News Breaking
Live
update

Breaking News

Omong Besar Sjam Kamaruzzaman yang Bikin Letkol Untung dan Brigjen Soepardjo Lemas

Omong Besar Sjam Kamaruzzaman yang Bikin Letkol Untung dan Brigjen Soepardjo Lemas



TanjakNews.com, Historia -- Kepala Biro Chusus PKI, Sjam Kamaruzaman dikenal oleh orang dekatnya sebagai lelaki yang suka omong besar.

Di mata Hamim, rekan Sjam di biro khusus, Sjam adalah sosok pemimpin yang keras.

Wajahnya menakutkan, orangnya hitam legam, matanya besar, begitu penggambaran Hamim terhadap sosok Sjam Kamaruzaman.

“Dia itu seperti militer di Biro Chusus. Ia mengutamakan sentralisme daripada demokrasi. Walaupun dia bukan militer, caranya di Biro Chusus kayak militer. Disiplinnya kuat,” kata Hamim seperti dikutip dari Seri Buku Tempo: Orang Kiri Indonesia dengan judul “Sjam, Lelaki dengan Lima Alias”.

Sjam memimpin dengan sangat keras.

Dia tidak akan segan mencaci bawahannya ketika melakukan kesalahan.

“Dia (Sjam) memaki-maki bahkan di depan orang,” kata Hamim.

Di mata Hamim, Sjam juga seorang pentolan PKI yang suka omong besar.

Sjam paling suka membesar-besarkan pengaruhnya terhadap militer.

“Sifatnya sombong. Dia suka bombastis, omong besar,” ujar Hamim.

Ada empat pengurus Biro Chusus PKI lainnya, yaitu Pono, Bono, Suwandi, dan Hamim.

Sjam, Pono, dan Bono dieksekusi mati pada 1986, sementara Suwandi meninggal lebih dulu.

Satu-satunya yang masih hidup sampai runtuhnya kekuasaan Soeharto adalah Hamim.

Sebenarnya dia telah divonis mati oleh pemerintahan Soeharto, namun bersama beberapa tahanan politik lainnya, Hamim bebas ketika Orde Baru tumbang.

Menjelang meletusnya tragedi G30S 1965, Sjam sempat sesumbar kepada Hamim.

Dia sangat yakin, semua akan berjalan aman dan revolusi akan berhasil karena Sjam merasa telah menguasai militer.

"Bung enggak usah takut, kita sudah punya tentara. Dengan tentara, kita bisa berbuat apa saja," kata Sjam kepada Hamim

Namun saat itu Hamim merasa PKI belum siap untuk melancarkan revolusi.

Menurut Hamim, dengan kondisi saat itu, PKI hanya siap melancarkan demonstrasi, rapat umum, menuntut upah, dan melawan revolusi, tidak untuk berperang.

“Bung belum bertempur, sudah takut!” Sjam marah mendengar sikap Hamim.

Selain Hamim, Suswandi juga menentang usul Sjam. Namun tidak dengan Pono dan Bono.

Di mata Hamim, Sjam adalah orang yang sombong dan tak mau belajar teori.

Sjam terlalu bangga dengan pengalamannya di Serikat Buruh Pelabuhan dan Pelayaran Tanjung Priok.

Aidit banyak berkoordinasi dengan Sjam saat persiapan G30S. Sjam pula yang memanas-manasi Aidit agar cepat bergerak. Dia memberi jaminan pasukan pendukung telah siap. Padahal kenyataannya, hanya beberapa gelintir pasukan yang siap mendukung gerakan itu. Aidit terlalu percaya pada Sjam.

"Biro Chusus mengelabui diri sendiri dengan menganggap ambisi sebagai pencapaian. Pimpinan tidak pernah mempelajari pasukan mana yang bisa bergabung," analisa Brigjen Soepardjo, salah satu unsur pimpinan gerakan militer dalam gerakan G30S seperti ditulis sejarawan John Roosa dalam bukunya Dalih Pembunuhan Massal.

Aidit termakan analisa palsu Sjam. Apalagi pimpinan PKI itu khawatir dengan kondisi Soekarno yang jatuh sakit. Jika Soekarno keburu meninggal dunia, TNI AD pasti langsung akan bergerak untuk menghancurkan PKI.

Maka Aidit menyimpulkan, lebih baik memukul duluan dengan menculik para jenderal.

Soal omong besar ini juga dialami dua Petinggi militer PKI,
Letkol Untung dan Brigjen Soepardjo.

Dalam pelaksanaan rencana kudeta, Sjam seolah-olah memimpin gerakan ini. Para perwira militer G30S PKI seperti Letkol Untung, Brigjen Soepardjo dan Kolonel Latief berada di bawah komandonya.

Letkol Untung dan Brigjen Soepardjo sempat ragu bergerak, setelah dukungan tank dan kendaraan lapis baja yang dijanjikan Sjam tak kunjung datang. Kelihatan benar kalau Sjam hanya omong besar. Namun pria yang digambarkan selalu percaya diri ini menyergap dua perwira militer ini.

"Ya Bung kalau begini banyak yang mundur, kalau revolusi sudah berhasil banyak yang mau ikut," kata Sjam.

Terjadilah peristiwa kelam G30S. Dalam 24 jam, gerakannya layu dan langsung dihajar Kubu Letjen Soeharto. Brigjen Soepardjo mencoba meminta kendali pasukan dari Sjam, namun tak diberikan.

Lemaslah sang jenderal bintang satu itu. Dia terduduk.

"Kita sudah kalah," katanya.

Letkol Untung ditangkap dalam pelariannya di Jawa Tengah. Brigjen Soepardjo pun demikian. Keduanya tewas dieksekusi mati.

