RUU Cipta Kerja Dapat Timbulkan Masalah Baru di Kemudian Hari
Desmond J. Mahesa
Wakil Ketua Komisi III DPR RI
DISAHKANNYA UU Omnibus Law Cipta Kerja tanggal 5 Oktober 2020 lalu telah menimbulkan gelombang protes dimana-mana. Yang turun protes bukan hanya buruh yang dinilai sebagai pihak yang paling terkena dampaknya tapi juga diikuti oleh mahasiswa, dosen, pelajar dan elemen-elemen masyarakat lainnya di hampir seluruh Nusantara.
Mungkin inilah gelombang demo yang paling besar dan paling merata eskalasinya. Pasca demo tanggal 8 oktober itu, kini yang tersisa adalah kerusakan dimana-mana. Fasilitas publik yang dibangun dengan susah payah banyak yang hancur dibakar massa. Di Jakarta saja ada sekurangnya 11 halte busway yang hancur dirusak massa. Belum fasilitas umum lainnya diberbagai kota yang juga hancur akibat unjuk rasa.
Akibat demo-demo anarkis itu, para pendemo banyak yang ditangkapi, konon sampai ratusan jumlahnya di berbagai daerah di Indonesia. Sementara itu polisi kini juga tengah sibuk mencari siapa sebenarnya dalang demo yang melibatkan begitu banyak manusia.
Narasi yang berkembang pasca demo memang terkesan menyalahkan para pendemo sebagai “tersangkanya”. Mereka dipersalahkan telah melakukan unjuk rasa ditengah pandemi corona dan merusak fasilitas umum pula. Bagaimana mau memperjuangkan kepentingan publik kalau unjuk rasa saja tidak mampu mengendalikan diri dan melakukan perusakan dimana-mana ?, kata mereka yang mendukung UU Omnibus Law Cipta Kerja.
Penyebab Demo
Unjuk rasa atau demonstrasi adalah sebuah gerakan protes yang dilakukan sekumpulan orang di hadapan umum. Unjuk rasa biasanya dilakukan untuk menyatakan pendapat kelompok tersebut atau penentang kebijakan yang dilaksanakan suatu pihak atau dapat pula dilakukan sebagai sebuah upaya penekanan secara politik oleh kepentingan kelompoknya
Unjuk rasa umumnya dilakukan oleh kelompok mahasiswa dan orang-orang yang tidak setuju dengan pemerintah dan yang menentang kebijakannya. Namun unjuk rasa juga bisa dilakukan oleh kelompok-kelompok lainnya dengan tujuan yang berbeda.
Demo atau unjuk rasa merupakan hak setiap warga negara.Dalam konstitusi, hak menyatakan pendapat dihadapan publik telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. UU ini adalah produk penting dari Era Reformasi yang menjadikan Indonesia negara demokratis terbesar ketiga didunia.
Dalam UU tersebut tidak ada larangan tempat unjuk rasa, kecuali yang tertuang dalam Pasal 9 Ayat 2, yaitu di lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api, terminal angkutan darat, dan objek-objek vital nasional lainnya.
Dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 dalam Pasal 18 Ayat 1 dan 2 disebutkan juga larangan untuk melarang unjuk rasa. “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menghalang-halangi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum yang telah memenuhi ketentuan Undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun. (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah kejahatan”. Karena itu iika ada pihak yang melarang aksi demonstrasi damai maka demokrasi kita bisa mundur kembali seperti rezim Orde Baru berkuasa.
Terjadinya demonstrasi yang meluas pada tanggal 8 oktober lalu terkait dengan pengesahan UU Omnibuslaw cipta kerja terjadi karena kekecewaan mahasiswa, buruh dan masyarakat pada umumnya yang merasa diabaikan aspirasinya. Terkait dengan UU Cipta kerja, rasanya UU ini sudah lama menimbulkan kontroversi sehingga mendapatkan protes dan masukan agar dibatalkan pembahasannya.
Namun yang terjadi bukan pembatalan UU tapi justru pengesahan sehingga membuat banyak elemen masyarakat kecewa. Kekecewaan itu diluapkan dengan menggelar unjuk rasa untuk menentang keputusan penguasa yang dirasakan tidak sesuai dengan keinginannya.
Diabaikannya aspirasi masyarakat oleh mereka yang sekarang berkuasa menunjukkan bahwa elite politik telah mementingkan kepentingan kelompok oligarki politiknya dibandingkan kepentingan rakyat yang seharusnya diperjuangkan oleh mereka. Masyarakat sudah trauma dengan kejadian sebelumnya dengan disahkannya beberapa Undang Undang yang tidak berpihak kepada mereka seperti misalnya UU Minierba dan revisi UU KPK.
