Pancasila dalam Taring Politik!
Indra J Piliang |
Oleh: Indra J Piliang*
TanjakNews.com, Jakarta -- Pancasila di tangan para penggalinya, para filsufnya, akibat hasil-hasil Pemilu 1955 yang berbeda nasib, sempat diamuk tafsir serius, hingga pemberontakan bersenjata.
Apalagi di era sekarang. Ketika taring politisi bisa lebih ganas dibanding Vlad the Impaler dari Transylvania, bisa membunuh banyak nyawa dalam sekali kunyah dana-dana korupsi dan lainnya.
Tanpa satu dokumen bersama, terserah mana yang haluan, mana yang buritan, apa masih bisa muncul dalamm bayangan tentang kapal besar bernama Pancasila?
Hingga kini, dalam metodologi kerja seorang peneliti, saya belum mendapatkan naskah Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang menyulut aksi protes itu. Satu naskah yang idealnya sudah tersebar luas, paling tidak kepada stakeholders yang memiliki perhatian terhadap masalah perundang-undangan.
Apalagi di era sekarang. Ketika taring politisi bisa lebih ganas dibanding Vlad the Impaler dari Transylvania, bisa membunuh banyak nyawa dalam sekali kunyah dana-dana korupsi dan lainnya.
Tanpa satu dokumen bersama, terserah mana yang haluan, mana yang buritan, apa masih bisa muncul dalamm bayangan tentang kapal besar bernama Pancasila?
Hingga kini, dalam metodologi kerja seorang peneliti, saya belum mendapatkan naskah Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang menyulut aksi protes itu. Satu naskah yang idealnya sudah tersebar luas, paling tidak kepada stakeholders yang memiliki perhatian terhadap masalah perundang-undangan.
HIP, bagaimanapun, adalah masalah yang sangat mendasar. Walau muncul sebagai hak inisiatif DPR RI, HIP seyogianya berasal dari proses demokrasi berbasis multipartai yang tumbuh dari akar rumbi elektoral.
Artinya, ketika panggung kampanye politik dihelat, program-program ditawarkan, nukilan-nukilan pikiran yang bakal dibawa ke dalam sidang-sidang parlemen sudah tertebar di kalangan pemilih. Fungsi legislasi, fungsi pengawasan, hingga fungsi anggaran yang dipegang DPR RI pada prinsipnya berasal dari butir-butir pikiran yang terserak itu. Tanpa itu, sulit lahir suatu aturan perundang-undangan yang benar-benar kokoh bersandar di punggung rakyat, kuat menancap dalam pikiran rakyat, hingga rakyat bersedia bertumpah darah untuk mempertahankannya.
Penolakan yang bersemangat terhadap RUU HIP sependek pengetahuan saya, tentu berasal dari buta huruf politik yang seakan berjalan sempurna. Atau ingatan saya yang sudah melantur, atau dibilang halu(sinasi) dalam sejumlah serangan di media sosial, setiap kali saya mengungkapkan pendapat yang berbeda. Betapa tidak, seingat saya, upaya untuk “menghidupkan” kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam bentuk yang sekuat era Ketetapan MPR RI sempat dihadirkan.
Tanpa GBHN, negara seakan berjalan tanpa pedoman. GBHN-lah yang menandakan apa yang dikenal sebagai Pembangunan Lima Tahun (Pelita) dalam bahasa Ali Murtopo, menjadi penentu skala prioritas dari periode ke periode.
Sampai sejauh ini, satu-satunya naskah yang benar-benar disusun secara serius berasal dari karya Ali Murtopo yang berjudul “Dasar-Dasar Akselerasi Pembangunan Modernisasi Pembangunan 25 Tahun” yang ditulis pada tahun 1973. Kebetulan, saya pernah menyusun semacam paper yang saya bawakan di hadapan ratusan diplomat dan tamu undangan CSIS, menyangkut karya-karya Ali Murtopo ini.
Yang juga saya kenang dari itu adalah, akhir 25 tahun yang disampaikan Ali Murtopo adalah tahun 1998. Sambil berkelakar, saya menyebut bahwa akhir Orde Baru sudah tuntas “ditebak” Ali Murtopo, yakni ketika akselerasi pembangunan selesai pada tahun 1998, tanpa ada akselerasi 25 tahun kedua yang kalau dihitung sejak tahun 1998 tentu berakhir pada tahun 2023 nanti.
Baik, saya tidak akan menyinggung lebih lama sosok yang kontroversial, namun hidup dengan penuh kesederhanaan itu. Tokoh yang hampir tak meninggalkan harta-benda kepada putra-putrinya, namun dianggap sebagai penghambat – terutama – golongan sosialis berkembang dan berbiak.
Ketika UUD 1945 mengalami amandemen, dan saya menjadi bagian dari itu bersama kawan-kawan Koalisi Konstitusi Baru, rumusan tentang GBHN sama sekali tak mendapatkan tempat. Kekuasaan lembaga kepresidenan yang paling mendapatkan perhatian, dengan cara melakukan pembatasan.
Bahwa yang salah adalah satu orang, bukan sekelompok orang atau sebongkah pemikiran dari kelompok orang-orang itu, kembali terulang. Bung Karno yang salah. Pak Harto yang keliru. Bahwa sejumlah orang yang berasal dari lingkaran terdalam Bung Karno bisa kembali berkuasa pasca Bung Karno, hingga hal yang sama juga terjadi (sejarah berulang, kata Huizinga), dengan lingkaran ternyaman Pak Harto.
Proses amandemen selesai, ketika seluruh pohon legislatif, eksekutif, hingga yudikatif mengalami prosesi demokrasi dari tingkat akar, batang, dahan, ranting, hingga daun. Saking tak percayanya bahwa elemen politik…
*Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara, Anggota Badan Pemenangan Pemilu DPP Partai Golkar