News Breaking
Live
update

Breaking News

Kampung Elok Bareh Solok

Kampung Elok Bareh Solok



Oleh: All Amin

Part of Life Experience Tourism: Menemukan Tenang di Ranah Minang

Bagi yang sama sekali belum mengenali seluk beluk perdagangan komoditas, kemungkinan bisa terkecoh ketika membeli beras.

Sekadar contoh; coba perhatikan karung beras di rumah. Mungkin ada yang bertuliskan Beras Cianjur di kemasannya. Tentu kita mengartikan bahwa beras itu berasal dari padi yang ditanam di sekitaran Cianjur. Pengertiannya betul. Tapi, justru di situ letak terkecohnya.

Beras didapat dari hasil alam, bukan produksi pabrik yang bisa dikejar volumenya untuk mengimbangi permintaan pasar. Bahan bakunya terbatas. Sebab, masa panen padi ada jeda waktunya. Sedangkan permintaan beras setiap saat selalu ada.

Cobalah datang ke penggilingan padi yang sekaligus pedagang beras di Cianjur. Tes pesan beras 10 ton. Satu truk engkel. Walau sedang tidak musim panen, berasnya tetap bisa disiapkan. Caranya mereka mendatangkan gabah dari Karawang, Lampung, Jateng, atau dari daerah mana saja yang sedang panen saat itu. Lalu, berasnya tetap dimasukan ke dalam karung yang bertuliskan Beras Cianjur itu.

Itukan permainan skala domestik. Bagaimana dengan global trading. Pho do whae boss. Ekspor green bean kopi satuannya kontainer. Isinya 18 ton. 300 karung × 60 kilo. Kopi arabika dari Sumatra yang akan dikirim ke Amerika berangkat dari Pelabuhan Belawan, Medan. 

Ketika janji pengapalan sudah mepet, barang harus segera dikirim, sedangkan kontainer belum penuh. Maka ditariklah kopi dari Jawa, bahkan dari Sulawesi ke Medan, untuk diekspor atas nama kopi sumatra. Tapi, ini rahasia di antara kita-kita saja, ya. Jangan sampai bocor ke intelnya Donald Trump.

Bagaimana dengan perdagangan lokal. Seperti beras solok. Kalau itu, sepertinya tidak. Maksud saya, tidak ada bedanya. Bila kurang yakin, monggo ditelusuri sendiri.

Tulisan ini mencoba mengajak Anda menelusuri beras solok jauh sampai ke pangkalnya. Lebih dari sekadar mengenal beras tanamo itu, atau membayangkan bagaimana nikmatnya makan nasi, yang ditanak dari bareh padi baru, ditemani lauk-lauk kampung (samba buruak-buruak) di persawahan dari mana beras itu berasal.

Beras Solok itu legendaris. Lagu Bareh Solok yang didendangkan oleh Elly Kasim viral sejak tahun 60-an. Sampai sekarang. Anomali dengan ketersediaan berasnya yang semakin menyusut. Kalau karung yang bertuliskan beras solok tak akan pernah kurang. Serupa cerita beras cianjur tadi.

Dua realitas yang menjadi penyebabnya, pertama alih fungsi lahan. Luas sawah yang semakin jauh berkurang. Berubah jadi ladang, pemukiman, dsb. Kedua, tingkat produktivitas. Dulu bisa rata-rata panen tiga kali setahun. Kini di beberapa daerah hanya bisa dua kali setahun. Apakah disebabkan oleh menurunnya kesuburan tanah, atau hal lain. Entahlah.

Sekarang kita menuju ke daerah-daerah sentra penghasil beras solok. Rupanya, lebih dari sekadar tanahnya yang subur, sepertinya daerah-daerah itu juga yang menginspirasi lahirnya slogan: Solok nan Indah.

Di antaranya, kawasan yang menghampar mengelilingi kaki Gunung Talang mulai dari sisi tenggara sampai timur laut. Bila dipandang dari jauh, pas bersua pandangan lepas, sejauh mata memandang tampak hamparan sawah, diselingi rimba-rimba kecil, dan tampak jauh kelompok-kelompok rumah penduduk. Sungguh indah. Barangkali lanskap model begini yang menginspirasi orang dalam mendesain lapangan golf. Miniatur dari lanskap alam nan indah.

Bagi penyuka ketenangan dan penikmat suasana alam pedesaan, nagari-nagari di atas itu, nun di ujung pandangan mata, mendekati kaki Gunung Talang, sepertinya wajib untuk dikunjungi. Ada rasa yang tak tergantikan bila nanti tiba di sana.

