Kisah Ventje Sumual, Simbolon, Pak Syaf dan Tahanan Politik di RTM
SELAMA dalam tahanan, banyak sekali kisah suka duka di antara kami, termasuk kisah-kisah lama yang baru diungkap oleh sesama tahanan. Juga, tentu saja sangat banyak jokenya, walau hari-hari awal kami berada dalam tahanan biasanya yang dibicarakan yang serba serius. Yang diguraukan macam-macam. Misalnya waktu Sjarifuddin Prawiranegara tampak sedang ngobrol berdua dengan Dr. Soumokil, Nun Pantouw langsung bilang ke kami sesama tahanan yang sedang duduk-duduk di tempat terpisah,
"Lihat...! Dua Presiden sedang berunding. Presiden RPI dan Presiden RMS!" Semua langsung terbahak bahak. Apalagi ketika melihat gaya dua teman yang ditunjuk Nun itu betul-betul persis orang yang sedang merundingkan masalah gawat.
Begitu juga waktu Sutan Sjahrir terkena stroke. Saya yang pertama kali melihat dia jatuih terduduk dalam kamar mandi. Kami langsung angkat, teman-teman melakukan apa saja untuk menolongnya. Ada juga yang melapor ke petugas tahanan untung diangkut ke Rumah Sakit. Sedang Natsir dan Burhanuddin Harahap sibuk mengurut-ngurut tangan Sjahrir, kami semua berkerumun di sekitarnya. Suasana tegang. Perasaan was-was. Tiba-tiba ada yang nyelutuk, "Lihat..! Masyumi sudah berkoalisi dengan PSI!"
Saya lupa siapa yang berkomentar, tapi yang jelas gurauan itu terasa amat lucu. Namun tak semua joke berunsur politik. Banyak juga yang ringan-ringan, mirip gurauan anak-anak. Misalnya waktu Mochtar Lubis bercanda tentang nama panggilan masing-masing kami, dia bilang yang paling jelek adalah Pak Burhanuddin Harahap, karena panggilannya memang BH.
"Ganti saja" kata Lubis.
"BH kan kutang..perabotan wanita..."
Mendengar itu, Natsir langsung menambahkan, " Sama dengan Nun Pantouw, sudah punya istri dan anak..tapi masih saja dipanggil Nun, Biarawati..!"
Simbolon pun langsung menyahut, " Sama dengan Boyke Naiggolan, selamanya tetap anak kecil, boy.....!" disambut gelak ketawa kami semua.
Bagi orang-orang tahanan, banyak soal-soal yang sepele bisa menjadi serius. Tak kecuali urusan makan. Pernah sampai ada "gerakan politik" mogok makan. Cuma gara-gara pengaturan makan yang berbeda keinginan dengan petugas Rutan. Ada kisah tentang kompor buatan Simbolon. Lantaran jatah makanan kami sering dinilai tidak enak - terlalu sering ikan dan sayur tidak gurih, maka banyak yang menyesalkan sisa makanan yang dibawa keluarga/pembezuk menjadi basi dan terbuang percuma. Makanan dari mereka seringnya enak-enak, karena dibeli di restoran. Maka dipikirkanlah cara bagaimana agar makanan bisa tahan lama dan tetap enak dimakan. Yang bisa, karena murah adalah kompor. Tapi ada aturan tahanan tidak boleh mempunyai kompor sendiri. Sempat ribut lagi dengan petugas karena mereke tidak mengijinkan adanya kompor. Tapi Simbolon panjang akalnya. Ia meminta para pembezuk/keluarga-keluarga jika datang membawa lilin setiap kali. Lilin-lilin tersebut dilelehkan dalam wadah, ditaruh beberapa sumbu, jadilah kompor. Suatu hari ketahuan petugas dan dirampas!. Tapi Simbolon buat lagi yang baru.
Rencana Melarikan Diri, Meleteus G30S
Saya Bilang : Pihak Kita Yang Menang
Sepanjang tahun-tahun 1964 - 1965, merajalelanya kekuasaan PKI yang terus bereskalasi. Kekuasaan mereka semakin luas, dari Pemerintahan Pusat hingga ke daerah-daerah. Setidaknya mereka yang diarahkan, dan pihak manapun sangat jarang yang berani secara terbuka untuk bertentangan dengan PKI. TNI yang semula dikira sebagai kekuatan yang mampu menghantamnya, dalam kenyataannya sekarang malah dipecah belah. Semakin banyak kelompok-kelompok dalam tubuh TNI yang pro-PKI.
