Inilah Cara Penyembelihan Hewan Kurban Menurut Fikih
Inilah
Cara Penyembelihan Hewan Kurban Menurut Fikih
Oleh
: Muhammad Karim
(Asatidz
Tafaqquh Study Club)
Islam adalah agama (din)
yang sempurna. Syariat menuntun penganutnya di setiap aspek kehidupan untuk
menjadi manusia unggul dan berkualitas. Di antara syariat tersebut, agama Islam
memiliki konsep kebersihan atau yang biasa disebut dalam istilah fikihnya
dengan Thaharah, islam juga mempunyai konsep ekonomi atau yang biasa
dikenali dengan fikih mu’amalah. Dan kita juga memiliki konsep pembagian harta
warisan yang masyhur disebut dengan istilah fara’id.
Banyak sekali hal yang sangat
menarik apabila mengaji fikih ini, kenikmatan itu akan semakin menarik apabila mengajinya sampai mendalam (tadqiq).
Salah satu contohnya adalah cara penyembelihan hewan. Berlandaskan hadis Nabi
Muhammad SAW:
عَنْ أَبِيْ يَعْلَى شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ ، عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِنَّ اللهَ كَتَبَ اْلإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ. فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ، وَإِذَا ذَبَحْتُمْ
فَأَحْسِنُوْا الذِّبْحَةَ، وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ، وَلْيُرِحْ
ذَبِيْحَتَهُ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Dari Abu
Ya’la Syaddad bin Aus Radhiyallahu anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah mewajibkan berlaku baik terhadap
segala sesuatu. Maka jika kalian membunuh, hendaklah membunuh dengan cara yang
baik. Jika kalian menyembelih, hendaklah menyembelih dengan cara yang baik.
Hendaklah seorang dari kalian menajamkan pisaunya dan menyenangkan hewan
sembelihannya”. [HR Muslim].
Menyembelih artinya menghilangkan
ruh dengan cara memutus urat saluran pernafasan (hulqum) dan saluran
makanan (mari’) dengan menggunakan benda tajam. Lihat : al-Qomus al-Fiqh Lughatan wa Isthilahan, karya Dr Sa’di Abu
Habib, juz 1. Hlm.135.
Apabila hewan yang halal dimakan
telah disembelih dengan ketentuan syariat Islam maka boleh dimakan. Artinya
hewan yang telah dihalalkan oleh syariat, namun tidak disembelih sesuai syariat
maka hukumnya haram. Begitu juga haram dimakan hewan yang yang tidak dihalalkan
oleh Islam, walaupun penyembelihannya sesuai syariat Islam. Lihat: Umdah
al-Salik wa Uddah an-Nasik, ditulis oleh Ibn Naqib, hlm.205.
Oleh sebab itu bagi umat Islam
harus mengetahui fikih penyembelihan, di antara rukun dan syarat penyembelihan terbagi
menjadi beberapa kelompok, yaitu. Terkait dengan orang yang menyembelihnya,
metode penyembelihannya, hewan yang akan disembelih, dan terkait alat yang
digunakan untuk menyembelih. : Lihat: Syarah Yaqut al-Nafis, ditulis
oleh al-Habib Muhammad bin Ahmad al-Syathiri. hlm 815.
Berikut penjelasan terkait
rukun-rukun atau syarat penyembelihan hewan di dalam fikih.
Pertama, orang yang menyembelih. Orang yang menyembelih binatang harus memenuhi
syarat. Adapun syarat-syaratnya adalah.
1. Orang yang melakukan penyembelihan disyaratkan
harus beragama Islam,(lihat: surat al-Maidah ayat 5). Artinya sembelihan dari
orang non Muslim hukumnya tidak halal
2. Penyembelihannya dilakukan oleh orang yang sudah
baligh atau mumayyiz. Maka tidak sah sembelihan yang dilakukan oleh anak
kecil yang belum mumayyiz.
3. Sembelihan harus dilakukan dengan niat atau
kesengajaan. Artinya tidak sah sembelihan orang yang sedang mabuk, meskipun
sudah memutus urat yang wajib terputus, karena tidak ada niat atau kesengajaan.