Sosok Sjam yang misterius ditulis Majalah Tempo. Tempo berdasarkan seorang narasumber yang tak mau disebutkan namanya sebut saja namanya Chairul--yang mengaku mengenal Syam dari dekat. Menurut Chairul, tokoh misterius bernama Syam itu berkulit gelap, berambut keriting, tinggi badan sekitar 170 sentimeter, sering memakai baju dril, dan ada codetan di pipi dekat mata kanannya. ''Dia memang tukang berkelahi,'' tutur Chairul.

Mungkin nama Sjam akan selalu menjadi misteri. Dalam film, tokoh seperti Syam hanya akan disorot sebagai kaki dan tangan yang sibuk, tanpa pernah terlihat wajahnya dengan jelas.

Kamaruzaman alias Syam, bagi sejarah Orde Baru, adalah kunci yang menghubungkan PKI dengan Gerakan 30 September. Menurut Kolonel Latief, Syam-lah yang menerjemahkan perintah Letkol Untung untuk menangkap para jenderal hidup atau mati.

Bagi generasi muda yang membaca sejarah Indonesia, tokoh tersebut mungkin akan terus-menerus menjadi seorang tokoh "jahat" misterius yang tak jelas latar belakangnya, kelahirannya, dan tujuan hidupnya, kecuali menyebarkan komunisme dan membantai sejumlah jenderal. Di media massa, Syam hanya dikenal sebagai sosok PKI yang berdiri di muka hakim saat diadili dengan mengenakan kacamata hitam.

Syam adalah ayah dua anak. Istrinya sudah almarhumah sejak Syam aktif di Biro. Syam, di mata Chairul, merupakan lelaki yang senang dengan strategi, bukan teori.

Ketika Chairul baru mengenalnya saat itu, Syam berusia sekitar 50 tahun. Sebelum direkrut PKI, Syam menjabat ketua Serikat Buruh Perkapalan. Pada 1965, Syam duduk di BC-PKI (Biro Khusus PKI), suatu bagian dari organisasi yang mengurusi soal-soal khusus, misalnya menarik simpati dan pengaruh dari kalangan angkatan bersenjata, agama, dan intelektual untuk berminat aktif di PKI.

Menurut Chairul, perkembangan BC ini diawali karena Syam adalah Ketua CC-PKI (Komite Sentral PKI) dengan Bono dan Pono sebagai wakilnya. "Syam juga seorang sipil yang menjadi informan tentara," tutur Chairul.

Menurut Chairul pula, Syam mengenal Soeharto dan Untung saat berada di Patuk, Yogyakarta. Tapi sosok yang paling dekat dengan Syam adalah Aidit, Ketua Umum PKI. Begitu khususnya hubungan mereka sehingga pengurus PKI lain seperti Nyoto dan Lukman tidak mengetahui adanya BC. Yang mengikat BC dengan PKI, menurut Chairul, hanyalah tiga orang, yakni Syam, Pono, dan Bono. BC-PKI memiliki cabang di berbagai daerah tapi tidak memiliki kantor tetap. Sebulan sekali, Syam sebagai Kepala BC mengadakan pertemuan dengan seorang kawan Chairul yang menjadi anggota bidang pendidikan BC. Caranya, Syam akan memanggil rekan Chairul itu ke rumah Syam di Salemba, Jakarta Pusat, di dekat pintu kereta api, tepatnya di dekat Pasar Mencos.

Menurut rekan Chairul, "Rumahnya sederhana, tak banyak barang berharga. Setelah bertemu, mereka langsung pergi lagi untuk melakukan pertemuan. Karena sifatnya yang sangat rahasia, BC menerapkan sistem sel, yang tidak memungkinkan anggotanya saling mengenal.

Pernah suatu kali, rekan Chairul itu mendidik tiga orang sekaligus. Syam marah-marah. Ia menginginkan rekan Chairul yang pengajar itu agar mengajar satu orang anggota BC saja, dengan masa pendidikan tiga bulan plus ujian selama satu bulan. Akibatnya, untuk menghasilkan satu kader BC dibutuhkan waktu empat bulan. Menurut Chairul, Syam adalah orang yang disiplin dan tidak banyak bicara. "Perintah dia harus dituruti. Kalau tidak, dia akan segera menggantinya dengan orang lain. Kalau marah, dia betul-betul marah," kata Chairul.

Syam, Pono, dan Bono, menurut Chairul, adalah penasihat untuk Gerakan 30 September. Desas-desus tentang adanya Dewan Jenderal sudah diketahui sejak Agustus 1965, yaitu ada jenderal-jenderal yang ingin menggusur kepemimpinan Soekarno. Lalu ada sekelompok perwira muda yang ingin menyelamatkan Presiden Soekarno dari kemungkinan penggusuran Dewan Jenderal itu.

''Nah, sikap PKI waktu itu adalah mendukung gerakan para perwira muda,'' kata Chairul.

Tapi anggota BC lain tak diikutsertakan dalam Gerakan 30 September. Dari semua anggota Biro, hanya tiga pengurus dan Aidit yang mengetahui gerakan tersebut.

"Itu suatu gerakan rahasia. Masa, mau berontak bilang-bilang," ujar Chairul.

Suatu malam tahun 1986, Syam, Pono, dan Bono, yang sudah dijatuhi hukuman mati, dijemput dari penjara Cipinang. Tak lama kemudian, muncul pengumuman bahwa mereka sudah dieksekusi.

(Oce/ dari berbagai sumber, a.l:Tempo, Merdeka.com,Tribunnews, Sjamkamaruzzaman.wordpress.com)

Tags