News Breaking
Live
update

Breaking News

Pahlawan dari Salemba

Pahlawan dari Salemba



Mahbub Djunaidi*)


KETIKA daun-daun musim rontok terakhir menyentuh tanah, Henri Bergson lahir di Paris. Seribu maaf kepada PLO, dia itu turunan Yahudi berdarah Polandia campur Irlandia. Tanggalan menunjuk 18 Oktober 1859. Sesudah menempuh hidup yang ruwet dan pusing kepala selaku filosof, dia mati 4 Januari 1941. Kali ini berbarengan dengan turunnya salju sehingga mayatnya menyerupai irisan pisang ambon di tengah semangkuk es krim. Apakah sekedar habis secuwil demi secuwil dikerubuti cacing tanpa sedikit pun bersisa? Samasekali tidak. Berjuta cacing tidak sanggup menyirnakan seorang filosof.

100 tahun hari lahirnya plus sebulan, tepatnya 18 November 1959, Wiratmo Sukito merayap naik mimbar Balai Buda-ya Jakarta memperingati orang kesohor ini lewat sebuah cera-mah berjudul "Kesetiaan intelektual kepada masyarakat" . Namanya saja peringati jarig-nya filosof, isi ceramah pun cukup ruwet, cukup bikin pening kepala, berdentam-dentam mengeluarkan irama yang ganjil sehingga para hadirin terengah-engah dan memijati tengkuknya. Berhamburanlah kajian Bergson ihwal "materi dan memori," evolusi kreatif berdasarkan biologi spekulatif, kritik terhadap positivisme metodik, dialognya dengan William James dosen Universitas Harvard yang menampakkan paralelisme dengan Bergson. Walhasil, dalam suasana kenaikan harga bahan bakar minyak sekarang ini, tidaklah bijak memperpanjang daftar perkara yang membebankan benak.

Untung seribu untung, kemusykilan sedikit mengendur di ujung ceramah. Hadirin yang sudah mulai loyo diberitahu bahwa Bergson ada menaruh penghormatan tinggi kepada intelektual karena intelektual itu punya martabat yang layak selaku pahlawan, semata-mata karena pengabdian dan kesetiaannya kepada masyarakat sebagai sumber segala kehidupan, penuh tantangan dan jawaban sebagaimana diperlihatkan oleh femenologi dialektik. Kendati intuisianisme Bergson tidaklah sepenuhnya berhasil, jika cartesianisme merupakan falsafah aristokrasi maka bergsonisme merupakan falsafah demokrasi.

Kalau sembarang intelektual saja patut dijuluki pahlawan, konon pula seorang Nugroho Notosusanto rektor UI Salemba yang baru. Selusin julukan menunggu mengelu-elukannya, boleh pilih salah satu atau ambil semuanya. Mau "a hero figure"? Itu memang sudah lama disediakan Bergson. Mau "a daring pioneer? Dipersilakan, walau sedikit memerlukan kreasi dan risiko. Pilih "an impossible post"? Ini gampang, toh sudah ada di kocek. Ambil julukan "a creator"? Tinggal tunjuk walau pada gilirannya harus siap diri untuk ditimbang-timbang. Lebih selera "consensus seeker"? Ini lugas dan maknanya mudah dicerna oleh perut banyak orang tanpa harus merasa perlu ada semacam kemerosotan martabat dan keangkeran jabatan. Dan mahasiswa akan memandang rektor tipe consensus seeker bagaikan calon mertua yang sudi membukakan pintu malam-malam tanpa gerutu. Mau yang paling dahsyat seperti "kaptennya peradaban" juga boleh, walau beban moril akan tak terkira-kira beratnya.

Ada satu sebutan yang dijauhi rektor seperti penduduk kampung menjauhi muntaber: politikus. Tak ada itu politik-politikan karena yang tersedia cuma ilmiah-ilmiahan. Jika politik itu jalan besar, universitas akan bikin jembatan penyeberangan melintasi kepalanya. Kaum kampus berpikir ilmiah, kaum politik berpikir entah cara apa; itu pun boleh disebut berpikir. Pencemaran harus dicegah mulai dini, karena itu sebaiknya kampus hanya diberi air susu ibu.

Bersediakah Wiratmo Sukito sekali lagi beri ceramah dengan judul serupa "Kesetiaan intelektual kepada masyarakat" dikaitkan dengan keadaan obyektif masa sekarang? Tanpa Bergson-bergsonan pun tak jadi apa demi tidak menambah beban pikiran publik, karena Prof. Notonagoro juga ada berkata: ... Universitas Gajahmada harus melakukan penyelidikan untuk memperoleh pengertian ilmiah dari Pancasila dan penggunaannya yang baik dan bermanfaat serta berbahagia bagi ilmu pengetahuan, kebudayaan, rakyat masyarakat dan Negara dan hasil penyelidikan itu perlu diberikan kepada masyarakat. Universitas itu punya kedudukan terhadap masyarakat sebagai lembaga yang berdiri pribadi, di samping itu dipengaruhi oleh masyarakat, punya peranan aktif dan kreatif sebagai petunjuk jalan, penggalang, pengasuh dan insan kamil masyarakat.

Akan halnya lukisan rektor Nugroho tentang lembaga kemahasiswaan UI itu bagaikan "jambu air penuh ulat" baiknya saya serahkan urusan ini kepada Bagian Kebun Percobaan di Pasar Minggu, karena saya cuma tahu jambu tapi tidak tahu ihwal ulat.

Dimuat di Majalah TEMPO No. 49 thn. XI 6 Februari 1982 


*)Mahbub Djunaidi (27 Juli 1933 – 1 Oktober 1995) ialah seorang sastrawan Indonesia dan Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang pertama, 1960-1967. Ia terkenal sebagai tokoh wartawan dan sastra. Selain itu, ia merupakan mantan aktivis HMI dan sekaligus Ketua Umum PMII Pusat pertama.

Novelnya, Dari Hari ke Hari (1975) mendapat Hadiah Penghargaan Sayembara Penulisan Roman DKJ 1974.

Karya lainnya:
Angin Musim (novel, 1985)
Kolom Demi Kolom (1986)
Humor Jurnalistik (1986)
Asal Usul (1996)

Terjemahan:
Di Kaki Langit Gurun Sinai karya Muhamed Haikal (1979)
Seratus Tokoh yang Berpengaruh dalam Sejarah karya Michael Hart (1982)
80 Hari Keliling Dunia karya Jules Verne (1983)
Cakar-Cakar Irving karya Art Buchwald (1982)
Lawrence dari Arabia karya Philiph Knightly (1982)
Binatangisme karya George Orwell (1984)


Tags