4. Orang yang akan menyembelih hewan tersebut, mampu
menguasai hewan yang akan disembelih atau dapat memegangnya. Dan jika tidak
bisa memegang hewan atau menguasainya, maka disyaratkan dapat melihat hewan
yang akan disembelih.
5. orang yang menyembelih disyaratkan mampu atau
sanggup menjalankan tugasnya. Artinya, orang yang menyembelih tidak harus
laki-laki, bagi wanita juga dibolehkan dengan syarat mampu.
Kedua,
metode penyembelihan.
Apabila hewan yang akan disembelih
dapat dikuasai atau dapat dipegang, maka sembelihan harus dilakukan pada bagian
leher hewan tersebut. Adapun syaratnya penyembelihannya harus dilakukan dengan
sengaja, harus memutuskan urat saluran pernafasan (hulqum), dan harus
memutuskan urat saluran makanan (mari’). Lihat: Umdah al-Salik wa
Uddah an-Nasik, ditulis oleh Ibn Naqib. hlm.205.
Oleh sebab itu, penyembelihan yang
dilakukan tanpa ada kesengajaan, maka penyembelihan tersebut hukumnya tidak sah
dan dagingnya dihukumi haram. Begitu juga sembelihan yang tidak memutuskan dua
atau salah satu saluran pernafasan dan saluran makanan, maka sembelihannya
dihukumi tidak sah.
Kemudian dalam pemotongan hewan
tersebut tidak disyaratkan sekali ayun harus dapat memutuskan urat saluran
pernafasan dan saluran makanan. Artinya diperbolehkan mengayunkan pisau
berulangkali pada leher hewan sampai saluran nafas dan makanan terputus, dengan
syarat alat yang digunakan untuk menyembelih tidak diangkat dari leher hewan
yang disembelih. Jika di saat melakukan penyembelihan pisaunya jatuh atau alat
sembelihannya itu diganti dengan yang lebih bagus atau tajam, maka sembelihan
tersebut tetap dihukumi sah dengan ketentuan bahwa sembelihan pertama dan kedua
dilakukan dengan segera (tidak terpisah waktu yang lama).
Namun, apabila antara sembelihan
pertama dan kedua terpisah dalam waktu yang lama, maka hukumnya tergantung
kondisi hewan sembelihan tersebut. Jika saat sembelihan yang kedua hewan
tersebut masih hidup (hayat mustaqirroh), maka hukumnya halal. Namun
apabila di saat sembelihan yang kedua kalinya hewan tersebut tidak ada lagi
tanda-tanda hidup (hayat mustaqirroh), maka hewan tersebut dihukumi
bangkai dan sembelihannya tidak sah. Baca : Fathu al-Mu’in, ditulis oleh
Syeikh Zainuddin Abdul Aziz, Juz 1.hlm. 306.
Kemudian, apabila hewan yang akan
disembelih tersebut tidak terkuasai atau tidak dapat dipegang, contohnya hewan
yang akan disembelih tersebut lari dan masuk kedalam sumur. Sehingga terdapat
kesulitan untuk menyembelih pada lehernya, maka cara penyembelihannya adalah
sebagaimana menyembelih bintang buruan, yaitu melukai dengan alat khusus pada
bagian manapun dari tubuh hewan tersebut, sekira luka tersebut dapat
mempercepat kematiannya. Namun apabila setelah dilukai, hewan tersebut ternyata
masih hidup juga dan dapat tangkap, maka wajib disembelih lagi pada lehernya.
Lihat : Fath al-Mu’in, ditulis oleh Syeikh Zainuddin
Abdul Aziz, Juz 1.hlm. 306.
Adapun penyembelihan dengan cara
memutuskan leher secara keseluruhan itu dihukumi sah dan hewannya yang
disembelih hukumnya halal, namun penyembelihan dengan cara tersebut dihukumi
makruh. Dan sebaiknya penyembelihan dilakukan pada leher yang jauh dari kepala,
karena jika sembelihan terlalu dekat dengan kepala, dikhawatirkan yang putus adalah lidah hewan tersebut, bukan
urat saluran pernafasan dan makanannya.
