Simpul Penjualan
Oleh: All Amin
Di masa pandemi ini banyak yang mendadak dagang. Ramai berjualan. Sebagai penghuni ranah itu, saya mau sedikit berteori. Tentang penjualan.
Simpul transaksi itu ada di penawaran. Perlu keterampilan untuk membuka simpul itu. Mesti pas. Ketemu kliknya; gol. Bungkus.
Kata kuncinya salah: tak bisa.
Atau, salah potong kabelnya; ambyar.
Teori saya ini bisa keliru. Ambil sebagian saja. Seperlunya. Atau, jangan percaya sama sekali. Abaikan. Mungkin cara Anda lebih benar.
Bisa kah transaksi tanpa penawaran? Sangat bisa. Kalau sudah takdir rezeki; pembeli datang begitu saja. Tanpa perlu susah-susah menawarkan. Jagangan jadi; otomatis laris.
Kalau sudah begitu. Berarti Anda tidak perlu membaca tulisan ini sampai habis. Berhenti saja di sini. Mubazir.
Ini untuk yang sedang mencari-cari cara. Bagaimana cara menjual produk atau jasa yang ia miliki. Semoga bermanfaat.
Begini, bisa membuat kue enak. Punya resep masakan lezat. Ada formula obat mujarab. Memiliki keahlian hebat. Atau apa pun itu, yang bisa dijadikan produk dan jasa. Itu baru separo jalan. Bobotnya 50%. Lebih kuranglah.
Selanjutnya; harus mampu menjualnya.
Menjual dan memasarkan itu, hal yang sangat kompleks. Dinamis. Rumit. Jauh lebih rumit dari menguraikan bumbu-bumbu yang ada dalam rendang. Dan, berisiko.
Kita ulik secuil saja, di titik vitalnya. Tentang kemampuan menjual. Keterampilan menawarkan. Membuat penawaran yang menggugah. Tepat sasaran.
Kabar baiknya, ketika kemampuan itu sudah dimiliki. Sampai di tingkat mahir. Hasilnya; akan bisa menjual apa pun. Prinsip dasar menjual itu sama. Menjual; tusuk gigi, tangkur buaya, gagasan, mobil bekas, rumah mewah, atau paket wisata ke bulan. Sama saja.
Pun bisa diterapkan untuk menjual teman di sebelah. Yang belum laku itu. Menawarkan ke calon mertuanya.
Saya sebut teorinya; Segitiga Penjualan. Ini istilah saya saja. Anda boleh ubah namanya.
Ada tiga keterampilan yang mesti diasah, agar tajam dalam berjualan.
Pertama; terampil menjual diri sendiri. Ini terkait dengan membangun kepribadian. Agar menjadi sosok dipercaya. Karena pengaruh siapa yang menjual itu; sangat besar. Tapi, kali ini saya tidak mau panjang di bagian ini. Anda jauh lebih terampil dari saya.
Kedua; memahami apa yang dijual. Ini pun, secara teori mudah. Semua penjual pastinya paham product knowledge itu. Apalagi kalau produk bikinan sendiri. Kalau ditulis, nanti artikel ini kepanjangan. Keburu ngantuk Anda membacanya.
Ketiga; terampil memahami orang lain. Paham selera pasar. Paham calon konsumen.
Teori ke tiga ini tidak rumit dicerna. Tapi, butuh latihan panjang untuk mahir menerapkan.
"Bisa cepat menyesuaikan diri, dan yang Anda jual, dengan kebutuhan calon konsumen.
Mampu melihat keduanya dari sudut pandang konsumen itu."
Coba diulang membaca kalimat di atas. Mungkin agak njelimet bahasa saya.
Misalnyai; Anda berjualan: sate.
Calon konsumennya tampak sudah agak tua. Pakai kopiah. Sapa sopan, dengan panggilan Pak Haji. Lalu, sampaikan sate Anda tidak membuat perutnya mules. Karena tidak ada rawitnya. Atau, tidak menyebabkan darah tingginya naik, sebab dagingnya tak berlemak.
Ketika calon konsumennya anak muda. Mahasiswa. Harga sate ekonomis, keluar duit sedikit tapi bisa makan berdua. Atau, warung sate Anda nyaman untuk kongkow. Itu yang diutarakan.
Lalu, tampak calon konsumen itu eksekutif. Mukadimahnya diganti. Dengan; sate Anda menggunakan bahan berkualitas. Higienis. Atau parkiran warung sate Anda luas.
Produknya sama. Tapi, pendekatan pada konsumennya harus berbeda. Jangan sapu jagat.
Dan, kemampuan itu harus dilatih.
Saya pernah diceritakan oleh seorang tentara. Katanya; anggota kopasus itu. Kalau sedang tidur lelap. Lalu dibangunkan. Disuruh siap. Itu, kurang dari 3 menit sudah dalam kondisi siap. Lengkap dengan pakaian dan senjata. Mengapa; karena terlatih.