Terbukti sekarang setelah revisi UU KPK, lembaga itu menjadi lemah tidak berdaya menangani korupsi yang kian merajalela. Watak elite politik yang mementingkan kelompoknya tersebut membuat kekecewaan semakin akumulatif dilingkungan masyarakat sehingga memaksanya untuk turun kejalan berunjuk rasa.
Terkait dengan UU Cipta kerja yang didemo penyebabnya disebabkan bukan hanya sebatas subtansi saja yang dianggap merugikan rakyat tetapi juga karena proses pembahasannya yang terkesan tertutup sehingga memunculkan rasa curiga. Ada tragedi ketok palu di tengah malam buta, ada mikrofon yang dimatikan saat sidang penetapannya, ada juga juga proses pembahasan diam diam di hotel saat draft RUU ini ditarget harus selesai pengerjaannya segera.
Dari sisi prosedur, proses penyusunan UU Cipta Kerja dinilai cacat prosedur, karena dilakukan secara tertutup, tidak transparan, serta tidak memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat sipil. Terlebih lagi, pembahasan tersebut dilakukan di tengah konsentrasi seluruh elemen bangsa yang tengah berfokus menangani pandemi virus corona.
Draf UU Cipta Kerja tidak disosialisasikan secara baik kepada publik, bahkan tidak dapat diakses oleh masyarakat sehingga masukan dari publik menjadi terbatas karenanya. Ini merupakan pelanggaran terhadap Pasal 89 jo. 96 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mewajibkan pemerintah membuka akses terhadap RUU kepada masyarakat.
Satgas omnibus law RUU Cipta Kerja bentukan pemerintah yang sebagian besar berasal dari kalangan pemerintah dan pengusaha juga dinilai eksklusif serta tidak mengakomodasi aspirasi masyarakat yang terdampak UU.
Secara substansi UU Cipta Kerja memiliki banyak pasal yang bermasalah. Salah satunya adalah terdapat pasal-pasal yang menghidupkan kembali aturan yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Contohnya masa berlaku HGU yang diperpanjang hingga 90 tahun lamanya. Contoh lainnya adalah terdapat pasal yang mengatur tetang Peraturan Pemerintah (PP) yang dapat digunakan untuk mengubah UU. Hal itu menabrak ketentuan konstitusi dan aturan perundang-undangan lainnya, khususnya Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 12 Tahun 2011 yang menyebutkan bahwa PP memiliki kedudukan lebih rendah dibandingkan UU.
Masih banyak masalah lain di dalam UU Cipta Kerja, seperti dalam aspek ketenagakerjaan yang menyangkut nasib para pekerja atau buruh di Indonesia. Sebagai contoh pemangkasan uang pesangon dari 32 bulan menjadi 25 bulan dimana hal itu sangat merugikan para pekerja atau buruh.
Selain itu dalam aspek pengadaan tanah bagi kepentingan investasi, berpotensi merugikan petani di Indonesia. Lalu pada aspek lingkungan hidup, masyarakat juga dirugikan karena UU Cipta Kerja menghapus analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) sebagai syarat wajib izin usaha. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa UU Cipta Kerja berpotensi melanggar hak-hak konstitusional warga negara, merugikan para pekerja/ buruh, merugikan petani, merugikan hak-hak masyarakat adat, serta berdampak buruk bagi kelestarian lingkungan.
Atas dasar rangkaian fakta tersebut diatas akhirnya para buruh, mahasiswa, pelajar dan berbagai elemen masyarakat lainnya turun kejalan menyampaikan aspirasinya dengan berunjuk rasa. Dengan demikian secara hakekat sebenarnya unjuk rasa atau demo itu adalah sebuah akibat bukan sebab sehingga harus dicari akar permasalahannya.
Akar permasalahannya adalah aspirasi yang kurang di dengar alias dibiarkan liar berkembang tanpa ada upaya untuk mencari solusinya. Rasanya sejak awal mula pembahasan RUU Omnibuslaw cipta kerja ini sudah banyak pihak yang meminta supaya menghentikan pembahasannya tapi seperti kita ketahui bersama, aspirasi ini tidak pernah di dengar oleh penguasa.
