News Breaking
Live
update

Breaking News

Mengenal Dokter Sulianti Saroso, Pernah Dimarahi Bung Hatta Soal KB

Mengenal Dokter Sulianti Saroso, Pernah Dimarahi Bung Hatta Soal KB

TANJAKNEWS.COM, Historia -- Saat serangan virus corona atau Covid-19 Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso, Jakarta  menjadi lekat di telinga kita. Ya, rumah sakit ini memang menjadi  salah satu rumah sakit rujukan penanganan pasien corona.

Ada 11 pasien yang dirawat di RSPI-SS. Rinciannya, 3 pasien dalam pengawasan dan 8 pasien positif Corona.

"Sampai tanggal 18, kami rawat 12 orang, dengan rincian 3 PDP, confirm 8, meninggal 1. Dari dirawat ini, dipulangkan 1 orang yang pasien nomor 04 karena sembuh dan PDP 2. Jadi 3 pulang," ungkap Direktur Utama RSPI-SS, M Syahril dalam jumpa pers di kantornya, Jakarta Utara, Rabu (18/3/2020)..

Rumah Sakit Julianti Saroso yang terletak di Sunter, Jakarta Utara ini hingga Rabu 18 Maret 2020 mencatat sudah ada 1.134 orang yang mengikuti pemeriksaan kesehatan terkait virus corona (Covid-19). Mereka mendatangi posko pemantauan sejak RSPI Sulianti Saroso ditetapkan sebagai rumah sakit rujukan.

"Total sampai tadi pagi 1.134 orang yang datang, itu dari awal," kata Direktur Pelayanan Medik, Keperawatan, dan Penunjang Dyani Kusumowardhani dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (17/3/2020).

56
Dirut RSPI Sulianti Saroso Mohammad Syahril. (Eva/detikcom



Mengenal Dokter Julie Sulianti Saroso

Prof Dr dr Julie Sulianti Saroso, MPH, lahir di Karangasem, Bali, 10 Mei 1917 – wafat  29 April 1991 pada umur 73 tahun adalah seorang tokoh kedokteran Indonesia. 

Ia menempuh pendidikan dasar berbahasa Belanda ELS (Europeesche Lagere School), lalu pendidikan menengah elite di Gymnasium Bandung, yang sebagian besar siswanya kulit putih, dan melanjutkan pendidikan tinggi di Geneeskundige Hoge School (GHS), sebutan baru bagi Sekolah Kedokteran STOVIA di Batavia. Ia lulus sebagai dokter 1942.

Pada masa pendudukan Jepang, Sulianti bekerja sebagai dokter di RS Umum Pusat di Jakarta, yang kini dikenal sebagai RS Cipto Mangunkusumo. 

Di antara desing peluru, dentum meriam, pekik kemerdekaan, dan jerit parau para pejuang yang terluka, seorang dokter muda dengan cekatan menolong para pejuang yang terluka di front terdepan.

Pada awal kemerdekaan, ia ikut bertahan di rumah sakit besar itu.

Dia mengorganisasi dapur umum untuk memenuhi kebutuhan gerilyawan yang masuk kota. Tanpa kenal takut, dia terjun di front Tambun (Jawa Barat), Gresik, Demak, dan Yogyakarta. Karena keberaniannya, ia sempat ditahan oleh pemerintah kolonial Belanda selama dua bulan di Yogyakarta.

Namun, ketika ibu kota negara pindah ke Yogyakarta, Sulianti turut hijrah menjadi dokter republiken dan bekerja di RS Bethesda Yogyakarta.

Di Yogya, Sulianti, yang oleh teman-temannya sering dipanggil sebagai Julie, itu benar-benar terjun sebagai dokter perjuangan. Ia mengirim obat-obatan ke kantung-kantung gerilyawan republik, dan  terlibat dalam organisasi taktis seperti Wanita Pembantu Perjuangan, Organisasi Putera Puteri Indonesia, selain ikut dalam organisasi resmi KOWANI.

Dokter Sulianti bergerak cepat dan lincah, lebih mirip aktivis ketimbang birokrat. 

