berkoalisi dengan Kelompok Ku Lo, Pao An Tui Bagansiapiapi dengan polisi Indonesia akhirnya melawan Kelompok Ku Lo dalam kontak senjata pada Februari 1947. Tercatat 28 orang anggota Kelompok Ku Lo termasuk pemimpinnya bernama Kun Po tewas dalam kontak senjata tersebut. Pasalnya, Kelompok Ku Lo tidak hanya menguasai bisnis haram di Bagansiapiapi, mereka juga memeras toko-toko emas, kedai kopi (kopi tiam), pedagang ikan dan lain-lain
Sumber :
Najmi Fais Rabbani/FB Masa Hindia Belanda
Sudarno Mahyudin, Gema Proklamasi kemerdekaan RI dalam Peristiwa Bagansiapapi
Iwan Santosa, Tionghoa dalam sejarah kemiliteran
Bagansiapiapi Tempo Doeloe