Nah, penjual yang terlatih pun demikian. Dalam waktu kurang dari 3 menit. Ia sudah bisa beradaptasi dengan orang baru ditemui. Lansung nyambung.
Itu sudah keahlian tingkat lanjut. Tapi, kalau Anda mau jadi penjual hebat, harus sampai di titik itu.
Ada yang lebih dasar. Yang membuat banyak orang enggan mau jadi penjual. Atau berjualan.
Adalah ketika: memulai penawaran.
Menawarkan dagangan itu tidak mudah. Banyak rasa yang mesti diredam. Kadang nafas mesti diatur. Karena tiba-tiba kencang. Menawarkan kepada orang yang baru dikenal. Pun kepada kolega.
Tapi, di sini lah titik simpulnya. Ruh-nya penjualan itu ada di penawaran.
Alasan orang enggan bisanya; malu. Gengsi. Sungkan. Takut ditolak. Banyak lagi.
Pun begitu dulu yang saya rasakan. Juga cerita dari banyak peserta, ketika saya mengisi seminar tentang; Salesmanship.
Tapi tahap ini harus dilalui. Dicoba terus-menerus. Agar sampai ke tingkat ahli tadi. Mahir berjualan itu harus dengan praktik. Tak mempan hanya dengan membaca buku.
Coba besok mulai latihan;
Bagi-bagikan brosur usaha Anda di SPBU.
Ketuk pintu praktik dokter untuk menawarkan alat kesehatan Anda.
Masukkan kue Anda ke toko-toko. Lalu tawarakan pengungjungnya untuk mencicipi.
Kerajinan yang Anda buat, tawarkan ke kantor-kantor. Demokan di situ.
Tawarkan aplikasi yang Anda rancang ke investor. Agar bisa disponsori.
Temui bos perusahan farmasi, tawarkan formula hebat Anda itu. Agar diproduksi.
Silahkan sambung sendiri contohnya.
Nah, kalau fase itu sudah Anda lalui. Sudah merasakan bagaimana rasanya ditolak. Diremehkan. Tidak dihargai. Mentok sana, mentok sini. Berarti mental Anda sedang diasah. Teruskan saja; sebentar lagi Anda akan menjadi penjual yang tajam.
Merasa malu ketika berjualan, di awal-awal boleh jadi. Nanti terkikis dengan sendirinya.
Saya ada beragam cerita soal rasa malu itu.
Sedang teriak-teriak jualan sayur di pasar; kepergok teman sekolah. Ia ikut menemani ibunya belanja. Pada saat mau menyerahkan kembalian uang, "Sudah, buat Amin saja." Campur aduk itu rasa malunya.
Jadi, kalau mau sukses jadi penjual. Harus sering-sering latihan menawarkan.
Bukan cuma penawaran lisan. Pun tulisan; caranya sama. Tulisan itu kata-kata yang diubah ke bentuk teks.
Kalau, Anda belum betul-betul paham rasanya. Penawaran tulisan pun akan berasa hambar.
Jadinya bikin brosur, spanduk, membuat broadcast, jadi tidak tajam.
Saya mau bagi tip. Tentang teknik penawaran lisan. Seni negosiasi. Bisa diterapkan di manapun.
Pertama, niatnya harus lurus. Bahwa yang ditawarkan itu adalah; saling menguntungkan.
Posisikan mental Anda setara dengan calon pelanggan. Atau lawan bicara. Jangan minder dan tidak boleh pula merasa jumawa. Dengan siapa pun. Seimbang.
Pada saat ketemu, segera samakan frekuensi. Pakai teori yang ke tiga tadi.
Ketika menyampaikan penawaran, sajikan dengan semangat dan empati. Dan, datar-datar saja. Saya ulang: datar-datar saja.
Artinya Anda tidak boleh memposisikan diri terlalu memohon. Atau sebaliknya, terkesan menekan. Dua-duanya tidak baik. Dengan pemahaman saling membutuhkan, Anda akan lebih lepas dalam berbicara. Dan itu kesannya enak. Tidak kaku. Kedua belah pihak bisa sama-sama menolak.
Kalau sudah mampu mengendalikan mental seperti itu. Artinya sudah mahir menawarkan apa pun kepada siapa pun. Bisa jadi negosiator ulung.
"Segitu dulu deh, nanti Anda bosan membacanya"
Kalimat barusan pun contoh menyesuaikan sudut pandang.
Karena bisa jadi tulisan ini panjang dan membosankan.
Padahal saya pun sudah kehabisan bahan.
Penutup; teori di atas hanya merupakan kiat-kiat yang menjadi bagian dari penyempurnaan ikhtiar. Sehebat apa pun, tak ada jaminan berhasil. Saya sangat yakin; kemampuan setinggi langit pun, kalau tidak dengan izin Allah Swt. Mentah semua. Banyak-banyaklah berdoa dalam hal apa pun. (All Amin)