Indra J Piliang: Masa Depan Laut Barat Sumatera
JALUR laut atau maritim adalah pintu masuk pertama kolonialisme. Sebelum tahun 1980an, laut menjadi wilayah yang bebas eksplorasi. Tak heran, kisah-kisah tentang laut masih seputar bajak laut. Atau, paling banter pertarungan dalam Perang Dunia II di sejumlah tempat yang tak banyak.
Indonesia sebagai negara kepulauan, baru bisa mengambil manfaat selama tiga puluh tahun terakhir. Itupun belum maksimal. Sebelum itu, kekayaan laut yang terentang di dalam 70% wilayah Indonesia ikut dinikmati negara-negara lain yang memiliki teknologi di laut dalam.
Novel-novel berbahasa Indonesia masih sangat terbatas dalam menampung cerita di lautan. Walau, Buya Hamka sudah menulis “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”. Karya HAMKA disukai oleh ibunda Fahri Hamzah. Ibu saya bisa jadi juga suka, mengingat karya itu sempat dibuat dalam bentuk sandiwara radio bersambung.
NH Dini sudah menulis “Pada Sebuah Kapal”. Sri, tokoh utama dalam buku NH Dini, bersama anaknya sedang menuju Saigon, tempat suaminya yang berkebangsaan Perancis menunggu.
Di luar kisah-kisah itu, lautan masih dihuni oleh mitologi. Hampir seluruh laut di Indonesia memiliki tokoh-tokoh mistisnya sendiri, terutama dalam sosok perempuan. Nyi Roro Kidul di selatan Jawa. Putri Junjung Buih dalam hikayar Banjar yang menghuni Selat Karimata.
Dua sosok mitos di Sumatera Barat adalah Anggun Nan Tongga dan Malin Kundang. Anggun menjelajahi lautan guna membebaskan mamak (paman) kandungnya, Raja Tua, di tangan lanun (perampok dan bajak laut yang ditakuti). Malin Kundang? Malahan dipelintir sebagai anak yang durhaka kepada Ibu Kanduangnya yang miskin.
Yang jelas, selama berabad-abad, kawasan pantai, pesisir, pulau dan lautan barat Sumatera adalah urat nadi perdagangan. Laut juga menjadi jalur utama dalam menjalankan ibadah, baik bagi ummat Hindu, Budha, Kristen, Yahudi, maupun Islam. Palembang yang pernah menjadi pusat studi agama Budha didatangi lewat laut oleh kaum terpelajar dari China dan India. Untuk menuju Vatikan, atau bahkan Tel Aviv, jalur laut masih paling aman di masa lalu.
Apalagi bagi ummat Islam yang hendak menjalankan ibadah haji, tentu lautan telah menjadi sajadah dalam waktu yang lama, berbulan-bulan.
Ombak pantai barat Sumatera jauh lebih ganas dibandingkan dengan kawasan lainnya di Indonesia. Jenis perahu yang dipakai di pantai barat Sumatera pun berbeda dibanding kawasan lain. Bagian yang menghempas ke air harus terbuat dari kayu yang sangat keras, supaya perahu tidak terbelah atau pecah. Bentuk perahu juga lebih ramping dan runcing.
Walau sudah diakui sebagai negara kepulauan, visi pembangunan kelautan Indonesia masih lemah. Padahal, sandaran dari visi yang mengarah ke masa depan itu sudah sangat kuat. Sudah banyak muncul sejarawan yang khusus menulis tentang dunia maritim. Adrian Bernard Lapian, peletak dasarnya, menulis disertasi “Orang Laut – Bajak Laut – Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX”. Ahli-ahli ekonomi yang khusus mengulas kelautan pun mulai berjibun.
Ibnu Khaldun termasuk sejarawan plus sosiolog plus ekonom yang menjadikan letak negara atau kawasan sebagai pemicu pertumbuhan dan penguasaan ekonomi. Negara-negara non kontinental alias memiliki laut, lebih sejahtera dibandingkan dengan negara kontinental.
Ibnu Khaldun tak perlu menulis tentang Etika Protestan dalam sosiologi ekonomi, sebagaimana ditulis Max Weber dalam membahas kemajuan kapitalisme. Kedalaman dan keluasan ilmu dan pengetahuan yang dimiliki Ibnu Khaldun tidak lantas membawa kepada pendekatan agama (religious approach) dalam studi-studi sosial ekonomi.
Robert Fogel, penerima Nobel Ekonomi 1993, adalah seorang sejarawan plus ekonom yang menulis disertasi tentang pengaruh jalur-jalur kereta api dalam perekonomian Amerika Serikat pada abad ke-19. Dengan metode kuantitatif, Fogel berhasil membuat simulasi, betapa ekonomi Amerika Serikat jauh lebih baik, lebih murah, dan lebih stabil dalam jangka panjang, apabila yang dibangun adalah kanal-kanal atau sungai-sungai buatan, ketimbang jalur kereta api.
Jadi, tunggu apa lagi?
Mari mulai menyusun rencana besar masa depan pembangunan ekonomi lautan barat Sumatera. Jadikan pulau-pulau di bagian barat Sumatera sebagai satu kesatuan ekologi, ekonomi dan ekosistem: Enggano, Pagai Selatan, Pagai Utara, Sipora, Siberut, Tanah Bala, Pini, Nias, Sinabang, hingga Sabang.
Dari area itu, tersambung pantai-pantai yang menghubungkan Indonesia, Malaysia, Thailand, Myanmar, Bangladesh, India, Srilanka, Pakistan, hingga Iran, Afrika dan Eropa. Samudera Indonesia, Laut Andaman, dan Laut Arab terikat satu.
Pelabuhan, industri perkapalan, wisata maritim. Sekolah-sekolah kelautan. Akademi kelautan. Kampus-kampus kelautan. Begitupun industri hasil kekayaan alam Indonesia yang sejak lama diekspor ke negara-negara besar, seperti India, China, Eropa dan Timur Tengah.
Bukankah lebih banyak kawasan seperti Maldives di Indonesia, ketimbang Maldives yang berada di Maldives?
Penambahan alokasi anggaran lima provinsi yang terhubung dengan lautan Indonesia, yakni Lampung, Bengkulu, Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Aceh. Jika dalam satu tahun anggaran saja terdapat alokasi Rp10 triliun, berarti hanya butuh Rp50 triliun setiap tahun. Jumlah yang relatif kecil. Ketika pembangunan infrastruktur sudah dimulai, bakal hadir investor yang datang dari negara-negara yang bakal mendapat manfaat, seperti India, Iran atau negara-negara Timur Tengah lain.
Ibu Susi Pujiastuti, Zulfikar A Mochtar, Chalid Muhammad dan sejumlah pemerhati kelautan, bisa bergabung dalam sebuah dream team guna menyusun rencana besar ini. Sebab, saya khawatir, perdebatan jangka pendek dewasa ini bisa “menghancurkan” pikiran besar yang berada di balik tempurung kepala mereka. Mumpung masih lama berharap ekonomi kembali ke masa normal, tersedia waktu yang lumayan banyak guna menyusun konsep, pemikiran, hingga program apapun. (*)
Indra J Piliang
Jakarta, 28 Juli 2020