𝐋𝐞𝐤𝐫𝐚, 𝐎𝐫𝐠𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐛𝐮𝐝𝐚𝐲𝐚𝐚𝐧 𝐏𝐊𝐈 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐒𝐮𝐤𝐚 𝐌𝐞𝐧𝐠𝐨𝐥𝐨𝐤-𝐨𝐥𝐨𝐤 𝐓𝐮𝐡𝐚𝐧

TanjakNews.com -- 𝘏𝘢𝘯𝘨𝘢𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘱𝘰𝘭𝘦𝘮𝘪𝘬 𝘙𝘜𝘜 𝘏𝘢𝘭𝘶𝘢𝘯 𝘐𝘥𝘦𝘰𝘭𝘰𝘨𝘪 𝘗𝘢𝘯𝘤𝘢𝘴𝘪𝘭𝘢—𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘪𝘯𝘥𝘪𝘬𝘢𝘴𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘣𝘢𝘯𝘨𝘬𝘪𝘵𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘮𝘣𝘢𝘭𝘪 𝘗𝘒𝘐—𝘮𝘦𝘮𝘣𝘶𝘢𝘵 𝘵𝘶𝘭𝘪𝘴𝘢𝘯 𝘪𝘯𝘪 𝘴𝘢𝘯𝘨𝘢𝘵 𝘱𝘦𝘯𝘵𝘪𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘣𝘢𝘤𝘢, 𝘵𝘦𝘳𝘶𝘵𝘢𝘮𝘢 𝘣𝘢𝘨𝘪 𝘨𝘦𝘯𝘦𝘳𝘢𝘴𝘪 𝘮𝘪𝘭𝘦𝘯𝘪𝘢𝘭. 𝘚𝘦𝘭𝘢𝘮𝘢𝘵 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘢𝘤𝘢!
𝗪𝘂𝗱𝗵𝘂 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗔𝗶𝗿 𝗞𝗲𝗻𝗰𝗶𝗻𝗴
“𝑊𝑖𝑠 𝑟𝑎𝑠𝑎𝒉 𝑚𝑎𝑐𝑎𝑘 𝑎𝑦𝑢 𝑎𝑦𝑢, 𝑜𝑟𝑎 𝑎𝑦𝑢 𝑦𝑜 𝑝𝑎𝑦𝑢. 𝑁𝑒𝑘 𝑟𝑎 𝑎𝑦𝑢, 𝑦𝑜, 𝑟𝑎𝑢𝑝 𝑑𝑖𝑛𝑖𝑎𝑡𝑖 𝑤𝑢𝑑𝒉𝑢. 𝑁𝑒𝑘 𝑜𝑟𝑎 𝑎𝑛𝑎 𝑏𝑎𝑛𝑦𝑢 𝑦𝑜 𝑛𝑔𝑎𝑛𝑔𝑔𝑜 𝑢𝑦𝑢𝒉𝑘𝑢. 𝐵𝑎𝑛𝑦𝑢 𝑢𝑦𝑢𝒉𝑘𝑢 𝑝𝑎𝑑𝒉𝑎 𝑠𝑢𝑐𝑖𝑛𝑒 𝑘𝑎𝑟𝑜 𝑏𝑎𝑛𝑦𝑢 𝑤𝑢𝑑𝒉𝑢.”
Artinya, “𝑇𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑢𝑠𝑎𝒉 𝑏𝑒𝑟𝑠𝑜𝑙𝑒𝑘 𝑐𝑎𝑛𝑡𝑖𝑘-𝑐𝑎𝑛𝑡𝑖𝑘.𝑇𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑐𝑎𝑛𝑡𝑖𝑘 𝑗𝑢𝑔𝑎 𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑙𝑎𝑘𝑢. 𝐾𝑎𝑙𝑎𝑢 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑙𝑎𝑘𝑢 𝑦𝑎 𝑐𝑢𝑐𝑖 𝑚𝑢𝑘𝑎 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑛𝑖𝑎𝑡 𝑤𝑢𝑑𝒉𝑢. 𝐾𝑎𝑙𝑎𝑢 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑎𝑑𝑎 𝑎𝑖𝑟 𝑦𝑎 𝑝𝑎𝑘𝑎𝑖 𝑎𝑖𝑟 𝑘𝑒𝑛𝑐𝑖𝑛𝑔𝑘𝑢. 𝐴𝑖𝑟 𝑘𝑒𝑛𝑐𝑖𝑛𝑔𝑘𝑢 𝑠𝑎𝑚𝑎 𝑠𝑢𝑐𝑖𝑛𝑦𝑎 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑎𝑖𝑟 𝑤𝑢𝑑𝒉𝑢”.