Adapun kami, sebagai pihak yang memang secara terang-terangan dan seutuhnya bertentangan dengan PKI, tentu saja semakin menjadi sasaran tembak. Kemenangan demi kemenangan PKI atas TNI dalam hal status kami sebagai eks-pemberontak dimulai dengan dimentahkannya keputusan Presiden sendiri mengenai amnesti dan abolisi yang kendati sudah diberikan kepada kami. Kami tetap berada dalam tahanan, yang disebut "karantina politik", tanpa kejelasan sampai kapan. Sudah begitu, terus menerus kami disikat oleh media massa pro-kiri. Mereka menghantam pihak-pihak di jajaran pimpinan Angkatan Darat yang dianggap membela kami. Mereka terus menyindir-nyindir,
"Mengapa para pemberontak itu hidup seperti tuan-tuan besar di bungalow di Puncak?!"
Letjen TNI Ahmad Yani dan jajarannya akhirnya tak mampu membendung fitnah dan hantaman dari mereka itu. Apalagi ketika BPI menyebar fitnah bahwa mereka telah menyadap pembicaraan rahasia antara dinas Intelijen Inggris dengan beberapa bekas pemberontak yang berada dalam tahanan. Agustus 1963, kami dipindahkan ke rumah Tahanan Militer di jalan Budi Utomo, Jakarta. Langsung di bawah Kejaksaan Agung yang pula sudah dalam cengkeraman kelompok pro-PKI. Penjagaan terhadap kami oleh tentara jadi sangat ketat. Zulkifli Lubis bahkan sudah tidak lagi bersama kami. Ia dimasukkan dalam sel isolasi bawah tanah di Kejaksaan.
Beberapa orang pimpinan Angkatan Darat yang tetap teguh membela kami, seperti Ahmad Yani, S Parman dari para staff inti di SUAD, juga beberapa panglima Kodam di wilayah-wilayah, hanya bisa menyabar-nyabarkan kami. Dan tetap mengirim bantuan kebutuhan kepada kami, walau secara sembunyi-sembunyi.
Adapun Staff Inti SUAD menjelang meletusnya G30S adalah seperti berikut :
- Menteri Panglima Angkatan Darat : Letjen TNI Ahmad Yani ( Merangkap Kepala Staf KOTI )
- Asisten I/Menpangad : Mayjen TNI S. Parman
- Asisten II/Menpangad : Mayjen TNI Moersjid
- Asisten III/Menpangad : Mayjen TNI Pranoto Reksosamudro
- Asisten IV/Menpangad : Brigjen TNI DI. Panjaitan
- Asisten V/Menpangad : Brigjen TNI Rukman
- Deputy I/Menpangad : Mayjen TNI Soeharto ( Merangkap Pangkostrad / Wakil Panglima Dwikora )
- Deputy II/Menpangad : Mayjen TNI R. Suprapto
- Deputy III/Menpangad : Mayjen TNI M.T. Haryono
- Deputy IV/Menpangad : Mayjen TNI Sukendro
- Oditur Jenderal : Brigjen TNI Sutojo Siswomihardjo ( Merangkap Inspektur Kehakiman )
Sedangkan beberapa Kodam yang sudah dijabat oleh Perwira Tinggi TNI seperti :
- Pangdam Diponegoro : Brigjen TNI Surjosumpeno
- Pangdam Jaya : Mayjen TNI Umar Wirahadikusumah
- Pangdam Siliwangi ; Mayjen TNI Ibrahim Adjie
- Pangdam Brawijaya : Mayjen TNI Basuki Rachmat
- Pangdam Mulawarman : Brigjen TNI Hario Kechik
PKI maupun militer pro-kiri semakin merajalela. Mobilisasi massa sesuai politik konfrontasi ganyang Malaysia yang dicanangkan Bung Karno tahun 1963 mereka tunggangi untuk sekaligus menghantam kami. Teman-teman para tahanan, sebagai politisi kawakan, dan terlebih kami yang militer, secara naluriah segera menyimpulkan bahwa nyawa kami sudah dalam ancaman. Apalagi ketika terdengar berita di sana-sini PKI sudah mulai melancarkan aksi-aksi kekerasan secara sepihak. Hampir setiap hari ada demonstrasi massa. Sering sekali demonstrasi di adakan di Lapangan Banteng, yang notabene berdekatan dengan RTM tempat kami ditahan.
