Herd Immunity, Bersimalang Simujur dengan Nyawa
Cikarau: Oce Satria
Herd immunity menjadi kata kunci yang paling banyak dicari warganet di Google dalam sepekan ini, seiring dengan semakin masifnya COVID-19. Tren ini muncul setelah koran The Sunday Times mengumumkan bahwa strategi pemerintah Inggris untuk mengatasi virus corona adalah dengan melakukan herd immunity.
Herd immunity, disimpulkan Wikipedia --biar agak intelek dikit -- sebagai kekebalan komunitas, imunitas populasi, atau imunitas sosial, yakni suatu bentuk perlindungan tidak langsung dari penyakit menular yang terjadi ketika sebagian besar populasi menjadi kebal terhadap infeksi, baik melalui infeksi sebelumnya atau vaksinasi. Semakin besar proporsi individu yang kebal dalam suatu komunitas maka akan membantu melindungi individu yang tidak kebal dari infeksi.
Intinya, dalam satu komunitas, harus ada cukup banyak orang yang imun atau kebal terhadap suatu penyakit sehingga komunitas tersebut tidak lagi bisa diserang oleh suatu virus.
Bagus kedengarannya. Dan menjanjikan.
Gubernur Jawa Timur Kofifah Indar Parawangsa adalah salah satu pejabat yang setuju diterapkannya herd immunity. Ia bahkan, seperti ditulis media: Optimis herd immunity muncul di Jawa Timur.
"Herd immunity ini diharapkan dapat memperlambat dan menghambat penyebaran wabah virus corona di 38 kota kabupaten di Provinsi Jatim," begitu kata Khofifah, meski kemudian ia membantah pernah menyatakan hal itu. Mudah2n benar ibu Kofifah tak menyatakan itu.
Tapi, jangan optimis dulu. Sebelum barang ini jelas ujung pangkalnya, semua pihak perlu yakin dulu jika cara ini memang cara yang benar dan tepat. Benar dan tepat, itu poinnya. Perlu dijelaskan bahwa, menurut para pakar, untuk membuat herd immunity terhadap COVID-19, diperkirakan 60 persen populasi masyarakat perlu terinfeksi dan sembuh.
Ingat, harus sembuh. Jika banyak orang terinfeksi dan kemudian meninggal, maka tetap saja kekebalan komunitas ini tak akan tercapai alias gatot.
Penjelasan ini tentu saja membuat perut kita kembang kempis. Ada risiko yang harus diambil demi mencapai keberhasilan herd immunity. Ya, itu tadi, harus ada banyak orang lebih dulu yang terinfeksi corona. Cara ini, dalam istilah orang penggalas disebut sebagai spekulasi. Bersimalang simujur. Untung-untungan. Iya, kalau berhasil. Kalau nyatanya nanti ribuan orang yang terinfeksi itu gagal? Ini yang menjadi kecemasan banyak orang.
Masih menurut pakar pervirusan, virus apapun butuh inang atau tempat tinggal untuk bertahan hidup. Manusia maupun hewan bisa menjadi inangnya. Termasuk SARS-COV-2 yang merupakan virus penyebab COVID-19. Jika virus ini tidak bisa memasuki tubuh manusia, maka ia lama-kelamaan akan bosan sendiri dan mampus. Karena tidak bisa bertahan lama berada di udara terbuka.
Apa rentetan problem selanjutnya?
Oke, kita ambil perkiraan pakar bahwa untuk mencapai keberhasilan metode herd immunity ini, perlu banyak orang yang terifeksi lebih dulu. Sebagian menyebut 60 persen. Tak perlu segitu banyak, sedikit di bawah itu, misalnya.
Apa yang akan terjadi jika sebagian besar orang terinfeksi virus corona secara hampir bersamaan? Sejauh ini sama-sama kita ketahui bagaimana fasilitas dan kesiapan tenaga medis yang dipunyai Indonesia. Carut marut ketersediaan masker, kelambanan pemerintah menyiapkan alat pelindung diri (APD), ketidakpastian obat adalah problem yang menjadi borok pemerintah Jokowi menghadapi COVID-19 ini.
Bayangkan betapa rumitnya menangani ribuan orang yang terinfeksi corona di tengah suasana fasilitas kesehatan yang buruk. Tentu, kesembuhan akan semakin sulit dicapai dan berujung pada meningkatnya angka kematian. Rakyat bukan kelinci, yang boleh seenaknya dimasukkan dalam kandang percobaan. Ini soal nyawa.
Kita belum bicara soal ketersediaan vaksin yang pasti untuk melawan virus China ini. Membuat vaksin bukan kerja sepekan dua pekan. Butuh bertahun-tahun. Apakah masuk akal mengujicoba masyarakat tanpa ada kepastian apakah mereka bisa keluar dari arena "hidup mati" yang disebut herd immunity itu?
Konsep ini justru mengerikan. Bertaruh nyawa orang banyak. Takap-takap uap. (*)
Tulisan 3 April 2020