Itulah salah satu penggalan dalam dialog ludruk dengan lakon Gusti Allah Mantu yang dipentaskan di Kediri, Jawa Timur, menjelang meletusnya peristiwa G30S PKI.
Dalam pentas ludruk lakon Gusti Allah Mboten Sare, misalnya, ada dialog seperti ini: “𝐿𝑎, 𝑝𝑖𝑦𝑒, 𝐺𝑢𝑠𝑡𝑖 𝐴𝑙𝑙𝑎𝒉 𝑦𝑜 𝑚𝑏𝑜𝑡𝑒𝑛 𝑠𝑎𝑟𝑒. 𝑂𝑟𝑎 𝑑𝑢𝑤𝑒 𝑏𝑎𝑛𝑡𝑎𝑙 𝑙𝑎𝑛 𝑘𝑙𝑎𝑠𝑎. 𝑃𝑖𝑦𝑒 𝑡𝑢𝑟𝑢𝑒. 𝐿𝑎, 𝑔𝑖𝑚𝑎𝑛𝑎, 𝐺𝑢𝑠 𝐴𝑙𝑙𝑎𝒉 𝑦𝑎 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑡𝑖𝑑𝑢𝑟. 𝐺𝑎𝑘 𝑝𝑢𝑛𝑦𝑎 𝑏𝑎𝑛𝑡𝑎𝑙 𝑑𝑎𝑛 𝑡𝑖𝑘𝑎𝑟. 𝐵𝑎𝑔𝑎𝑖𝑚𝑎𝑛𝑎 𝑡𝑖𝑑𝑢𝑟𝑛𝑦𝑎?”
Lakon ludruk (Jawa Timur), ketoprak (Jawa Tengah), dan sandiwara (Jawa Barat) saat itu, ketika PKI sedang berada di atas angin karena mendapat “dukungan” elit politik dan oknum-oknum militer, memang narasinya aneh-aneh.
Ada lakon dengan judul Patine Gusti Allah, Gusti Allah Dadi Manten, Malaikat Kawin, dan lain-lain, yang membuat orang Islam marah.
Ludruk dengan lakon Patine Gusti Allah, yang sedang pentas di Jombang, misalnya, pernah membuat seorang anggota Banser marah besar. Panggungnya diobrak-abrik dan dihancurkan. Ludruk pun batal manggung.
Orang-orang Islam jelas marah. Tapi tak bisa berbuat banyak. Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), salah satu organisasi sayap PKI, saat itu sangat kuat dan merajalela. Lekra mengkoordinasi grup-grup ludruk, ketoprak, drama, dan sandiwara untuk mementaskan kesenian yang bernuansa paham PKI.
𝗟𝗲𝗺𝗯𝗮𝗴𝗮 𝗞𝗲𝗯𝘂𝗱𝗮𝘆𝗮𝗮𝗻 𝗮𝘁𝗮𝘂 𝗣𝗼𝗹𝗶𝘁𝗶𝗸?
Lekra yang berdiri 17 Agustus 1950 di Jakarta. Ia menjelma jadi organ kesenian dan kebudayaan PKI yang sangat radikal, ekspansionis, dan ekstrim. Sulit membayangkan ada sebuah lembaga kebudayaan yang demikian berkuasa di dunia seperti Lekra.
Kenapa? Karena Lekra hakikatnya bukan sekadar lembaga kebudayaan. Tapi lembaga politik provokatif yang berselimut kebudayaan.
Politisasi Lekra ini bentukan Nyoto dan Aidit, dua pimpinan puncak PKI. Bagi Nyoto dan Aidit—setiap organ dalam PKI harus menjadi corong revolusi dan penyebaran ateisme-komunisme. Itulah sebabnya, semangat gerakan kebudayaan Lekra sama dengan semangat gerakan komunisme Stalin dan nazisme Hitler.
Ideologi Lekra pun “dijejalkan” ke mana-mana—tak hanya ke gedung-gedung kesenian, tapi juga ke sekolah-sekolah, kampus-kampus, masjid-masjid, dan balai-balai desa.
Lagu mars PKI Genjer-Genjer misalnya, menjadi lagu wajib pada setiap upacara politik. Pentas ludruk juga penuh lakon dan adegan untuk menjejalkan paham ateisme.