Maka teman-teman dalam tahanan, kalau ndak salah ingat Pak Sjaf yang mulai usul, segera berunding untuk melarikan diri. Strategi pun disusun sampai mendetail. Beberapa nama dari Sersan-Sersan CPM yang biasa memimpin regu jaga di RTM sudah di inventarisir. Pelarian akan dibagi dalam 3 kelompok yang dipercayakan kepada saya, Ahmad Hussein, dan Simbolon.
"Saya dengan Panglima! Saya dikelompoknya Panglima..!" kata Pak Natsir dan Mochtar Lubis. Begitu juga beberapa tahanan lainnya. Maksud mereka, mereka memilih sendiri akan masuk dikelompok yang mana, dan mereka berebutan masuk ke kelompok yang saya pimpin. Diantara para tahanan, saya memang di panggil "Panglima". Meski di sini mantan petinggi militer ada beberapa orang, seperti Ahmad Hussein, Simbolon, Nawawi, dan sebelumnya ada juga Zulkifli Lubis.
Pada hari-hari menunggu saat yang tepat untuk melarikan diri itulah terjadi peristiwa G30S. Tanggal 1 Oktober 1965 pagi, beberapa teman mendengar berita radio RRI Pusat tentang kudeta berdarah. Sejumlah Jenderal diculik. Suasana jadi simpang siur, dan sangat jelas menjadi mencekam bagi kami. Kalau jenderal-jenderal yang begitu berkuasa dan punya pasukan saja bisa mengalami nasib seperti itu, apalagi kami yang tak berdaya dalam tahanan...
Pikiran jadi simpang siur. Semua bertanya-tanya apa sesungguhnya yang terjadi? Dan bagaimana selanjutnya?! Sebagai pemimpin-pemimpin pemberontak, dan terlebih beberapa teman yang negarawan, kami semua berfikir bahwa untuk mengerti apa yang terjadi, dengar saja pihak mana yang tampil di radio dan apa isi pidatonya. Namun, tetap tidaklah semudah itu. Datang berita-berita yang saling bertentangan.
Jam demi jam berlalu melewati siang hari Jumat 1 Oktober itu. Berdasar berita-berita yang ada, kami sudah menyimpulkan bahwa ada gerakan militer dari kelompok yang dikendalikan PKI dan mereka berhadapan dengan kelompok tertentu dari pimpinan Angkatan Darat. Begitu.
Lepas siang, sekitar pukul 15.00, saya minta tolong ke Sersan penjaga RTM, namanya Muthalib, untuk pergi mengintai situasi di Jln. Merdeka Utara, karena disana ada Istana Negara dan MBAD. Pusat kekuasaan. Kira-kira 2 jam kemudian, Sersan Muthalib kembali. Dia bilang terlihat di Lapangan Monas banyak pasukan hilir mudik dan dalam posisi siaga, diantaranya baret merah. RPKAD! Sedang hilir mudik, tapi jalannya melenggang biasa, tidak terlihat tegang. Saya langsung menyimpulkan : "Pihak kita sudah menang!"
Saya bilang ke semua teman-teman di dalam RTM, kita tidak perlu lari, rencana melarikan diri batal!.
Zaman Berganti, Yang Dulu Penguasa Berbalik Jadi Tahanan.
Menyusul gagalnya G30S/PKI untuk meraih kekuasaan mutlak - digagalkan oleh Soeharto, Sarwo Edhie, dan kawan-kawan - para pelaku peristiwa berdarah itu di tangkap-tangkapi. Langusng dibawa masuk ke RTM tempat kami. Sejumlah perwira militer pro-PKI, para gembong PKI, menteri-menteri, semua dikerangkeng! Mereka yang tadinya sangat berkuasa berbalik menjadi tahanan.
Kata- kata Achmad Yani kini terbukti menjadi kenyataan. Waktu itu Yani, karena adanya abolisi - ternyata tak seratus persen berhasil lantaran disabot oelh perwira-perwira pro-PKI, sehingga kami tetap harus ditahan - maka ia sering menghibur kami. Saat kami mulai di karantina di Cipayung, Yani bilang ke saya, "Inikan cuma soal politik Pak Ventje. Hari ini tidak punya harga tapi besok siapa tahu harganya naik 3 kali lipat." Begitu juga waktu kami harus dimasukkan dalam tahanan militer, Agustus 1963, Yani kembali menyampaikan kata-kata senada itu. "Tunggu saja waktunya Pak Ventje. Kita lihat!" kata Yani.
