Gerbang Mang Cireng

Oleh: All Amin
Ia berujar lirih, "Masih digantung. Belum tahu kapan mulai sekolah."
Impiannya setiap malam; semoga besok pagi sekolah sudah dibuka. Rindunya agar bisa kembali mangkal di gerbang itu; membuncah.
Bagi Mamang, gerbang itu; gerbang harapan.
Libur sekolah; libur penghasilan. Aliran darahnya terhenti. Otaknya bersengkarut.
Masa, di mana bocah-bocah berseragam putih merah itu, mengerubuti gerobaknya.
Lalu, dagangannya bertukar recehan. Di situ klimaks perjuangan Mamang sepanjang hari.
Saat itu, ia merasa bak pesohor yang dikerumuni penggemar. Senang bukan kepalang.
Impiannya menyala, seiring koin dan uang kertas lusuh, yang masuk ke dalam kotaknya itu.
Kini, tiga bulan sudah, ia tak bisa berdiri di gerbangnya. Kuasanya di gerbang itu lebih lama dari siapa pun. Tak terhitung berapa kali berganti kepala sekolah. Mamang tetap tak tergantikan.
Sesekali tampak mahasiswa singgah ke gerobak itu. Bernostalgia. Sambil mengaku dosa; dulu pernah makan cireng Mamang, tapi lupa bayar. Mereka terkekeh bersama.
Pandemi Covid-19 meruntuhkan kuasa Mamang. Ia harus meninggalkan gerbang itu. Gerbang kehidupannya.
Tanpa gerbang itu, Mamang hanya kuat bertahan 3 hari. Kotak uangnya kosong. Yang di gerobak. Pun yang di rumah. Tak terdengar lagi gemerincing koin.
Perhiasan kecil-kecil yang mengalung di leher istri Mamang mulai dicopot. Ditukar beras dan ikan asin. Hanya cukup untuk itu. Tak lebih.
Kontarakan skala 1:80 dari gerobak cirengnya itu, mulai tak terbayar.
Bulan pertama, ia utang ke saudaranya yang tukang cukur. Cuma bisa sekali. Kini saudaranya itu pun sulit. Mulai jarang dapat memegang kepala.
Bulan kedua, ia temui kawannya pengusaha BBM. Pinjam uang untuk bayar kontrakan. Tampak bisnis kawannya itu masih lumayan. Minyak dalam botol bekas softdrink yang di rak-rak itu, selalu habis tiap sore.
"Tapi, kan tak bisa terus-terusan begitu." Ujar
Mang Cireng membatin
Mau pulang kampung tidak bisa. Susah. Kata Mamang; "Harus ke Argentina dulu 14 hari." Pun di kampung, ia bingung mau kerja apa.
Di kampung ia sudah tak punya apa-apa. Tanah peninggalan sudah habis terjual. Dibeli oleh pengusaha dari Jakarta. Sudah jadi perumahan dan waterpark.
Perumahan yang hanya bisa ia pandang. Mustahil terbeli. Kalau pun mudik Mamang lebih memilih berenang di empang. Bukan di taman air itu. Mahal.
Lalu, Mamang memutuskan untuk mendorong gerobaknya. Berkeliling. Tapi, hasilnya tak seperti di gerbang itu. Tak sampai separo.
Dan, ia tak bisa sembarang masuk. Ada semacam wilayah kuasa; tak tertulis. Tapi, berlaku. Seperti gerbangnya itu. Tak ada yang berani mendekat.
Apalagi masuk komplek perumahan. Berkali-kali ketemu portal digembok. Dipelototan satpam. Kadang ditembak jidat. Disemprot cairan pembunuh kuman.
Mang Cireng, tak terlalu paham soal pandemi.
Yang paling ia rasakan saat ini. Mengumpulkan recehan, sekedar untuk makan, dan membayar kontrakan; sungguhlah berat.
Mamang duduk selonjoran di pelataran Masjid. Melepaskan penat. Matanya menerawang. Tampak berkaca-kaca. Ia rindu kerumunan bocah-bocah cilik itu. Mamang rindu gerbang sekolahnya. (*)