Student Movement dan Student Government (Part 1)
Oleh Indra J Piliang
SAHABAT saya, Deddi Yevri Hanteru Sitorus, belakangan sangat gusar dengan eksistensi gerakan mahasiswa.
“Tulis tentang aktivis mahasiswa jaman now lah. Menurut gue, aktivis di daerah itu layak dapat tempat. BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) menurut gue udah nggak jelas.”
Begitu bunyi chat Deddy kepada saya pada tanggal 9 September 2021 lalu. Waktu itu, saya lagi bahas tentang siapa saja kader-kader penting PDI Perjuangan yang sudah atau masih membaca buku “Dibawah Bendera Revolusi” yang berisi tulisan-tulisan Sukarno sejak usia muda.
Kegusaran itu saya sambut dengan kalimat:
“Menurut gue, sekarang yang namanya BEM dan lain-lain itu bubar aja. Itu gagasan dasar gue sejak dulu kok. Gue gak mau ada kerumunan Organisasi Keormasan Pemuda (OKP). Gue lebih sarankan mahasiswa untuk masuk organisasi profesi. Makanya gue bina terus Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah se Indonesia sejak gue jd Sekjen Pertama (95-97) hingga kini.’
Sudah 20 hari, belum juga saya menulis. Bukan apa-apa. Saya coba hubungi sejumlah kawan untuk menulis tema gerakan mahasiswa ini. Baik dari spektrum kiri, kanan, atau tengah. Saya minta mereka kirimkan ke redaksi www.ogerilya.com guna dijadikan polemik. Biar mereka yang masuk dulu dengan sejumlah gagasan. Saya nulis belakangan saja.
Namun, sampai sekarang, saya belum menerima satupun tulisan itu. Nelangsa juga. Banyak sahabat minta saya terus menulis. Sementara, kalau saya yang minta tulisan, sulit sekali atau lama baru dapat feedback.
Massa aksi yang diturunkan oleh BEM Seluruh Indonesia (BEM SI) di Jalan Rasuna Said beberapa hari lalu sempat membetot perhatian saya. Sekalipun, di seberang BEM SI masih terdapat BEM Nusantara.
BEM SI dibentuk di Bogor, 24 Desember 2007. Usia BEM Nusantara lebih tua lagi, sejak April 2005 dalam bentuk Lima Nusa (Lingkar Mahasiswa Nusantara).
BEM SI “disebut” lebih kritis terhadap rezim, sebaliknya dengan BEM Nusantara. Tentu bukan dalam rezim Jokowi – Jusuf Kalla (JK) atau Jokowi – Ma’ruf Amin saja, melainkan sejak rezim Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) – JK dan SBY – Boediono.
Ingatan pendek bangsa ini bakal mencatat, betapa BEM SI mengeluarkan massa aksi dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Karya dan penolakan atas Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) atas calon aparatur sipil negara yang (sudah dan hendak) bekerja pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pilihan berbeda dijalankan BEM Nusantara.
….
Terdapat perbedaan penting antara Generasi X (kelahiran 1961-1980) berbanding Generasi Y (kelahiran 1981-1995) dalam persoalan gerakan mahasiswa.
Generasi X lebih aktif mencatat berbanding Generasi Y, sekalipun Generasi X kalah jauh jika dikomparasikan dengan Generasi Baby Boomers (kelahiran di bawah tahun 1960). Soe Hok Gie (lahir 17 Desember 1942, memiliki gaya tulisan yang lebih hitam-putih atau ideologis, begitu juga dengan Ahmad Wahib (lahir 9 November 1942).
Bandingkan dengan tulisan JJ Rizal (lahir 12 Februar 1974) yang lebih kritis-skeptis atau dengan tulisan Bonnie Triyana (lahir 27 Juni 1979) yang bisa mengubah kisah Multatuli bukan hanya berupa tulisan, tetapi juga museum hingga film. Padahal, mereka adalah dua saudara muda seperguruan saya dari Generasi X yang menggeluti ilmu sejarah.
Tidak heran, kalau gerakan mahasiswa Indonesia sudah berusia lebih dari satu abad. Yakni, sejak Sarekat Dagang Islam didirikan oleh Samanhudi pada 1905, lalu mengubah bentuk menjadi Sarekat Islam. Oemar Said Tjokroaminoto menjadi pemimpin terkuat dan terlama.
Kenapa saya katakan bersamaan?
Berhubung salah satu program yang dijalankan adalah memberikan beasiswa kepada mahasiswa-mahasiswa boemi poetera, termasuk mereka yang berangkat ke Belanda.