Setelah menamatkan studi di Gymnasium Bandung, dia melanjutkan jejak sang ayah, dr Sulaiman, dengan mendaftar ke Sekolah Tinggi Kedokteran (Geneeskundige Hoge School) di Batavia. Lulus pada 1942, Sul bekerja di bagian penyakit dalam Centrale Burgelijke Ziekenhuis –kini Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM)– lalu bekerja di bidang penyakit anak Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta.

Sul aktivis perempuan sadar politik. Mentor politiknya adalah Soebadio Sastrosatomo, anggota Badan Pekerja KNIP –kelak menjadi Ketua Fraksi Partai Sosialis Indonesia (PSI) di parlemen hasil Pemilihan Umum 1955. Sul juga pernah duduk di Badan Konggres Pemuda Republik Indonesia sebagai wakil Pemuda Putri Indonesia (PPI). Bersama teman-temannya, dia membentuk Laskar Wanita yang diberi nama WAPP (Wanita Pembantu Perjuangan).

Pada November 1947, bersama Sunarjo Mangunpuspito dan Utami Suriadarma, dia menjadi delegasi mewakili Kongres Wanita Indonesia (Kowani) –lembaga yang terbentuk pada 22 Desember 1928– untuk mengikuti Inter Asian Women Conference di India.

Bagi Sulianti, korelasi kemiskinan, malnutrisi, buruknya kesehatan ibu dan anak, dengan kelahiran yang tak terkontrol, adalah fakta terbuka yang tak perlu didiskusikan. Yang mendesak ialah aksi untuk memperbaikinya.

Melalui RRI Yogyakarta dan harian Kedaulatan Rakjat, ia menyampaikan gagasan tentang pendidikan seks, alat kontrasepsi, dan pengendalian kehamilan dan kelahiran. 

Mendengar siaran itu, Wakil Presiden Muhammad Hatta marah.

“Walaupun gagasan-gagasan ekonominya sangat maju, Bung Hatta menganggap diskusi mengenai hal itu kurang tepat dan kurang wajar untuk digunakan dalam komunikasi massa dan merupakan urusan kehidupan keluarga masyarakat Indonesia,” tulis Hull.

Bung Hatta meminta Sulianti berhenti membicarakan keluarga berencana dan menahan diri dalam menjalankan tugasnya sebagai kepala Jawatan Kesehatan Ibu dan Anak pada Kementerian Kesehatan di Yogya.

Sul terkejut. Baginya, perintah itu merupakan kontradiksi yang kejam. Sementara bagi Hatta, perintah ini masuk akal dari sisi moralitas akal sehat.

Reaksi juga muncul dari organisasi perempuan lokal. Terlebih muncul berita di Kedaulatan Rakyat pada 16 Agustus 1952, yang merupakan hasil wawancara dengan Sulianti. Judulnya, “Bivolkingspolitiek Perlu di Indonesia, Beranikah Kaum Ibu Lakukan Pembatasan Kelahiran?”

Berita itu menyebutkan, dua bulan sebelumnya dua utusan dari markas besar badan PBB untuk urusan anak (UNICEF) di Bangkok, Dr Sam Keeny dan Hayward, berkunjung ke Indonesia untuk membicarakan rencana peningkatan kesejahteraan ibu dan anak yang diajukan kepada UNICEF. Rencana itu diterima UNICEF.

Menurut Sulianti, Indonesia kekurangan tenaga bidan, sehingga masyarakat menggunakan tenaga dukun. Angka kematian bayi pun tinggi. Di sisi lain, jumlah penduduk Indonesia meningkat. “Sebaiknya para ibu harus berani dan mau melakukan pembatasan kelahiran,” ujar Sulianti, sebagaimana dikutip Kedaulatan Rakyat.
.
‘’Ibu itu lebih sebagai dokternya masyarakat,’’ kenang sang putri, Dita Saroso. Filosofinya sebagai dokter bukan sebatas mengobati pasien, melainkan membuat masyarakat (terutama kalangan menengah ke bawah) hidup sehat, sejahtera, dan bahagia. (Oce)

Sumber: Indonesia Tempo Doeloe, Historia, Wikipedia

Tags