Penyamaan kesucian air wudhu dengan air kencing pada lakon Gusti Allah Mantu tersebut di atas—juga pembangunan patung palu arit setinggi 20 meter di halaman Masjid Agung Bojonegoro—menunjukkan bagaimana massif dan ekstrimnya gerakan Lekra menghancurkan kesadaran relijius bangsa Indonesia.
Lekra meracuni anak-anak sekolah dengan pelajaran ateisme, mendiskreditkan ulama, menyerang sastrawan Muslim; dan membangun simbol-simbol PKI di masjid.
PKI, misalnya, dengan atraktif menginjak-injak al-Quran di Masjid Jami’ Kanigoro, Kediri. Ulama dan haji, misalnya, oleh Lekra disebut pengisap darah rakyat dan tuan tanah bengis yang harus disingkirkan.
𝗟𝗲𝗸𝗿𝗮 𝗧𝘂𝗱𝘂𝗵 𝗛𝗮𝗺𝗸𝗮 𝗣𝗹𝗮𝗴𝗶𝗮𝘁
Sastrawan Hamka dituduh plagiat. Novel karya Hamka yang sangat popular Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (TKVW) dituduh sebagai karya plagiat oleh sastrawan Lekra, Abdullah Said Patmadji (ASP).
ASP menuduh novel TKVW mirip dengan Dumu el Hub (Air Mata Cinta), sebuah film adaptasi dari ovel karya Al-Manfaluthi. Di Koran Bintang Timur—medianya PKI—ASP menulis bahwa novel TKVW adakah karya plagiat Hamka.
Ini sangat memalukan sastrawan Indonesia. Tuduhan ASP tersebut kemudian disanggah oleh HB Jassin, kritikus sastra Indonesia. “Hamka tidak plagiat. Karya Hamka adalah ungkapan pribadi dan pengalamannya sendiri,” tulis Jassin, paus sastra Indonesia itu.
Penyair Taufiq Ismail juga membela Hamka. Tuduhan ASP motifnya bukan sastra. Tapi politik, kata Taufiq Ismail.
𝗧𝗶𝗴𝗮 𝗜𝘀𝘂 𝗟𝗲𝗸𝗿𝗮
Ada tiga isu penting yang ditonjolkan Lekra-PKI dalam mementaskan kesenian rakyatnya. Pertama, mengajak masyarakat untuk tidak mempercayai Tuhan. Kedua, mengajak masyarakat untuk menyita tanah-tanah yang dimiliki tuan tanah, kiai haji, dan yayasan milik Islam. Dan ketiga menghancurkan kredibilitas para sastrawan dan seniman Islam.
Dalam mengajak masyarakat untuk tidak mempercayai Tuhan, misalnya, Lekra mengkoordinasi pementasan ketoprak di Jateng dan DIY, serta ludruk di Jatim dengan lakon bertema “ateisme” yang membuat orang-orang beragama meradang.
Lakon Patine Gusti Allah, misalnya, menjadi salah satu judul pementasan ludruk dan ketoprak paling favorit dan sering dipertontonkan di masyarakat—meski sangat dibenci umat Islam.
Tak hanya itu. Para seniman Lekra juga mendatangi sekolah sekolah untuk menyebarkan paham ateisme PKI. Orang-orang Lekra yang jadi guru, juga aktif menanamkan pikiran ateis kepada murid-muridnya.
𝗖𝗮𝗿𝗮 𝗚𝘂𝗿𝘂 𝗣𝗞𝗜 𝗔𝗷𝗮𝗿𝗸𝗮𝗻 𝗔𝘁𝗲𝘀𝗶𝗺𝗲
Sebagai contoh, dalam sebuah pelajaran di SD, seorang guru minta kepada muridnya berdoa kepada Tuhan untuk minta permen.
“𝐴𝑛𝑎𝑘-𝑎𝑛𝑎𝑘 𝑎𝑦𝑜 𝑝𝑒𝑗𝑎𝑚𝑘𝑎𝑛 𝑚𝑎𝑡𝑎 𝑚𝑖𝑛𝑡𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑚𝑒𝑛 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑇𝑢𝒉𝑎𝑛.”
“𝐵𝑢𝑘𝑎 𝑚𝑎𝑡𝑎 𝑘𝑎𝑙𝑖𝑎𝑛, 𝑎𝑑𝑎 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑝𝑒𝑟𝑚𝑒𝑛𝑛𝑦𝑎?”
