News Breaking
Live
update

Breaking News

Kalung Anti Corona yang Bikin Heboh

Kalung Anti Corona yang Bikin Heboh

 
(dok: Kementan)



TanjakNews.com, Jakarta -- Kalung antivirus Corona  produk Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Kementerian Pertanian (Kementan) tengah menjadi kontroversi di Tanah Air. Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto angkat bicara.
Kalung yang dimaksud adalah kalung berisi eukaliptus (kayu putih) bertulisan 'Antivirus Corona, Eucalyptus'. Terawan mengaku belum mempelajari soal kalung ini.
"Tadi, mengenai apa tadi, kalung dan sebagainya, saya malah tidak, belum terlalu mempelajari isinya apa," kata Terawan setelah menggelar pertemuan dengan Gubernur Maluku Murad Ismail, Senin (6/7/2020).
Kementerian Pertanian (Kementan) meluncurkan inovasi produk aromaterapi antivirus berbasis eucalyptus yang dibuat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) yang sudah dilakukan hak paten. Kalung itu diklaim mampu membunuh 80-100 persen virus mulai dari avian influenza hingga virus corona. Balitbang menyimpulkan Eucalyptus Namun, mereka menegaskan bahwa produk ini bukan obat oral maupun vaksin.

Produk ini dikemas dalam beragam bentuk seperti kalung inhaler, roll on, salep, balsem, dan diffuser, dengan menggandeng PT Eagle Indo Pharma untuk pengembangan dan produksinya. 
Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Suwijiyo Pramono  seperti dikutip Tirto.id mengatakan eucalyptus bukan untuk digunakan sebagai obat dalam. Pemakaian eucalyptus umumnya dioleskan atau dihirup seperti pada produk minyak kayu putih atau balsem. Dalam eucalyptus terdapat senyawa 1,8-Sineol yang bersifat antibakteri, antivirus, dan ekspektoran untuk mengencerkan dahak. 1,8-Sineol dikenal luas sebagai komponen kimia utama dalam minyak kayu putih.

Ia tidak memungkiri kalau eucalyptus bermanfaat bagi pasien COVID-19, lebih tepatnya, zat aktif pada eucalyptus yang dihirup berpotensi melegakan pernapasan mereka yang mengalami gejala sesak napas dan mengencerkan dahak. 

“Dalam hal ini bisa membantu obat standar yang diberikan kepada pasien COVID-19 dalam proses penyembuhan, bukan sebagai obat utama,” kata Pramono lewat keterangan tertulis yang diterima wartawan Tirto, Senin (6/7/2020) pagi. 

Ia mengatakan kalau dalam riset terdahulu eucalyptus memang diketahui dapat membunuh virus influenza dan Corona. Tapi, ia menegaskan, virus Corona yang dimaksud bukanlah SARS-CoV-2 alias COVID-19. “Virus Corona SARS-CoV-2 ini baru. Dalam uji kementerian kemarin, menggunakan virus itu atau bukan?”

Kepala Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Kementan Evi Savitri Iriani, yang terlibat dalam penelitian, mengatakan kepada Kompas kalau mereka memang tidak melakukan uji coba spesifik ke SARS-CoV-2. Alasannya karena virus itu “belum dapat ditumbuhkan di lab.” 

Pramono menegaskan eucalyptus belum bisa dianggap sebagai obat atau antivirus atau vaksin COVID-19. Masih diperlukan pembuktian dengan proses yang panjang hingga pengujian klinis atau tes pada manusia. 

“Kalau disebut sebagai obat antivirus COVID-19 belum bisa. Apalagi kalau digunakan per oral untuk obat tidak direkomendasikan karena jika dosis penggunaan tidak tepat akan berbahaya,” katanya.

Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Tri Yunus Miko Wahyono menegaskan apa yang diproduksi oleh Kementan hanya jamu dan obat herbal, bukan vaksin yang dibutuhkan untuk memberantas COVID-19. Terlebih, pengujian yang dilakukan oleh Kementan hanya sebatas in vitro yang bahkan belum diuji kepada binatang. 

“Harus diuji ke binatang dahulu, kalau berhasil, baru kemudian diuji ke manusia. Tahapnya masih panjang. Dan harus dilakukan oleh ahli virologi dan ahli farmakologi,” kata Miko saat dihubungi wartawan Tirto, Senin siang. 

Tak hanya itu, penggunaan kalung dan roll on ini juga harus diinformasikan dengan detil dan jelas oleh pemerintah. Ini penting untuk mengantisipasi respons masyarakat yang mungkin tidak menerima informasi secara utuh.

“Jika warga hanya memakainya saja, kemudian abai tanpa pakai masker, cuci tangan, jaga jarak, jaga kesehatan, dan yakin kalau kalung atau roll on itu bisa melindungi dari COVID-19, bahaya.”

Kepala Balitbangtan Kementerian Pertanian, Fadjry Djufry, buka suara terkait pernyataan yang dilontarkan atasannya dan bikin heboh masyarakat. Dalam konferensi pers pada Senin pagi tadi, ia menjelaskan bagaimana pada akhirnya 'anti virus Corona' itu sampai diperkenalkan ke publik. 

Awalnya mereka mendengar ada virus baru dari Cina pada Januari lalu. Mereka meresponsnya dengan melakukan kajian awal terhadap beberapa komoditi lewat studi literatur dan penanaman secara langsung. Setidaknya, kata Fadjry, ada 50 tanaman yang berpotensi menjadi antivirus, salah satunya eucalyptus. 

“Bahan aktif yang diperoleh kemudian diuji karakteristik dan kemampuan antivirusnya dengan pengujian in vitro pada telur berembrio. Hasil pengujian terhadap beberapa bahan aktif menunjukkan bahwa eucalyptus mampu membunuh 80-100 persen virus influenza dan Corona,” katanya, tanpa menjelaskan apakah Corona yang dimaksud itu COVID-19 atau bukan.

Hasil dari pengujian in vitro itulah yang akhirnya dikembangkan menjadi minyak eucalyptus dan dikemas dalam beberapa varian produk seperti roll on, inhaler, balsam, diffuser, dan kalung aromaterapi. 

Temuan ini lantas diujicobakan kepada 16 pasien positif COVID-19 tanpa dilanjutkan uji klinis. “Kami hanya me-record testimoni mereka tetapi tidak melakukan pengujian terhadap kondisi kesehatannya,” katanya. Ia mengaku lembaganya tak memiliki wewenang melakukan uji klinis. Uji klinis harus dilakukan dan diketuai langsung oleh dokter spesialis paru. 

Ia lalu mengatakan sebenarnya izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang dikeluarkan untuk kalung dan roll on tersebut tidak menyebut antivirus, melainkan “hanya sebagai jamu.” “Ini bukan vaksin. Kalau memang ini tidak punya manfaat untuk antivirus, paling tidak bisa memperbaiki pernapasan. Minimal mengurangi gejala dari COVID-19,” tambahnya.



sumber: Tirto.id

Tags