Saya jadi teringat kata-kata Kapten CPM Ariefin, Wakil Komandan di RTM Jln. Budi Utomo ini, ketika kami baru masuk kesini. Dia bilang, "Bapak-bapak tenang saja. Disini biasanya nasib orang bisa terbalik. Ynag tadinya berkuasa, jadi tahanan. Begitu juga sebaliknya. Lihat saja Pak Chairul Salleh, Waperdam III yang hebat itu. Dulu juga sempat disini....". Saya ndak pernah dengar apa yang dialami oleh Chairul Saleh dulu itu. Apa benar pernah ditahan disini ataukah hanya sempat diperiksa disini, saya ndak tahu masalah apa. Mungkin terjadi waktu saya masih di hutan, dimasa PRRI. Tapi, kalau betul itu pernah terjadi, menyedihkan. Karena kemudian, menyusul peristiwa G30S, Chairul juga dijebloskan disini. Walau ia bukan PKI. Begitulah politik. Siapa yang dihukum dan siapa yang menghukum sering kali hanya ditentukan oleh kekuasaan politik.
Para perwira yang dituduh terlibat G30S, yang di bawa ke RTM ini, selain Letkol Untung, antaranya ada Kolonel Haryono, Kolonel Laut R. Sunardi, Kolonel Jusuf, Brigjen Pol. Sugeng Sutarto, dan Letkol Bambang. Dan terus bertambah. Letkol Untung - Komandan Gerakan 30 September, ditahan di dalam blok isolasi. Ada yang bilang tangan dan kakinya di rantai.
Banyak yang tidak begitu jelas pada kami. Karena mereka dibawa pada tengah-tengah malam, kami sudah tidur, dan dimaukkan dalam "blok kapal selam" pula. Sering kami baru tahu nama mereka dari koran yang kami baca kemudian, atau daripada wartawan yang selalu datang memperdalam informasi. Ada juga yang besoknya dibawa ketempat lain lagi. Adapula yang membingungkan, karena mirip-mirip. Yaitu Nyoto, salah seorang tokoh utama PKI. Kendati ia dibawa kesini masih pukul 8 malam, kami semua belum tidur. Begitu diturunkan dari mobil langsung buru-buru digiring ke sel tertutup. Kami tanya, siapa dia? Petugas yang membawanya menjawab Nyoto. Tapi besok paginya penjaga RTM bilang Nyono. Sampai sekarang saya ndak pernah tahu persis apakah Nyoto atau Nyono yang dibawa malam itu.
Semua memang jadi terjungkir balik. Mareka yang tadinya sangat berkuasa, merajalela, dengan mudahnya menfitnah untuk menjebloskan orang lain dalam penjara, sekarang dikejar-kejar, ditangkap, bahkan beberapa telah tewas ditembak dalam operasi penangkapan.
Ada yang dramatis. Yaitu dialami oleh Simbolon. Pagi-pagi di RTM, Pak Simbolon sedang berjalan menghampiri kami, tiba-tiba ada orang yang datang mendekatinya dan langsung berlutut memeluk kaki Pak Sim. Orang itu menangis, memohon ampun. Ternyata dia Ulung Sitepu, Gubernur Sumatera Utara. Baru tadi malam di masuk. Dia memang perwira simpatisan PKI. Dialah yang memimpin pasukan yang hendak menangkap dan menghabisi Pak Sim, Panglimanya sendiri, saat Pak Sim sedang merayakan Natal, Desember 1956. Ketika itu, Simbolon harus buru-buru tengah malam menyingkir, menyelamatkan diri dari kota Medan. Panglima TT-I Kolonel Maludin Simbolon mengumukan Dewan Gadjah akhir 1956 - menyusul Dewan Banteng, mendahului Dewan Permesta. Sekarang terbalik, akhir 1965, Ulung Sitepu ditangkap.
Makin hari, semakin banyak tahanan G30S/PKI yang dijebloskan di RTM Budi Utomo, bersama kami. Jadi makin sempit. Akhirnya kami, para tahanan non G30S/PKI, bahkan sangat anti-PKI, dipindahkan. Januari 1966, kami dipindahkan ke Jln. Keagungan No.62. Sederet rumah yang banyak kamar dibikin menjadi RTM.
Ketika kami dipindahkan, kami dengar Dr. Subandrio, orang nomor dua paling berkuasa di negara ini - Waperdam I merangkap Menteri Luar Negeri, merangkap Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) - segera akan ditahan di RTM Budi Utomo. Ternyata betul. Ia dimasukkan di bekas tempat Nun Pantouw. Suatu kebetulan historis, Subandrio adalah raja intel rezim pro-komunis, sedang Nun Pantouw, komandan intelijen kami PRRI yang sebaliknya anti-komunis.
Sumber: