News Breaking
Live
update

Breaking News

Ketua YLKI Tulus Abadi Cemaskan WFH: Memindahkan Perokok ke Rumah

Ketua YLKI Tulus Abadi Cemaskan WFH: Memindahkan Perokok ke Rumah

Ketua YLKI, Tulus Abadi


TANJAKNEWS.com, Jakarta -- Wabah Covid-19 telah menerjang hampir 200 negara di dunia, termasuk Indonesia. Indonesia masih bertempur melawan wabah yang sangat cepat penyebarannya. Pemerintah dan rakyat Indonesia terus mewaspadai penyebaran wabah corona ini.

Namun menurut Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, sesungguhnya ada wabah yang tak kalah mencemaskan yang harus jadi perhatian pemerintah dan masyarakat, yakni bahaya asap rokok.

Konsumsi tembakau, kata Tulus telah menjadi penyakit di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Hampir 90 persennya adalah korban sebagai perokok pasif.

"Sekarang ini diketahui lebih dari 30 persen penduduk Indonesia adalah perokok aktif," kata Tulus Abadi kepada Tanjaknews.com, Sabtu (30/5/2020) melalui saluran virtual.

Tragisnya sebagian besar masyarakat miskin adalah penikmat tembakau. "Bahkan dua dari tiga laki-laki adalah perokok aktif," urai Tulus.

Fakta itu, menurutnya harus menjadi perhatian pemerintah, negara, dan juga masyarakat. Dan dalam rangka Hari Tanpa Tembakau Sedunia pada 31 Mei, Tulus Abadi menekankan, hal ini hendaknya menjadi tonggak penting bagi semua pihak akan bahaya asap rokok sekaitan dengan mewabahnya virus Covid-19.

"Mengapa erat dengan Covid-19? Karena permasalahan yang dialami oleh perokok adalah masalah seputar pernafasan. Sedangkan virus corona juga menyerang sistem pernafasan.

Mengingat krusialnya persoalan kesehatan masyarakat saat ini, ujar Tulus, dalam moment Hari Tanpa Tembakau Sedunia ini YLKI menyampaikan seruan kepada pemerintah.

"Pertama, meminta kepada pemerintah untuk menaikkan cukai rokok setinggi-tingginya. Ini sebagai upaya mengendalikan konsumsi rokok di tengah masyarakat dan melindungi masyarakat umumnya," tegasnya.

Dengan menaikkan cukai rokok, menurut Tulus uangnya bisa digunakan untuk biaya pengendalian konsumsi rokok.

YLKI juga mengusulkan Kawan Bebas dari Asap Rokok harus di perluas. Bukan saja di perkantoran dan tempat umum, tapi juga rumah sebagai kawasan bebas dari asap rokok.

"Akibat kebijakan work from home (WFH) banyak perokok yanv selama ini merokok di luaran, sekarang merokok di rumah yang membahayakan bagi anak dan istri," sebutnya.

Karena itu YLKI meminta pemerintah merivisi Peraturan Pemerintah Nomor 109Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan terutama tentang kawasan terbatas merokok (KTM) dan kawasan tanpa rokok (KTR). Definisinya harus  diperluas, dengan memasukkan rumah sebagai KTM baru.

Begitupun rokok dan kaitannya dengan kerentanan tertular Covid-19, menurut Tulus seharusnya diungkap apakah benar dugaan bahwa perokok rentan terpapar virus corona.

"Karena data di Rumah Sakit Persahabatan Jakarta menunjukkan, 58 persen pasien Covid-19 adalah perokok. Begitupun di dunia," ulasnya.
Dengan fakta wabah corona dan telah didahului wabah bahaya asap rokok sejak lama, baik di dunia maupun di Indonesia, merupakan kerja berat bagi pemrintah untuk menanganinya.

"YLKI mendesak pemerintah sebaiknya mengambil langkah-langkah serius untuk mengatasi persoalan bahaya asap rokok ini," pungkasnya.

Terkait revisi PP 109, beberapa waktu lalu, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kesehatan Kemenko PMK, Agus Suprapto menjelaskan soal revisi tersebut. "Beberapa hal meliputi gambar dan peringatan kesehatan, pencantuman informasi dalam kemasan, dan larangan," jelasnya Desember lalu.

Agus menjelaskan lebih lanjut ada beberapa bahan tambahan yang diusulkan untuk dilarang, yakni meliputi tambahan perasa, pewarna, dan penguat aroma rokok. Sedangkan pelarangan lainnya juga untuk menegaskan agar rokok tidak diakses anak dan ibu hamil. 

Sementara itu terkait usulan menaikkan cukai rokok dikeluhkan Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI). Mereka menilai, kenaikan tarif cukai dan harga jual eceran (HJE) ibarat sebuah agenda tahunan yang dialami kalangan Industri Hasil Tembakau (IHT).

Tarif dan HJE selama 10 tahun terakhir telah berimbas pada pengurangan produksi, khususnya di industri Sigaret Kretek Tangan (SKT) dan  berpengaruh negatif pada efisiensi tenaga kerja.

Ketua Umum FSP RTMM-SPSI, Sudarto kepada media mengatakan,  data yang diperoleh selama kurun waktu 10 tahun ada 63.000 karyawan atau pekerja rokok terpaksa kehilangan pekerjaan.

Ia menyebut, jumlah industri berkurang drastis dari 4.700 perusahaan menjadi sekitar 700 di tahun 2019 dan yang aktif pesan pita cukai sekitar 360 perusahaan. (Oce Satria)

Tags