Kalau kemudian akibat tidak diresponsnya aspirasi itu muncul unjuk rasa yang berakibat pada rusaknya fasilitas umum oleh massa maka jangan hanya masyarakat atau massa yang dipermasalahkan tetapi pemerintah dalam hal ini harus mawas diri untuk mengoreksi kebijakan kebijakannya. Kebijakan kebijakan yang bersifat anarkis itulah yang menjadi penyebabnya. Karena kebijakan anarkis telah terbukti membuat sengsara rakyat sehingga mereka berontak tidak mau terima.
Hakekat Berlakunya sebuah UU
Untuk memberikan landasan argumentasi ilmiah apakah suatu RUU itu sebaiknya disahkan atau dibatalkan pemberlakuannya, sesungguhnya bisa dilihat dari aspek dasar berlakunya syarat suatu ketentuan/aturan agar bisa di undangkan berlakunya. Sebagaimana kita ketahui brersama, dasar berlakunya suatu Undang Undang harus mengandung pertimbangan secara filosofis, sosiologis dan yuridis.
Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”).
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk Peraturan Perundang-Undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada.
Landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis dimuat dalam pokok pikiran pada konsiderans Undang–Undang dimana unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis tersebut menjadi pertimbangan dan alasan pembentukan Undang undang yang ditempatkan secara berurutan penulisannya.
Lalu bagaimana kira kira berlakunya Omnibuslaw cipra kerja ini jika ditinjau dari aspek filosofis, sosiologis dan yuridis sebagai dasar pemberlakuannya ?
Secara filosofis, tidak ada landasan filosofis yang bisa dijadikan sandaran untuk disusun RUU Omnibuslaw cipta kerja karena tidak punya urgensi sama sekali untuk dibahas di tengah pandemi virus corona . Apalagi dengan munculnya RUU ini, telah membuat bangsa Indonesia kembali bertengkar dan saling curiga. Kondisi ini akhirnya justru bisa mengancam perpecahan bangsa.
Sementara itu secara yuridis tidak ada urgensinya pembentukan Omnibuslaw Cipta Kerja karena kalau ingin menarik investasi demi membuka lapangan kerja bukan dengan cara instan melalui pemberlakuan sebuah ketentuan yang akan merugikan bangsa Indonesia dalam jangka panjangnya. Pengabaian terhadap aspek HAM, lingkungan, hak hak pekerja dan sebagainya menjadi alasan mengapa UU Omnibuslaw cipta kerja tidak seharusnya ada.
Secara sosiologis menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia menolak UU Omnibuslaw Cipta Kerja. Penolakan terhadap UU Omnibuslaw Cipta kerja terjadi dimana mana hampir merata diseluruh Indonesia. Pengesahan UU ini telah ditolak oleh kalangan perguruan tinggi, elemen buruh, mahasiswa, pelajar dan berbagai elemen masyarakat lainnya. Organisasi keagamaan mulai MUI, Muhammadiyah, NU dan ormas ormas besar lainnya menolak pemberlakuannya. Kalau kemudian masih ngotot UU ini dipaksakan belakunya, pertanyaannya adalah UU Omnibuslaw Cipta kerja ini dicipta dan menguntungkan untuk siapa ?
Dengan dasar pertimbangan secara filosofis, sosiologis dan yuridis sudah sangat gamblang kiranya bahwa UU Omnibuslaw cipta kerja tidak memenuhi syarat sebagai sebuah Undang Undang sehingga harus dibatalkan berlakunya. Terlalu besar resikonya kalau UU ini dipaksakan untuk diteruskan pemberlakuannya ditengah merebaknya pandemi virus corona dan gencarnya arus penolakan berbagai elemen masyarakat yang hampir merata di seluruh Indonesia.
Berdasarkan beberapa hal di atas, maka penulis menarik sebuah kesimpulan bahwa RUU Cipta Kerja memiliki kecenderungan yang dapat menimbulkan masalah baru di kemudian hari jika memaksakan diri untuk disahkan berlakunya Sebab, undang-undang yang baik adalah sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan tentunya progresif sebagaimana dikatakan oleh Prof. Satjipto Rahardjo bahwa “hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum” semata.
Hukum yang dimaksud tentunya adalah hukum yang berkeadilan untuk kepentingan rakyat bukan yang lainnya apalagi hanya sekedar untuk kepentingan investasi semata. Dengan mengingat sejumlah cacat yang menyertainya, saya secara pribadi setuju dengan usulan agar pemerintah membatalkan UU Omnibus Law cipta kerja sebab dengan melihat cacat cacat procedural dan formal yang ada dalam RUU ini rasanya akan lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Bermanfaat bagi investor mancanegara namun mudharat bagi rakyat Indonesia. (*)
Judul: Apa Makna dari Maraknya Unjuk Rasa Menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja (law-justice.co)