Beberapa dari nagari di situ telah siap menanti Anda. Siap menjadi sahibulbait yang baik dalam program life experience tourism bersama Raun Tour Creator (RTC). Konseptor perjalanan wisata.




Para tuan rumah yang paham jeroan kampungnya, dan jua paham bagaimana menerima tamu-tamunya. Dalam konsep RTC dinamakan dengan Personal In Destination (PID). Fungsi PID lebih dari sekadar tour guide. Sebab dalam falsafah RTC destinasi bukanlah sekadar tempat. Karena tempat sejatinya adalah benda mati, dalam memberikan rasa kekuatannya kalah dari suasana tercipta oleh kehidupan di situ. Suasana nyaman yang diciptakan oleh masyarakat setempat sangat menentukan. Seperti mengapa orang rindu mudik, ternyata bukan semata-mata karena tempatnya, tapi sebab ada orang-orang dirindukan nan menanti.

Kekira apa saja yang akan memukau Anda begitu sampai di kampung-kampung itu. Sebentar, beberapa cerita ke bawah perlu dibaca pelan-pelan, sembari menerawang. Membayangkan indahnya. Namun, serupa plesetan slogan iklan tahun 90-an: cerita tak akan seindah warna aslinya.

Pertama keindahan. Panorama alam pegunungan dengan jangkauan pandang lepas jauh. Bila panorama Sitinjau Laut pemandangannya adalah Kota Padang dan laut. Maka dari situ tampak jelas Kota Solok dan Danau Singkarak. Perkampungan di lereng perbukitan dengan topografi kemiringan rerata 45 derajat, hamparannya menghadap matahari terbit.

Bila bersua mentari cerah ketika beranjak naik, maka hijaunya persawahan luas itu cocok dengan gelar negeri ini: zamrud khatulistiwa. Bila bertemu dengan musim masak padi, hamparan sawah luas itu sedang menguning, maka biasan cahaya matahari pagi akan membuat mata tak berkedip, serupa kilauan emas. Dalam istilah kekinian: instagramable.

Bagi yang belum mengenal panorama Sitinjau Laut, bisa membayangkan ketika berada di Puncak Pass, lereng Gunung Lawu, atau mungkin Namsam Tower. Bila dari Namsam Tower tampak Kota Seoul. Dari situ Kota Solok. Huruf denpannya sama-sama "S". Beti. Beda tipis.

Kedua, keramahan alamiah. Kontras dengan suasana perkotaan yang kadang dengan tetangga saja bisa tak saling kenal, di perkampungan masyarakatnya homogen, saling berkerabat, satu kampung semuanya saling mengenal. Jua kultur asli masyarakat Minangkabau ramah kepada  tamu. Budayanya mengajarkan keramahan itu. Jadi, ketika Anda tiba di sana, suasana keakraban natural akan sangat terasa, yang bisa jadi nanti akan membuat Anda rindu untuk datang kembali.

Apalagi dalam konsep life experience tourism, kekhasannya ada pada interaksi dengan penduduk setempat. Para pewisata menginap di rumah-rumah penduduk. Dimasakkan makanan oleh tuan rumah, layaknya ada saudara yang datang dari jauh. Makan bersama dengan aneka masakan tradisional sebagai mana biasanya. Suasana seperti itu yang akan menciptakan wow experience.

Pun aktivitas keseharian, para tamu dikondisikan turut merasakan denyut nadi kehidupan di pedesaan. Mulai dari pagi subuhan di surau, sarapan di lapau, terus bisa turut membajak sawah dengan kerbau. Mungkin juga nak mencoba sensasi memandikan kerbau. Bisa.

Proses bertanam padi itu panjang, dan setiap tahapnya sarat nilai-nilai filosofis. Tentang itu, nanti para PID berkenan menjelaskannya. Sebagai khazanah pengetahuan untuk para tamu.

Mulai bagaimana menyiapkan lahan, membajak, benih disemai, kapan dipindah dari persemaian. Lalu bisa mencoba bagaimana cara menanam lurus sambil berjaan murdur. Menanti padi tabik (muncul buah), bersiang, manggaro (mengusir burung) sampai nanti panen. Teknik pemanenan bisa dengan menyabit, atau mengarit.

Dulu, sesudah padi disabit, untuk melepaskan buliran padi dari batangnya (jerami) ada tradisi namanya: Mairiak.

