News Breaking
Live
update

Breaking News

Indra J Piliang: Reformasi dan Mentalitas

Indra J Piliang: Reformasi dan Mentalitas




Indra J Piliang:

Veteran Keluarga Besar Universitas Indonesia Aksi 1998 

KETIKA kata ‘reformasi’ diteriakkan pertama kali oleh mahasiswa, penguasa politik terkesan grogi dan curiga. Kekuasaan Orde Baru tertanam dalam fungsi-fungsi sosial, dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari tatanan keluarga, kampung, kabupaten, sekolah, dan partai. 

Kekuasaan menjadi begitu erat terjalin dalam jaringan tradisi dan moralitas, sehingga seakan sama dengan udara yang dihirup orang (J Victor Kochmman, Et. Al. (Penyunting). 1995. Individu dan Kekuasaan. Jakarta: PT Gramedia Widia Sarana Indonesia, hal. 1). 

Sehingga setiap senti tanah, ruang politik, dan bahkan kesadaran orang per orang terkooptasi oleh kekuasaan. Orang menjadi tidak bebas lagi. 

Kontrol yang kuat kekuasaan atas politik begitu mengemuka dalam sejarah Orde Baru. Sebaliknya, politik tak memiliki hak untuk mengontrol kekuasaan. Saking lamanya keadaan itu berlangsung, menyebabkan orang tak pernah lagi berpikir bahwa kekuasaan telah menguasai hidupnya. Mentalitas masyarakat terkebiri, bukan oleh kesadarannya sendiri. 

Ayu Utami memunculkan satu tokoh Wisanggeni dalam novel Saman: 

Lama kelamaan ia sendiri menikmati kebohongan-kebohongannya. Sebab hanya dengan cara itu ia bisa menertawakan dirinya dan orang-orang itu, kebodohan dan kegilaan mereka. Dan ia menemukan itu sebagai satu-satunya hiburan baginya.” (Ayu Utami. 1998. Saman. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, hal. 104.)  

Kekuasaan yang terus menerus digunakan itu mendekati publik sebagai objek, akan cenderung menjadi kesadaran. 

Dalam birokrasi, kekuasaan jenis ini dinamakan: “Petunjuk Bapak!” Pengecutpun menyebutnya sebagai petunjuk.

Lurah minta petunjuk pada camat, camat pada bupati, bupati pada gubernur, gubernur pada menteri, dan menteri pada presiden. Kebijakan tidak akan ada, jika petunjuk itu tidak datang. Bahkan untuk mengubah susunan bangku-bangku dalam sebuah pertemuan pun harus minta petunjuk dulu. Bisa dibayangkan betapa tidak efisiennya kinerja birokrasi kita. 

Akibat lainnya adalah terpusatnya kekuasaan ke arah puncak. Sugeng Saryadi (Republika, 5 Mei 1998) menyebutnya sebagai konsep ‘obat nyamuk bakar’ yang melingkar ke tengah. Terangnya ada di tengah. Sebaliknya, proses kematiannya bukan bermula dari tengah, tapi dari lingkaran paling luas. Presiden harus dilindungi dengan mengorbankan orang-orang di sekitarnya. 

Untuk itulah, tuntutan ke arah reformasi harus dimulai dari tengah, bukan dari pinggiran. Mentalitas m i n t a  p e t u n j u k  harusnya bisa dihapuskan, ketika pusat kekuasaan memberikan kepercayaan yang lebih kepada bawahannya. Dan ini bermula dari mentalitas yang dibangun. 

Mentalitas para birokrat harus dibersihkan dahulu dari limbah kesadaran palsu, bahwa dia hanya bisa digerakkan oleh atasannya. Pelaku otonom yang menempatkan pribadi pada posisi tinggi, harus menyeruak kesadaran orang per orang, terutama birokrat dan politisi. Adalah hal yang memilukan, ketika seseorang rela mempertaruhkan harga dirinya, hanya untuk suatu jabatan. 

Korupsi, kolusi, dan nepotisme juga bermula dari mentalitas ini. Akibatnya orang-orang yang masuk jalur birokrasi, politisi, dunia usaha, tidak malu-malu menyelipkan kertas-kertas katabeletje, minta jabatan tertentu. Uangpun rela dipertaruhkan, dengan implikasi sebagai investasi yang nanti bakal dikeruk berkali-kali lipat, setelah menjabat.  

Tak heran, kalau yang duduk dalam birokrasi adalah lulusan perguruan tinggi yang kualifikasinya dipertanyakan, termasuk yang masuk jalur politik. Manusia berkualitas cenderung memilih di luar sistem kekuasaan yang berlangsung, atau bahkan lari ke luar negeri. 

Dalam kaitannya dengan aksi-aksi masyarakat belakangan yang menuntut reformasi, persoalan mentalitas inilah yang juga harus dibicarakan. Aksi-aksi mahasiswa seyogianya mendorong orang per orang untuk menegakkan kembali harga dirinya, sebagai manusia merdeka di negara merdeka. ABRI, sipil, birokrat, politisi, komunitas bisnis, maupun kaum intelektual yang sudah terbeli oleh kekuasaan, bisa diingatkan untuk memiliki kesadaran serupa. 

Mentalitas orang per orang harus dibangunkan, sehingga arahnya reformasi berjalan tidak hanya sekarang, tetapi nanti, bergenerasi. Sebab yang dibangun oleh Indonesia bukan sebuah pemerintahan, tapi suatu bangsa yang memiliki kepribadian dan harga diri. Pemerintahan boleh berganti, presiden bisa tersingkir, orde dapat berubah, tapi bangsa harus tetap ada. 

Kecuali nanti ada peleburan, suatu proses homogenisasi budaya. Entah berapa abad lagi. 

Manusia (ber) budaya akan berpikir jauh ke depan.  Bahkan cenderung tanpa batas waktu. Berbeda dengan manusia (ber) politik yang kadangkala tergelincir dalam persoalan-persoalan sesaat yang dianggap selamanya. Begitupun manusia ekonomi yang membenahi diri dan hidupnya dengan seperangkat kalkulasi matematis, untuk menghitung rugi dan laba. 

Jadi, reformasi bukan hanya persoalan hari ini, tetapi juga masa datang. Reformasi kejiwaan. Reformasi mentalitas. 
Jakarta, 5 Mei 1998

*) Tulisan ini diketik ulang dari catatan harian Indra J Piliang yang ditulis dengan tulisan tangan, tanpa perubahan apapun.  Sengaja ditulis seperti ini guna menghadirkan zeitgeist (jiwa zaman) ketika tulisan ini ditulis. 

**) Ketika menulis ini, Indra J Piliang bekerja di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Pramita (kini Universitas Pramita), Tangerang, pada bagian perpustakaan dan penerbitan majalah. 

Tags