“𝑇𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑎𝑑𝑎 𝐵𝑢 𝐺𝑢𝑟𝑢”
“𝑆𝑒𝑘𝑎𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑐𝑜𝑏𝑎 𝑡𝑢𝑡𝑢𝑝 𝑚𝑎𝑡𝑎, 𝑏𝑖𝑙𝑎𝑛𝑔 ‘𝐵𝑢 𝐺𝑢𝑟𝑢 𝑚𝑖𝑛𝑡𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑚𝑒𝑛’”
Guru tersebut memasukkan permen ke tangan anak-anak yang menengadah.
“𝐵𝑢𝑘𝑎 𝑚𝑎𝑡𝑎 𝑘𝑎𝑙𝑖𝑎𝑛, 𝑎𝑑𝑎 𝑛𝑔𝑔𝑎𝑘 𝑝𝑒𝑟𝑚𝑒𝑛𝑛𝑦𝑎?”
“𝐴𝑑𝑎 𝐵𝑢 𝐺𝑢𝑟𝑢.”
“𝐴𝑟𝑡𝑖𝑛𝑦𝑎 𝑎𝑝𝑎?”
Anak-anak diam.
“𝐵𝑒𝑟𝑎𝑟𝑡𝑖 𝑇𝑢𝒉𝑎𝑛 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑎𝑑𝑎,” lanjut sang Guru.
Begitulah cara PKI menanamkan nilai ateis pada anak-anak.
Reaksi Lembaga Kebudayaan Islam
Umat Islam tentu saja tidak diam terhadap kelakuan Lekra yang menjijikkan dunia seni tersebut. Nahdlatul Ulama (NU), misalnya, melalui Lesbumi (Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia) yang didirikan tahun 1950, meng-counter gerakan budaya PKI yang mempromosikan ideologi atheism) dengan membuat film-film religi yang bagus.
Sutradara film Usmar Ismail aktif membuat film dan drama di Lesbumi untuk mengimbangi kegiatan seni dan budaya dari Lekra.
Gerakan kesenian Lesbumi tersebut membuat PKI meradang. Film-film religi karya seniman Lesbumi diboikot pertunjukannya di gedung-gedung bioskop yang dikuasai PKI. Bahkan sineas pro-PKI yang menguasai gedung-gedung pertunjukan mengedit film-film karya seniman Lesbumi tadi hingga unsur-unsur relijiusnya hilang.
𝗠𝗮𝗻𝗶𝗳𝗲𝘀𝘁𝗼 𝗞𝗲𝗯𝘂𝗱𝗮𝘆𝗮𝗮𝗻
Film berjudul Kawat Berduri dan Tauhid, misalnya, diboikot pertunjukannya oleh PKI. Tak hanya itu. Lekra juga mengecam penandatangan Manikebu (Manifesto Kebudayaan).
Manikebu adalah konsep kebudayaan nasional yang dibentuk para penyair dan pengarang, 27 Agustus 1963. Manikebu yang dicetuskan HB Jassin, Wiratmo Soekito, dan Trisno Soemardjo bertujuan untuk meng-counter dominasi ideologi seni-sastra realisme sosial yang dipaksakan Lekra.
Arief Budiman adalah “anak muda” yang membuat draft counter Manikebu terhadap Lekra. Manikebu dan Lesbumi berkolaborasi untuk membendung ekspansi massif Lekra yang mendapat dukungan elit politik PKI.
Aliansi Manikebu dengan organisasi Islam dan militer, tulis Goenawan Mohamad, salah seorang aktivis Manikebu, adalah sebuah hal yang niscaya saat itu untuk menghadang hegemoni Lekra.
“Mungkin suatu kecenderungan yang normal untuk beraliansi di antara mereka yang dimusuhi atau memusuhi PKI,” tulis Gunawan dalam artikelnya, Afair Manikebu 1963-1964.
M Habib Chirzin, tokoh Muhammadiyah dan angggota Komnas HAM (2002-2007) menyatakan, ekspansi Lekra yang massif kemudian mendapat counter dari organisasi-organisasi Islam.
Setelah NU membentuk Lesbumi, HMI mendirikan HSBI (Himpunan Seniman dan Budayawan Islam) dengan tokoh-tokohnya yang sangat terkenal seperti Chairul Umam dan Arifin C Noor.
Sementara Muhammadiyah membuat Ikatan Seniman Budayawan Muhammadiyah (ISBM). Para tokoh ISBM yang terkenal antara lain Mohamad Diponegoro, Azwar AN, dan Yunan Helmi Nasution.
Dalam memperingati ulang tahun HMI (lahir 5 Februari 1947) ke 17, tahun 1964, yang diselenggarakan di Yogyakarta, misalnya, HMI menyelenggarakan bakti sosial dan pertunjukan drama di Sukabumi dan Bandung.
Saat itu, Amidhan menjadi pimpinan rombongan tim HMI yang berjumlah sekitar 30 orang. Yang menarik, HSBI-HMI menampilkan drama berjudul Setan di depan peserta Seskoad (Sekolah Komando Angkatan Darat) di Bandung, disaksikan langsung Mayjen Sudirman, Komandan Seskoad saat itu.
Drama Setan karya Mohamad Diponegoro ini, mengisahkan Nabi Ibrahim (diperankan Samhari Baswedan, paman Anies Baswedan, Gubernur DKI) yang dibakar Raja Namrud, sedang digoda setan (diperankan Widiati, putri Pak Syaebani, tokoh Islam Yogya, istri Menpan Era SBY Taufik Efendi) agar imannya luntur. Dan Ibrahim berhasil menepis godaan setan itu.
Mungkin karena puas dengan pertunjukan drama itu, Mayjen Sudirman memberi “sangu” kepada tim drama HMI sebesar Rp 350.000. Jumlah yang besar sekali bila dikurskan dengan emas saat itu.
𝗣𝗮𝗸 𝗔𝗥 𝗜𝗸𝘂𝘁 𝗛𝗮𝗱𝗮𝗻𝗴 𝗟𝗲𝗸𝗿𝗮
Sementara di Semarang, dai terkenal asal Yogya, Abdurrazaq Fachruddin—kemudian terkenal dengan sebutan Pak AR—yang saat itu bertugas sebagai Kepala Kantor Penerangan Agama Jawa Tengah (1959-1964), bersama Pangdam Diponegoro Mayjen Sarbini dan Jaksa Tinggi Bustanil Arifin membentuk Pengajian Padi.
Tujuannya untuk meng-counter agitasi PKI dan Lekra yang memprovokasi rakyat melalui ketoprak agar tidak mempercayai Tuhan. Dengan bantuan dana pengusaha kaya Semarang, Haji Sulhan, Pengajian Padi mampu mengcounter kampanye ateisme yang sering dipentaskan dalam pertunjukan ketoprak di Semarang dan sekitarnya.
PKI dan Lekra pun kesal. Akibatnya Pak AR, kata Abdullah Affandi, aktivis perlawanan rakyat terhadap PKI di Yogya, tercatat sebagai target pembunuhan.
Mengetahui itu, Pak AR pun ke mana-mana selalu dijaga oleh para pendekar silat dari Tapak Suci Muhammadiyah. “Tiap malam rumah Pak AR dijaga para pesilat Tapak Suci untuk mengantisipasi kedatangan penculik dari PKI,” tutur Sukriyanto, putra Pak AR.
Atmosfir Indonesia semasa PKI berada di atas angin tahun 1955-an—sejak Pemilu pertama di mana PKI menjadi kekuatan politik yang besar di parlemen—sampai 1965 sangat mencekam.
𝗣𝗼𝗹𝗶𝘁𝗶𝗸 𝗛𝗼𝗮𝘅 𝗣𝗞𝗜
PKI melalui organ-organnya: Pemuda Rakyat, Gerwani, CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia), Lekra, BTI (Barisan Tani Indonesia), dan Koran Bintang Timur berusaha kuat mendominasi semua isu (sosial, politik, ekonomi, dan seni budaya) di Indonesia.
Bila perlu, PKI memaksakan kehendaknya dan menyebar isu-isu hoax untuk memenangkan gagasan-gagasannya di ranah publik dan parlemen.
Dari latar belakang itulah, kenapa kemudian rakyat—khususnya umat Islam—sangat marah kepada PKI pasca-G30S PKI. PKI yang memulai, maka PKI yang diakhiri. Seperti kata pepatah: Siapa yang menanam angin, maka dialah yang menuai badai.
Jadi, jangan salahkan umat Islam jika PKI hancur. Jangan bikin isu hoax bahwa PKI muncul akibat konflik elit militer. Dan jangan pula menyebar hoax bahwa kasus G30S adalah ciptaan Soeharto. Bukan… bukan itu!
PKI memang hendak menjadikan Indonesia sebagai negara komunis. Seperti Polpot yang membentuk Khmer Merah dan Kim Il Sung yang membentuk Korea Utara. Keduanya adalah rezim yang paling kejam di dunia. Mereka membantai rakyatnya yang tidak seidelogis dengan sangat-sangat kejam.
Haing Somnang Ngor, seorang dokter, dalam buku The Killing Fields, menceritakan bagaimana kejam dan bengisnya rezim komunis Polpot membunuh rakyat Khmer Merah yang nonkomunis.
Banyak ibu hamil yang dibelah perutnya; orang tua yang dibelah kepalanya; dan anak-anak yang dicincang seperti potongan kambing. Sungguh luar biasa kejamnya.
PKI itu sangat berbahaya. Tapi, sudah matikah mereka setelah ideologinya dilarang sejak 1966? “Jasmerah,” kata Bung Karno. Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.
Ingat sejarah politik hoax yang diterapkan PKI masa lalu. Kita harus ingat sejarah. Ibarat pepatah dan kutipan lagu dangdut Rhoma Irama: PKI yang memulai, PKI yang mengakhiri.
𝗠𝗲𝗻𝗮𝗯𝘂𝗿 𝗔𝗻𝗴𝗶𝗻 𝗠𝗲𝗻𝘂𝗮𝗶 𝗕𝗮𝗱𝗮𝗶
PKI memang harus berakhir karena ia telah merencanakan siasat untuk meng-komunis-kan Indonesia. Suatu hal yang mustahil terjadi di negeri dengan mayoritas penduduk beragama Islam ini.
Jadi, PKI itu telah menabur angin. Maka PKI-lah yang menuai badai. Umat Islam telah menjelma menjadi badai yang meluluhlantakkan PKI.
Betul, PKI luluh lantak. Yang mati akibat badai umat Islam itu mencapai jutaan orang. Wakilah, lima juta orang. Banyak sekali. Tapi, pinjam pernyataan Jenderal Abdul Haris Nasution, tokoh militer puncak yang selamat dari penculikan PKI: : “𝐵𝑒𝑛𝑎𝑟, 𝑏𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘 𝑠𝑒𝑘𝑎𝑙𝑖 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔-𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑃𝐾𝐼 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑗𝑎𝑑𝑖 𝑘𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎𝒉 𝑝𝑎𝑟𝑡𝑎𝑖 𝑘𝑜𝑚𝑢𝑛𝑖𝑠 𝑖𝑡𝑢 𝑑𝑖𝑏𝑢𝑏𝑎𝑟𝑘𝑎𝑛. 𝑇𝑎𝑝𝑖 𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑙𝑒𝑏𝑖𝒉 𝑏𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘 𝑙𝑎𝑔𝑖 𝑘𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑟𝑎𝑘𝑦𝑎𝑡 𝐼𝑛𝑑𝑜𝑛𝑒𝑠𝑖𝑎 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑃𝐾𝐼 𝑏𝑒𝑟𝑘𝑢𝑎𝑠𝑎!”
Dari perspektif inilah kita mengenang Arief Budiman. Ia salah seorang konseptor dan penandatangan Manikebu untuk melawan Lekra. Saat itu, Lekra sangat berkuasa. Dan, siapa pun tahu, keterlibatan Arief melawan Lekra sangat riskan dan membahayakan jiwanya. Tapi Arief tidak takut. Karena baginya: kebebasan, keadilan, dan kemanusiaan harus di atas segala-galanya.
𝘛𝘶𝘭𝘪𝘴𝘢𝘯 𝘪𝘯𝘪 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘥𝘪𝘮𝘶𝘢𝘵 𝘥𝘪 𝘗𝘞𝘔𝘜 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘫𝘶𝘥𝘶𝘭 𝙇𝙚𝙠𝙧𝙖, 𝙊𝙧𝙜𝙖𝙣 𝙆𝙚𝙗𝙪𝙙𝙖𝙮𝙖𝙖𝙣 𝙋𝙆𝙄 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙎𝙪𝙠𝙖 𝙈𝙚𝙣𝙜𝙤𝙡𝙤𝙠-𝙤𝙡𝙤𝙠 𝙏𝙪𝙝𝙖𝙣
Sumber: PrpmCendoro