Dalam sebuah artikel berjudul “Early Indonesian Emansipation: Abdul Rivai, Van Heutzsz, and Bintang Timur” yang ditulis Harry A Poeze pada 1989, terdapat kutipan berikut:
‘Not Boedi Oetomo, nor the year 1908, marked the beginning of our national movement, but the year 1903 saw the birth of a nationalist movement, after Dr Rivai had spoken out, which really opened many people eye’s’.
Harry mengutip dari booklet tulisan Latif yang terbit tahun 1938, lima tahun setelah kematian Abdul Rivai.
Betul. Rivai adalah mahasiswa Hindia Belanda (boemi poetera) pertama yang belajar di Belanda. Bidang yang dipelajari: kedokteran.
Betul. Rivai dikirim orang tuanya asal Sumatera Barat. Dan bukan penerima beasiswa dari Kelompok Theosofi Belanda, seperti junior-junior yang datang setelah itu.
Tradisi catatan harian mahasiswa, bisa jadi berasal dari Rivai. Ia begitu detil menulis hari per hari, bertahun-tahun, termasuk ketika mengomentari mahasiswa-mahasiswa asal Hindia Belanda dalam tahun-tahun berikutnya yang makin “ideologis”. Rivai lebih mematangkan ilmu kedokteran sebagai Fardu Ain. Aktivisme sebagai mahasiswa adalah Fardu Khifayah.
Dari Rivai, tradisi aktivisme di kalangan mahasiswa kedokteran (STOVIA, misalnya) menular hingga awal tahun 1990an, ketika Mahar Mardjono masih hidup sebagai ilham mahasiswa-mahasiswa kedokteran.
***
Firdaus Artoni adalah mahasiswa kedokteran, sekaligus Ketua Umum Senat Mahasiswa Universitas Indonesia 1992-1993, ketika jabatan Ketua Harian berada dalam kendali Chandra M Hamzah yang mahasiswa Fakultas Hukum.
Hadi Juwanda terpilih sebagai Ketua Umum SMUI 1993-1994, juga mahasiswa Fakultas Kedokteran, dengan Bagus Hendraning Kobarsih yang mahasiswa Fakultas Ilmi Sosial dan Ilmu Politik terpilih sebagai Ketua Harian. Tahun 1993 itu adalah Pemilihan Raya (Pemira) Senat Mahasiswa UI dengan metode satu mahasiswa dihitung sebagai satu suara.
Baik, daripada berkepanjangan. Apa beda dengan generasi BEM, baik BEM SI atau BEM Nusantara? Sama sekali sulit menemukan tulisan tentang kiprah mereka. Bahkan, jangankan puluhan BEM perguruan tinggi yang tergabung dalam masing-masing ‘faksi’ – kehidupan mahasiswa sejak satu abad lampau, pun penuh dengan faksi, bahkan hanya dalam merumuskan satu pilihan kata saja – bahkan catatan wikipedia yang berisi tentang pimpinan BEM Universitas Indonesia tahun ke tahun saja banyak yang salah. Tak ada satupun pimpinan mahasiswa dalam tubuh BEM UI untuk melakukan editing atas kesalahan fundamental itu.
Bandingkan dengan catatan pendirian Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ) tanggal 23 Maret 1996, misalnya. Cek saja di internet, bakal berjumpa tulisan berikut sebagai pembuka:
“FKSMJ didirikan melalui Musyawarah Agung (Mubes) pimpinan Senat Mahasiswa se-Jakarta di IKIP Jakarta (kini Universitas Negeri Jakarta) pada tanggal 23 Maret 1996. Organisasi yang juga memiliki hubungan kultural dengan keberadaan FKPMJ (Forum Komunikasi Pers Mahasiwa Jakarta) dan FKMIJ (Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Jakarta) ini, kelahiran dari perjalanan panjang pertemuan aktivis senat mahasiswa se-Indonesia di era tahun 90-an yang peduli dengan upaya melawan rezim Orde Baru yang dianggap otoriter dan korup. Cikal bakal FKSMJ mulai digulirkan tahun 1994. Komunitas pengurus SMPT mulai intens bersua, terlebih setelah diselenggarakannya Simposium Nasional Tingkatan Muda (SNAM) di Universitas Indonesia, 1994. Sebagai rekomendasi simposium tersebut adalah diselenggarakannya pertemuan SMPT Nasional pertama yang diselenggarakan di Kaliurang, Yogyakarta, dimana UGM sebagai tuan rumah. Anies Baswedan adalah ketua SMPT UGM saat itu.”