Ketiga,
binatang yang disembelih. Melihat dari sisi kondisi binatang sebelum disembelih
terbagi menjadi dua pengelompokkan, yaitu:
1. Hayat
Mustaqirroh, artinya hewan yang akan disembelih
tersebut masih hidup. Adapun tanda-tanda hewan yang masih mempunyai hayat
mustaqirrah, adalah ketika saluran pernafasan dan saluran makanan terputus,
darahnya keluar dengan memancar atau menyembur. Namun kalau darahnya hanya
sekedar menetes, maka pastikan ia bergerak dengan keras setelah disembelih.
(lihat: Syarah Yaqut al-Nafis, ditulis oleh al-Habib Muhammad bin Ahmad
al-Syathiri. hlm.820.)
2. Hayat
Mustamirroh, adapun tanda hewan tersebut terdapat hayat
mustamirroh adalah sekiranya hewan tersebut masih bernafas, sekalipun sudah
tidak sanggup bergerak.
Keempat, di antara rukun penyembelihan adalah alat untuk menyembelih. Adapun
syarat dari benda yang digunakan untuk menyembelih hewan adalah harus tajam,
sekiranya dengan ketajaman tersebut mampu memutuskan urat tanpa menggunakan
daya tekan yang kuat. Perlu juga diketahui bahwa tidak boleh menggunakan alat
pemotongan hewan dengan tulang dan kuku, hal ini sesuai dengan hadis riwayat
Imam Bukhari dan Muslim dari Rafi’ bin Khudaij, Nabi Muhammad SAW bersabda:
إنَّ نَرْجُوْ أَوْ نَخَافُ
الْعَدُوَّ غَدًا وَلَيْسَتْ مَعَنَا مُدًى, أَفَنَذْبَحُ بِالْقَصَبِ ؟ قَالَ
مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ فَكُلُوْهُ لَيْسَ
السِّنَّ والظُّفُرَ, وَسَأُحَدِّثكُمْ عَنْ ذَلِكَ أَمَّا السِّنَّ
فّعّظْمٌ وّأمَّا الظُّفُرَ فَمُدَى الْحَبَشَةِ
“Sesungguhnya kami berharap atau
khawatir bertemu lawan esok hari, sedangkan kami tidak membawa pisau. Bolehkah
kami menyembelih dengan bambu? Nabi Saw menjawab, ‘Semua benda yang dapat
mengalirkan darah dan dibacakan nama Allah, maka makanlah sembelihan itu,
kecuali dengan gigi dan kuku. Akan aku ceritakan kepadamu alasannya, yaitu;
gigi itu tulang dan kuku itu pisau orang-orang habsyi.”
Adapun menyembelih hewan dengan
menggunakan mesin hukumnya boleh dan dagingnya halal, jika cara penyembelihan
telah memenuhi syarat-syaratnya yang telah ditetapkan oleh syariat, yaitu orang
yang memotong atau operator mesinnya orang Islam dan mesin yang digunakan
mempunyai ketajaman yang sesuai dengan standar alat penyembelihan. Kemudian
terkait dengan pemukulan binatang yang akan disembelih atau pemingsanan dengan
menggunakan sengatan listrik dan sejenisnya, prilaku tersebut hukumnya haram,
karena hal tersebut merupakan penganiayaan dan penyiksaan terhadap hewan yang
akan disembelih. Akan tetapi daging binatang yang disembelih melalui proses
pemingsanan hukumnya tetap halal, apabila masih menetapi syarat-syarat
penyembelihan dan pastikan hewan tersebut masih hidup atau terdapat hayat
mustaqirroh sebelum dilakukan proses pemotongan.
Kemudian disunnahkan juga memotong
dua urat leher ketika menyembelih hewan, dan mengasah alat atau pisau setajam-tajamnya,
menghadapkan sembelihan ke arah kiblat. Dan hendaklah yang menyembelih itu
seorang lelaki berakal sehat, kalau tidak ada maka wanita, kemudian anak kecil
yang mumayyiz. Dan di sunnahkan juga waktu menyembelih membaca basmallah
dan sholawat kepada Nabi Muhammad SAW. Lihat : Fathu al-Mu’in, ditulis oleh Fath al-Mu’in, ditulis
oleh Syeikh Zainuddin Abdul Aziz, Juz 1.hlm. 307. Semoga
tulisan singkat ini bermanfaat bagi saudara-saudaraku yang akan menyembelih
hewan kurbannya suatu saat nanti.
(Artikel ini sebelumnya sudah termuat di hidayatulloh.com)