Masyarakat bergotong royong bergantian dari satu sawah ke sawah yang lain. Empunya sawah menyiapkan beragam penganan untuk makan siang orang yang bekerja. Lengkap dengan appetizernya. Kopi, kue-kue, juga aneka kolak enak.

Bagi saya kegiatan mairiak ini sungguh memorable. Sebagai anak kampung, masih nyata dalam ingatan, bagaimana dulu turut serta mairiak. Ops, maksudnya, saya hanya ikut makan dan berburu kolak saja. Apakah juga ikut kerjanya. Lupa.

Tradisi mairiak kini sudah jarang ditemukan. Hampir tak ada lagi. Kini padi dilepas dari jerami dengan cara dihempaskan ke bantalan kayu, dan langsung ditampung dengan tong-tong besar. Dalam bahasa lokal disebut malambuik.

Nah, di sini istimewanya, atas permintaan tamu, bila datang bertepatan dengan musim masak padi, tradisi mairiak bisa kembali dihadirkan, tentu lengkap dengan makanan dan aneka kolaknya. Para pewisata tinggal request ke Raun Tour Creator (RTC) selaku konseptor perjalanan wisata.

Teknik mairiak mirip dengan grape stomping di Italia. Kalau di sana yang diinjak buah anggur, di sini yang diinjak batang padi. Beda ketebalan kulit tapak kakinya.

Itu baru sebatas aktivitas terkait sawah. Masih banyak lagi kegiatan yang menciptakan best experience.

Mandi di pancuran, atau di sumber air panas alami. Memancing di sungai memanjat cengkeh, jua ada memanjat kelapa. Tapi, khusus memanjat kelapa biarlah beruk saja yang naik. Anda tinggal menunggu beruk menjatuhkan kelapa muda. Untuk pekerjaan ini, kita harus akui, kalau beruk lebih mahir.

Tulisan ini hanya bak kata pengantar pada sebuah buku, atau preview pada film. Hanya mampu menggambarkan sepintas, aslinya pasti jauh lebih seru dan kompleks.

Bagi Anda yang kesehariannya beraktivitas di kota, padat, dengan tensi kegiatan yang tinggi, sesekali membutuhkan suasana pedesaan alami untuk merelaksasi pemikiran.

Berakhir pekan di pedesaan yang tenang, jauh dari kebisingan, udara bersih dan kesejukan dataran di ketinggian antara 700 sampi 1300 mdpl, dapat kembali mengecas energi.

Kondisi alam nan nyaman, disempurnakan oleh suasana kekeluargaan yang dapat diciptakan. Wajib dicoba.

Banyak hal yang bisa dipesan. Misalnya, malam mau diadakan pertunjukan seni tradisional, seperti randai, pencak silat, dsb. Bisa.

Nak tidur di tenda pada spot terbuka untuk mendapatkan suasana malam nan eksotis pun bisa.

Atau tertarik menonton acara-acara kebudayaan seperti turun mandi, batagak gala, dsb. Tinggal dikomunikasikan dengan RTC selaku tour konseptor.

Selain tema Kampung Elok Beras Solok ini, Raun Tour Creator pun sudah merilis beberapa tema perjalanan wisata lain: Semalam di Atas Bagan, Baladang di Alahan Panjang, Menelusuri Asal Secangkir Kopi, Menapak Jejak Pahlawan Cendikiawan, dan akan bertambah terus. Basisnya sama. Life experience tourism.

Secara jarak, kampung-kampung itu pun tak jauh. Dari Bandara Internasional Minangkabau (BIM) tak sampai seratus kilometer. Jarak tempuh normal kisaran satu setengah jam sampai dua jam. Lebih kurang serupa dengan antara Bandara I Gusti Ngurah Rai dan Ubud. Cuma, Ubud sudah bersolek segala macam, kampung-kampung itu masih perawan. Pasti beda rasa.

Tepat dijadikan pilihan destinasi untuk liburan akhir pekan. Liburan ke daerah penghasil beras solok. Pulang membawa cerita baru, seru, berikut menenteng oleh-oleh beras solok asli, dapat langsung dari petaninya. Dikemas dalam kampia (kantong dari anyaman pandan) untuk para kolega. Jua dibawa pulang

Bila Anda nak datang, bersama keluarga, kolega, gathering perusahaan, program kampus, atau apa pun bentuknya. Nak merasakan bermalam di pedesaan tenang di Ranah Minang. Monggo hubungi:

WhatApps: 081337208840
Email: tridawa@gmail.com

All Amin | Raun Tour Creator
For the best experience
___________________________

Tags