Kebetulan, saya adalah Ketua Panitia Pelaksana (Organanizing Committee) Simposium Nasional Angkatan Muda 1990-an: Menjawab Tantangan Abad XXI pada tahun 1994 yang diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa UI. Namun perlu saya sampaikan bahwa apa yang termuat dalam kutipan di atas pun mengandung kekeliruan.
Seingat saya, Anies sudah menyelesaikan tugas sebagai Ketua Senat Mahasiswa Universitas Gajah Mada. Kebetulan, saya hadir dalam pertemuan pendahuluan di Universitas Brawijaya bersama dengan Ketua Harian Senat Mahasiswa UI Bagus Hendraning dan salah satu Ketua Komisi (Setingkat Ketua Bidang) Senat Mahasiswa UI Fery Irawan dengan kereta api. Kami dapat sambutan hangat Andy Soebijakto sebagai Ketua Senat Mahasiswa Unibraw. Ketua Komisi Hubungan Luar Senat Mahasiswa UI, Fadli Zon, baru bergabung malam harinya, bersama dengan Elan Satriawan, Ketua Senat Mahasiswa UGM yang menggantikan Anies Baswedan.
Betul, Ubeidillah Badrun adalah Ketua FKSMJ yang pertama. Bahkan, dalam peristiwa 27 Juli 1996, nama-nama aktivis mahasiswa yang sedang rapat di markas FKSMJ sudah dalam short list untuk dijadikan tersangka penggerak kerusuhan. Kebetulan, saya hari itu pun sedang di Salemba, tepatnya di kampus ekstension Fakultas Ekonomi UI, dalam rangka menyiapkan buku uloang tahun ke 45 fakultas itu. Namun, ternyata ada yang lebih seksi, yakni anak-anak Partai Rakyat Demokratik yang mayoritas adalah senior dan junior saya di jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra UI.
Kalau Ubeidillah Badrun – sebetulnya saya lebih dekat dengan keponakan Ubeid, ketika menempuh jalur akademisi plus analis politik – sedikit memberi ‘tempat’ kepada Anies Baswedan dalam sejarah FKSMJ, sah-sah saja menurut saya.
Di luar itu, walau berkawan antar aktivis dalam jangka waktu panjang, rivalitas atas kampus tentu tetap terjadi. Dalam Pertemuan Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Indonesia yang pertama kali di Kaliurang dengan tuan rumah Senat Mahasiswa UGM itu, delegasi Senat Mahasiswa UI yang dipimpin Ketua Umum Senat Mahasiswa UI Hadi Juwanda dan delegasi antara lain Fadli Zon dan Soekarman Dj Soemarno itu, justru melancarkan aksi walk out! Tuduhan yang diberikan: Senat Mahasiswa UGM sudah ‘tersusupi’.
Jangan lupakan itu. Fadli Zon pun pernah menuduh Anies Baswedan ‘tersusupi’ ketika kami masih mahasiswa. Pun berkal-kali saya melakukan tunjuk tangan kiri kepada Fadli yang bersama Taufik Ismail dan DS Moeljanto sedang bergiat dalam diskusi keliling buku “Prahara Budaya”. Walau, hampir seluruh aktivis mahasiswa se-angkatan, apalagi yang lebih senior, sangat paham hubungan saya dengan Fadli.
“Kenapa ndak pacaran saja lu dengan Fadli? Ketimbang berantem terus?”
Begitu nada dari Hadi Juanda atau Bagus Hendraning, ketika melihat saya menggebu-gebu ‘menghantam’ Fadli Zon dalam sejumlah mimbar akademis terbuka. Terus terang, saya begitu marah atas aksi boikot Senat Mahasiswa UI di Kaliurang.
Perpecahan di Kaliurang itu yang membawa ‘nuansa’ kemunculan FKSMJ. Jejaring aktivis Himpunan Mahasiswa Islam yang membawa passion itu. Bagaimanapun, Anies, Ubeidillah, dan saya, adalah anggota dan pengurus HMI di kampus masing-masing. Berhubung kemarahan saya tertuju kepada Hadi dan Fadli yang bukan HMI, begitu juga Bagus yang pun bukan HMI, saya merasa persaudaraan sesama ikhwan hijau hitam pun terganggu. Warna hijau hitam itu juga yang kemudian dilihat oleh Budi Arie Setiadi dan Ikravany Hilman dalam siluet saya pada tahun 1995 itu.
Pun apa yang terjadi dalam pertemuan berikut, ketika saya menjadi Ketua Delagasi Senat Mahasiswa UI dalam Pertemuan SMPT se-Indonesia di Universitas Mulawarman, 3-10 Maret 1996.
Nanti kita lanjutkan cerita ini…
Jakarta, 29 September 2021