Cerita Dokter: BEGINI KERJA BERAT TENAGA MEDIS COVID-19
TANJAKNEWS.COM, JAKARTA --Dokter Ira Sjafii melalui akun Twitternya bercerita ttng bagaimana ia dan rekannya bertungkus lumus menangani pasien corona. Mari simak:
"Seumur hidup gue, belum pernah kerja sekeras saat ini, di usia yang ga muda-muda amat.
Menyiapkan dan mengerjakan penanganan COVID-19 itu melelahkan. Dari ruang ke ruang, dari lantai ke lantai. Bahkan ikut-ikutan jadi engineer. Belum lagi melerai konflik antar staf.
Tiap malam ada aja jurnal yang gue baca. Mulai dari klinis, penanganan pasien kritis dari venti ke non venti, OK tekanan negatif, berbagai kriteria ruangan kewaspadaan transmisi, APD dan sebagainya. Melebihi bacaan gue selama sekolah.
Dan gue mulai bius pasien ODP hingga PDP. Gak gampang menyakinkan tim, karena alurnya gak mudah. Pakai dan buka APD-nya gak gampang. Apalagi kalau terkait pelayanan ibu dan bayi. Merawat bayinya juga perlu effort.
Belum lagi perdebatan preoperatifnya. Diagnostik terbatas. Standar emas pemeriksaan= rtPCR. Tapi hasilnya aja perlu 4-5 hari. RT antibodi tidak memberikan kesimpulan apa-apa. Gue cuma bilang: "Yuk kita jalankan dengan prosedur operasi pasien PDP. Isolasi pasien, pakai APD, cegah kontaminasi."
Kasus pasien berat dan kritis juga jadi masalah. Tim kami gak sanggup dengan peralatan dan SDM sekarang. Untungnya pimpinan paham ada kriteria pasien tersebut dan minta bantuan RS lain. Belakangan memang terbit kriteria biru, hijau, kuning dan merah. Kami dah rintis sejak awal Maret.
Itupun sejalan dengaj waktu, gue dan teman-temab ancang-ancang menyiapkan sendiri. Set up ICU isolasi dengan tekanan negatif. Lagi-lagi gue jadi engineer walau modal jurnal dan telunjuk 😁.
Bukan apa-apa, tim harus siap dengan kasus yang memburuk.
Ruang Isolasi sudah berdiri, OK sudah operasional dan ICU dipersiapkan untuk penanganan COVID-19. Tapi, masih diperlukan, tempat untuk karantina orang-orang dengan masalah ek-sos-bud sehingga gak bisa isolasi sendiri. Gue diminta masuk ke tim persiapan rumah karantina.
Kita dapat tempat di suatu SMA. Mempersiapkan gak mudah juga. Mulai dari survey, rapat anggaran hingga sosialisasi masyarakat. Sayangnya, proyek ini mendapatkan penolakan masyarakat. Masih khawatir virus terbang ke tetangga. 😑😑
Belakangan, rumah karantina ini di hold, dan dialihkan mempersiapkan puskesmas untuk karantinan pasien kriteria biru/hijau yang bermasalah eksosbud. Cuma satu harapan gue, adanya tempat teraebut, mengurangi beban RS.
Persoalan lab rtPCR yang lambat dan susah diakses sangat menganggu sepanjang bulan Maret. Pasien sulit didiagnosis, dipulangkan masih ragu-ragu. Jika klinis sehat, swabnya belum ada. Mau dipulangkan juga bingung. Mau diisolasi berapa lama lagi di rumah?
Untungnya, masuk periode April, alat swab sudah tersedia. Tinggal mesin PCR yang diputuskan kerjasama dengan lembaga lain. Sebab yang ada, antrian panjang. Menariknya, teman SpPK yg seide dalam perjuangan masuk dalam tim Lakesda, diharapkan mengembangkan Lab sesuai jalurnya.
Tes dan isolasi adalah target bersama dalam penanganan COVID-19. Alhamdulillah, pelan-pelan terfasilitasi. Sangat-sangat gak mudah. Terbentur dengan masalah birokrasi hingga psikis tenaga kesehatan, dan masyatakat. Masalah ini bukan milik Depok semata, Amerika pun punya masalah yang sama.
Penanganan COVID-19 ini sulit kalau hanya dilihat dari satu sudut pandang. pandemi ini menghasilkan "collateral damage" luar biasa. Oleh karena itu, perlu pemikiran cepat dan taktis serta kerjasama lintas sektoral.
Terima kasih banyak atas supportnya. Semoga kita bisa keluar dari pandemi covid19 ini. Amiin Ya Rabb 🤲.