News Breaking
Live
update

Breaking News

M Chatib Basri: Di Tengah Pandemi Bisakah Ekonomi Survive?

M Chatib Basri: Di Tengah Pandemi Bisakah Ekonomi Survive?




TanjakNews.com, Jakarta -- Pandemi Covid-19 telah mendera banyak aspek kehidupan. Ekonomi adalah segi yang sangat terpukul karena dampak yang diakibatkannya. Empat bulan berlalu, bagaimana pemulihan ekonomi Indonesia bisa dicapai sembari memperhatikan aspek kesehatan? Berikut pandangan ekonom yang juga mantan Menteri Keuangan M Chatib Basri melalui utas yang dicuitkannya lewat akun Twitter @ChatibBasri miliknya, Selasa (21/7/2020). 

Untuk mahasiswa pengantar Ilmu Ekonomi, sebuah utas kenapa penanganan ekonomi harus memperhatikan aspek kesehatan? Data secara konsisten menunjukkan pembalikan ekonomi terjadi Juni. Data Google mobility sampai 17 Juli juga konsisten Aktifitas mulai kembali, namun di bawah normal.

Soal yang harus dijawab: apakah setelah pembalikan ini, perbaikan akan terus terjadi (V)? Atau flat (L)?  Atau ada pembalikan namun memakan waktu lama (U)? Data Google sampai dengan pertengahan Juli kemarin menunjukkan pemulihan bulan Juni cepat, namun setelah itu agak flat.



Artinya re-opening jelas membawa dampak positif. Namun sampai seberapa jauh ia mengembalikan ekonomi? Harapan kita tentu seterusnya.  Persoalannya adalah aktifitas tak mungkin normal 100% sampai pandemi selesai. Mengapa?

Selama pandemi masih ada, protokol kesehatan harus tetap dijalankan. Salah satunya adalah menjaga jarak. Menjaga jarak memiliki implikasi ekonomi, karena itu artinya ada keterbatasan dalam volume. Contohnya: pesawat dengan protokol kesehatan tak mungkin punya load factor 100%

Bioskop, restauant, mall dan sebagainya, harus membatasi jumlah pengunjung. Selain itu, kekhawatiran akan pandemi, pilihan berbelanja online, tabungan yang dimiliki kelas menengah atas, memungkinkan mereka untuk memilih tetap tinggal di rumah atau keluar.

Studi internal dengan menggunakan data Google menunjukkan bahwa setelah re-opening, rata-rata kunjungan ke supermarket, mall, toko masih dibawah 46%. Apakah dengan jumlah ini dunia usaha akan survive?

Dengan protokol kesehatan yang baik, maka jumlah orang akan dibatasi. Di dalam ekonomi ada satu faktor penting yang menentukan sebuah usaha akan bertahan atau tidak: skala ekonomi. Mengapa?

Kita tahu dalam menjalankan usaha ada yang namanya biaya tetap dan variable. Biaya tetap harus dibayar terlepas kita berproduksi atau tidak, misal: sewa gedung, pembangunan pabrik dan sebagainya. Biaya tetap ini akan semakin menurun per unit nya jika volume produksi bertambah.

Karena itu semakin besar skala ekonomi, semakin murah biaya tetap per unitnya. Selain itu ada biaya variable, yang meningkat sejalan dengan jumlah barang/jasa yang dihasilkan.

Dengan kondisi ini maka bisnis memerlukan economies of scale tertentu agar mencapai break even point (BEP) (skala output yang dibutuhkan agar keuntungan mulai tercapai). Jika produksi di bawah break even point, maka bisnis akan rugi.

Jika ini yang terjadi, dalam jangka pendek usaha akan tetap berjalan. Upaya apa yang dilakukan untuk survive? Menurunkan variable cost, misal dengan tidak mengambil tenaga kerja baru, atau bahkan merumahkan, membayar gaji sebagian atau PHK.

Di sinilah faktor volume atau skala ekonomis jadi penting. Skala ekonomis ini berbeda tiap usaha, tiap perusahaan, tergantung efisiensi.  Namun menarik melihat gambaran kasar (tentu ini tidak akurat sekali dan harus dilakukan study dengan baik).

Dari gambaran kasar, airlines industry itu butuh load factor > 60% untuk break even. Hotel akan kesulitan jika occupancy dibawah 40-50%, Restoran akan sulit jika pengunjung < 50%, tentu angka ini harus dikaji lagi.

Protokol kesehatan akan membatasi jumlah orang, karena itu tidak mudah untuk mencapai BEP.  Akibatnya dalam jangka panjang perusahan akan merugi. Dengan kondisi seperti ini maka pemulihan ekonomi akan terganggu atau relatif lambat. Yang survive adalah yang punya napas panjang.

Majalah The Economist pernah menulis the 90% Economy yang menceritakan bagaimana ekonomi hanya berfungsi 90%. Ekonomi yang tak berfungsi 100% akan punya dampak yang besar dalam soal pemulihan, inequality, lapangan kerja dan sebagainya.

Dunia usaha memang bisa melakukan inovasi dengan pindah ke online untuk mengurangi cost, membuka usaha outdoor (seperti resto), supaya protokol kesehatan terpenuhi tanpa mengurangi volume atau support dari pemerintah. Di sini kebijakan harus dilihat dalam sequence.

Jika aktifitas ekonomi mulai normal, di sini saya baru melihat insentif pajak berguna. Ketika ekonomi belum berjalan, jump start harus dilakukan dengan mendorong daya beli melalui konsumsi, melalui BLT. Baru setelah itu diikuti kebijakan moneter, penjaminan kredit, subsidi bunga.

Tetapi itu semua ada limitnya. BEP tidak akan tercapai jika skala ekonomis terganggu oleh pandemi. Pemulihan ekonomi harus dilakukan sejalan dengan upaya mengatasi pandemi. Ini bukan soal memilih ekonomi atau kesehatan. Tanpa memperhatikan aspek kesehatan, pemulihan ekonomi akan terbatas. (Oce)

Tags